Mohon tunggu...
Ria Astuti
Ria Astuti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menikmati Perjalanan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudahkah Berdamai?

21 Agustus 2012   01:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455110521471723240

[caption id="attachment_201256" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : FB Megaphoto"][/caption]

Waktu berproses mengurai realitas, rintik demi rintik detik menderasi lantai kehidupan, saat ini bukan lagi perkara hidup susah atau hidup kaya raya, namun seberapa pandai menikmati keindahan sebuah proses kehidupan. Menetas telur ayam menjadi anak ayam, tak pernah ada kekeliruan telur yang menetaskan anak angsa, kecuali Tuhan ingin menyampaikan pesan Maha Pentingnya hingga keluar dari konsep baku yang telah dibuatNya. Begitupun benih biji kurma yang tertanam tak akan membuahkan durian. Semua sudah tertulis, jauh sebelum detik berdetak untuk kehidupan kita.

,

Ahh… bahkan Tuhanpun menulis, mungkin Dia juga senang sekali menulis, atau tentang tulisan Takdir Tuhan itu hanyalah bahasa manusia yang membangun persepsi tentang tulisan, ah bagaimana pula Tulisan Tangan Tuhan?? Bagaimana pemahaman yang sempit mampu memahami Dzat Sebesar Tuhan….

Berbicara

pada kesunyian

mendengar

apa-apa yang sulit terucapkan

hingga diri

benar-benar terperangkap

dalam ruang kaca buram

,

air mata,

selalu memiliki bahasa yang lebih lembut

untuk menyampaikanNya

…

***

Rida sepenuhnya memahami, bagaimana waktu berproses, memutuskan-menyambungkan apa-apa yang telah ia lalui. Ardi, suami yang telah menikahinya sepuluh tahun lalu, lelaki terpenting dalam hidupnya yang menjalin waktu-waktu begitu berharga bagi kenangan yang tiada pernah hendak beranjak dari ruang teristimewa dalam hatinya, kini telah terbaring bersama kain kafan tertimbun tanah, meninggalkan dunia. Tak ada yang Ardi tinggalkan untuk Rida, tak ada anak, tak ada harta berlimpah, hanya kenangan akan kesederhanaannya yang selalu hidup membekali kekuatan untuk Rida.

,

Dalam kesehariannya Rida bukanlah orang yang cengeng, bagaimana tidak sepuluh tahun menikah tanpa dikaruniai seorangpun buah hati namun Tuhan justru lebih awal memanggil sang suami, namun Rida tidak menunjukkan kesedihannya pada siapapun, kecuali di hadapan Tuhannya. Rida telah berdamai dengan dirinya sendiri, mencoba menerima alur kehidupan yang telah diamanahkan bagi kehidupannya. Hingga ia menemukan rasa syukur yang menjadi benih kebahagiaannya. Bagi orang-orang di sekelilingnya Rida adalah pribadi yang senantiasa bersemangat dan gemar berderma senyuman. Proses kehidupan ini mungkin tidak adil bagi sebagian orang, namun Tuhan tidak pernah lepas dari sifat Maha AdilNya, bagaimana pikiran sederhana mampu memahami KeMaha BesaranNya…

***

Tahun ini Tiara menjejakkan usia tiga puluh lima, bukan jumlah usia yang pantas untuk seorang perempuan single, tak pernah menikah dan belum pernah pacaran. Begitu banyak pertanyaan bertubi hadir, menuntut ketepatan jawaban secepatnya. Terlebih baginya, pertanyaan "kapan akan menikah?" ini mulai menyesakkan nafas silaturahminya. Dalam lingkaran silaturahminya tak ada lagi yang belum menikah.

,

Tiara hidup bersama Ibunya, Ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Baginya menggantikan tugas Ayah untuk menjaga Ibu dan menafkahi adik-adik adalah sebuah kehormatan yang diberikan Tuhan untuk jiwa sederhananya. Ayahnya pergi, tidak untuk menemui Tuhan, namun pergi bersama keluarga barunya, Ayah menikahi sahabat Ibu. Tiara telah membunuh ayah dalam benaknya, kebencian terhadap ayahnya membuahi dendam umum bagi lawan jenisnya, laki-laki. Namun pelan-pelan ia kini sudah mulai berdamai dengan dirinya sendiri, mencoba untuk mengalahkan kebencian yang telah tumbuh begitu subur dalam hatinya.

,

Tiara bukan tidak ingin menikah, ia telah sepenuhnya pasrah akan Hak Tuhan menentukan takdir perjodohan. Bagaimana usaha perempuan dalam menjemput jodohnya? Inilah pertanyaan besar dalam diri Tiara. Ia bukan tipe perempuan yang mudah mengekspresikan perasaannya terlebih kepada lawan jenis. Namun kehidupan masih berproses, mengurai detik demi detikNya, hingga ia menemukan pesan Tuhan dalam kitab sucinya, “ Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik “ . Sepenuhnya diyakini, kebaikan yang diusahakan akan berbuah kebaikan. Akar kebaikan akan lebih kokoh menopang jiwa yang lemah ini, maka diusahakannya perbaikan diri demi mendapatkan belas kasih Yang Maha Menggenggam takdir. Akan ada muara indah dari sebentuk kesabaran yang diusahakan atas nama kesadaran proses kehidupan.

***

Begitu beragam proses kehidupan membentuk manusia menjadi seperti apa ia saat ini. Diri akan merdeka dari duka lara yang membunuh kebahagiaan jika perang dalam diri mampu berdamai. Kenyataannya musuh terbesar bukanlah orang lain di luar diri, namun justru seseorang yang menghuni rumah sunyi di dalam, di dalam sini. Di dalam hati....

Matahari telah kembali terbit

Melukis bumi dengan cahayanya

Bukalah jendelamu

Lukisan pagi begitu indahnya

Menyapa jiwa-jiwa rindu

Yang haru meliputi prosesNya

Bukan Tuhan tidak adil

Hanya diri yang belum mampu

Berdamai dengan dirinya sendiri

Semua sudah sesuai kadarNya

Hanya bagaimana memahamiNya

…

Matahari telah kembali terbit

Melukis bumi dengan cahayanya

Lihatlah warnaNya

Menuntun keindahan

Menelusup masuk

Ke dalam ruang-ruang

Syukur

Dalam diri

***

______

Salam hangat penuh semangat, untuk pagi yang kembali hadir :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun