Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat

21 Juni 2016   09:48 Diperbarui: 21 Juni 2016   10:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

OleH: NURANI SOYOMUKTI

Keluarga selalu dianggap sebagai unit sosial yang paling bertanggungjawab ketika anak mengalami penyimpangan perilaku dan penelantaran. Sehingga seringkali kalau ada anak mempunyai perilaku menyimpang, selalu keluarganya yang dicibir dan  disalahkan. Analisa terhadap penyebab dan solusi dari masalah anakpun selalu saja “menthok” di situ, karena anggapannya adalah bahwa yang paling bertanggungjawab adalah institusi keluarga.

Lalu ada  program penguatan kapasitas untuk mendidik anak di keluarga dari pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat. Caranya adalah membikin program ‘parenting education’ untuk keluarga. Sebenarnya bukan (seluruh anggota) keluarga yang diundang tapi rata-rata adalah ibu rumahtangga yang dianggap sebagai sosok yang dekat dengan anak. Tentu tidak semua ibu yang diundang, karena program pemerintah pasti terbatas anggarannya.

Tiap sesinya tak mampu melibatka semua ibu rumahtangga, misalnya pesertanya rata-rata 50-100 orang. Mereka diundang untuk disadarkan betapa pentingnya anak. Betapa pentingnya mendidik anak. Dan bagaimana caranya mendidik anak yang baik. Ini adalah pelatihan soal mendidik anak, bukan soal keluarga secara umum. Bukan kiat menghadapi suami yang egois yang suka melakukan kekerasan. Bisa jadi yang diundang adalah ibu yang sedang ada masalah dalam hubungan dengan suaminya tapi tidak ada yang tahu.

Saya pernah beberapa kali ikut diajak sebagai pemateri ‘parenting education’ itu. Para peserta memang tampak semangat mengikuti pelatihan. Bahkan di sesi diskusi mereka sangat asyik mencurahkan masalah-masalah yang dihadapi anak-anaknya. Jujur, mendidik anak memang butuh ‘skill’ (wawasan dan pengetahuan yang bisa diterapkan). Hanya saja masalahnya, bisa diterapkan dan mau menerapkan adalah dua hal yang beda. Setelah mereka pulang ke rumah, ternyata mereka menjumpai masalah-masalah yang lebih dari masalah yang dapat diatasi dengan teori mendidik anak.

Ibu-ibu ini akan kembali berhubungan dengan banyak orang, bukan hanya keluarganya di rumah saja, bukan hanya dengan anaknya saja. Jika orang tua itu  memang telah lama kurang perhatian pada anak, ternyata bisa jadi karena sibuk kerja (bagi ibu yang punya kerjaan produktif), atau malah seringkali karena ada masalah dengan suami yang menyebabkan hubungan tidak harmonis. Sudah lama disadari bahwa hubungan suami dan istri yang tidak harmonis juga menyebabkan masalah keluarga akan tidak “ramah anak” alias cenderung membuat anak terlantar dan tak terperhatikan. Bahkan anak-anak yang punya orangtua tak harmonis juga akhirnya tak betah di rumah. Lantas mereka lari dari rumah dan kemungkinan berperilaku menyimpang akan besar.

Belakangan pemerintah juga menyadari masalah tersebut. Maka dibuatlah  program yang  namanya “Bina Keluarga”. Tidak seperti ‘parenting education’ yang hanya mengundang ibu atau kadang bersama ayah, program  ini mengundang seluruh anggota keluarga. Pelatihannya membutuhkan metode yang lebih rumit dan butuh waktu lebih panjang. Inti dari kegiatan ini adalah memulihkan kepercayaan antara anggota keluarga, sehingga mereka menyatu kembali dalam harmoni. Masalah-masalah digali dari masing-masing anggota keluarga yang pada sesi tertentu dipisah, lalu digali apa yang membuat mereka kurang harmonis. Ada sesi permainan (game) dan penyituasian, sehingga memunculkan momen romantis bagi suami-istri dan kesadaran akan pentingnya merawat anak bersama dalam keluarga. Pelatih dalam program ini membutuhkan keahlian psikologi dan terapi. Karena bukan hanya menyampaikan wawasan tentang membangun keluarga. Tapi juga ada usaha untuk mengintegrasikan fungsi keluarga untuk searah dan harmonis dengan menata ulang alam bawah sadar mereka.

Sebagai sebuah program berbiaya dan membutuhkan anggaran yang terbatas, tentu sekali lagi, program ini juga hanya bisa melibatkan sedikit sekali undangan (peserta). Peserta juga akan pulang ke rumahnya masing-masing, dengan pesan perwakilan pemerintah agar mereka menjadi keluarga yang harmonis dan penuh cinta, menghilangkan egoisme pribadi (biasanya pesan untuk si ayah) dan masing-masing anggota keluarga diharapkan menjalankan kebaikan dan menghindari perbuatan yang buruk.

Program semacam itu tetap harus kita dukung karena memang bisa merubah perilaku para anggota keluarga yang dilibatkan dalam program. Tapi seringkali perubahan perilaku hanya terjadi sesaat dan mereka akan kembali pada watak asli masing-masing mengingat mereka terus hidup dalam interaksi sosial dengan lingkungan dan masyarakat yang menyebarkan wawasan dan ideologi dari berbagi sumber informasi dan kekuatan produksi ideologi dan pengetahuan. Selain itu, program semacam itu memang seringkali tanpa pengawalan lebih lanjut dari pihak penyelenggara (utamanya pemerintah). Mungkin juga karena keterbatasan anggaran maupun sumber daya (jumlah petugas dan pendamping, mungkin juga kualitasnya).

Belum ada kontrol sosial di luar rumah (keluarga) untuk mencegah dan mengawal kesadaran ramah anak dan kesadaran fungsi harmoni dalam keluarga. Sehingga, meskipun ada program penguatan kapasitas dan pelatihan bagaimana merawat anak dan menciptakan keluarga harmonis yang ramah anak, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan penelantaran anak juga masih dan semakin banyak terjadi.

Memang salah satu upaya untuk mengatasi masalah masyarakat adalah melibatkan peran serta masyarakat sendiri. Tapi tentunya peran serta masyarakat yang sudah tersadar dan menjadi subjek yang sadar pada pentingnya perubahan dan pemberdayaan. Tapi apakah di masyarakat sudah banyak muncul kekuatan-kekuatan yang bisa terlibat untuk pemberdayaan dan mengarahkan perubahan tingkahlaku. Di sinilah kemudian tokoh-tokoh kunci harus terlibat, bahkan diintervensi oleh yang kesadarannya lebih maju. Juga pimpinan dan tokoh lembaga-lembaga sosial yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun