Berbicara mengenai masalah keuangan publik dalam Islam sebenarnya telah ada sejak masa-masa awal perngembangan Islam. Misalnya saat pasukan Muslim baru saja berhasil menaklukan Irak, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perangnya, termasuk tanah yang berada di bekas wilayah taklukan (Khaibar). Tanah-tanah yang telah direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum Muslim. Sementara tanah yang telah ditaklukan dengan perjanjian damai ditetapkan menjadi milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk di wilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak tanah taklukan perang (kharaj), sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam.
Dalam cacatan Qardawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian zakat-pajak, tetapi baru pada batas niat saja. Imam Nawawi dari mazhab Syafi’I, Imam Ahmad, dan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa membayar pajak denagna niatan zakat diperbolehkan, dan karenanya kaum Muslim cukup membayar pajak. Sementara Ibn Hajar al-Haysyami dari mazhab Syafi’I, Ibn Abidin dari mazhab Hanafi, dan Syeikh Ulaith dari mazhab Maliki berpendapat sebaliknya, zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda, dan sebaliknya pembayaran atas pajak tidak menggugurkan kewajiban pajak.
Pembahasan tentang pajak dan zakat dalam Islam lainnya pun dilakukan dan dibahas oleh Muhammad Muhammad di tahun 2000, dimana zakat dibagi secara sistematis bait mal terdiri dari penerimaan fay’, jizyah, kharaj, khumus rikaz, anfal, ghanimah, pendapatan dari milik umum, pendapatan dari milik negara, usyur, zakat sebagai pendapatan yang bersifat utama, dan dharibah sebagai pendapatan temporal. Dari sisi pengeluaran, terdapat enam pengeluran yaitu (1) pengelurana bagi delapan ashnafmelalui zakat, (2) pengeluran bagi delapan ashnaf selain zakat, (3) pengeluaran bagi orang-orang yang menjalankan pelayanan negara, seperti pegawai, pejabat, dan tentara, (4) pembangunan sarana umum, (5) kelayakan dan kesempurnaan anggaran, dan (6) penggeluaran untuk bencana alam.
Beberapa kajian lainnya yang membahas tentang pajak dan zakat dilakukan oleh Monzer Khaf di tahun 1999, dimana dalam artikelnya yang berjudul “The principle of socio economic justice in the contemporary fiqh of zakah”menjelaskan tentang fenomena mengenai persoalan zakat dan pajak yang terjadi di negara-negara Timur Tengah.
Banyak penulis lainnya yang berusaha untuk membuktikan keterkaitan zakat dengan pembangunan sosial-ekonomi, khususnya dalam mengentaskan kemiskinan, dimana beberapa kalangan ekonomi Islam sudah berusaha menyarankan agar zakat dikelola oleh negara. Faruq al-Nabbahanpun mengemukakan bahwa apabila pemerintah berusaha menarik zakat, maka hal itu menunjukkan bahwa pemerintah telah membangun pilar penting penyejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah juga banyak ditentang. Dawan Raharjopun telah menjelaskan dalam penelitiannnya ditahun 1993, dengan membandingkan antara pajak dan zakat, apakah keduanya menunjukkan bahwa signifikansi keduanya berbeda, di mana penggelolaan zakat oleh pemerintah dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya subtansi zakat sebagai perintah Allah Swt. Tetapi Dawan dalam penelitian itu tidak memberikan penjelasan yang kritis tentang perbandingan yang dilakukannya dengan pendekatan sejarah dan politik ekonomi.
Selain itu, S.A. Siddiqi di tahun 1982 juga membahas berbagai persoalan di seputar dikotomi zakat dan pajak yang terjadi di negara-negara Muslim dalam bukunya yang berjudul Public Finance in Islam. Dalam bukunya tersebut Siddiqi tidak bermaksud melakukan studi perbandingan antara zakat dan pajak, tetapi hanya untuk mendiskripsikan mengenai sumber-sumber zakat dna pajak serta distribusinya dalam pengeluaran negara.
Buku lain yang mendiskusikan persoalan zakat dan pajak ini adalah buku yang ditulis oleh Gazi Inayah dengan judul Al-Iqtishad al-Islamiyah al-Zakah wa al-Dharibahyang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Teori Komperhensif Tentang Zakat dan Pajak di tahun 2003. Dalam bukunya tersebut, Inayah ingin meyakinkan pembaca untuk memahami kembali bahwa zakat sama sekali berbeda dengan pajak dan karenanya itu tidak bisa disatukan.
Menurutnya, ada keracuan tentang beberapa pemahaman yang terdapat dalam kajian ilmiah yang berpendapat bahwa zakat adalah pajak dan musyawarah adalah demokrasi. Inayah meyakini bahwa zakat adalah ibadah Maliyahdan bukan pajak yang bernilai ekonomi, untuk itu Inayah melakukan perbandingan antara zakat dan pajak dalam beberapa hal, yaitu: posisi zakat dan pajak dalam ekonomi, kemudian tentang teori kekuasaan negara dalam penarikan pajak dan zakat, bagaimana kaidah-kaidah beban pajak dan zakat, system pajak dan zakat, persamaan zakat dan pajak, pajak dan zakat ganda, dan bagaimana cara menghindari pajak dan zakat.
Hal ini yang menjadi menarik dalam bukunya, yaitu ketika Inayah tidak terjebak pada pembahasan yang mengulas tentang perbandingan yang ‘atomistik’, dimana hal itu akan meletakkan zakat dan pajak dalam bab-bab yang terpisah, melainkan membandingkan keduanya dalam tiap-tiap bab dalam tema yang sama. Namun pada akhirnya, tetap saja Inayah tidak mendukung pengintegrasian zakat-pajak.
Beberapa penulis lainnya juga mengkaji mengenai persoalan zakat dan pajak dalam Islam, seperti M. Ali Hasan di tahun 1999, Hasan Sofyan tahun 1995, Shadi Abdurrahman tahun 1998, A.Rauf dan S. Rasyid tahun 1992. Daftar ini dapat diperpanjang oleh banyak penulis-penulis lainnya yang berusaha membandingkan antara zakat dan pajak. Namun tampaknya, rata-rata penulis tersebut tidak berupaya untuk mengintegrasikan antara zakat dan pajak meskipun mereka mengakui bahwa zakat dan pajak ada beberapa persamaan. Akibatnya, dalam tulisan mereka terlihat sekali sikap apologi-defensif mereka terhadap pajak.