Mohon tunggu...
Ria Astuti
Ria Astuti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menikmati Perjalanan :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Kasih Sayang

30 Agustus 2012   16:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13463420681463444594

[caption id="attachment_203052" align="aligncenter" width="409" caption="Ilustrasi : jurnalisperempuan.com"][/caption]

Kini kau lemah

penuh keluh kesah

menyusuri waktu

dengan gelora kesedihan...

-

Aku gelisah

bagaimana agar lemahmu

menjadi milikku?

bagaimana api semangatku agar membakarmu?

-

Aku ingin menjadi bantaran

yang membendung derai air deritamu

ijinkanlah,

aku menyeka lelah duka

yang terus saja menggerogoti kesehatanmu

ijinkanlah,

aku menjadi buah manis

untuk makanan ruhanimu..

-

Aku adalah pohon

yang benihnya telah kau tanam

atas nama kasih sayang

akarmu tertancap kokoh

menjadi pondasi pijakanku...

-

Aku adalah benih janin

yang telah kau pelihara

menempati ruang rahimmu

penuh kehangatan,

teduh dalam damai,

kurenangi air kasih sayang di dalammu

hingga suara semesta

mengenalkanku pada dunia…

-

Aku mencintaimu

dengan keterbatasanku

dengan cinta yang cukup memalukan...

ijinkan aku,

memelukmu…

walau hanya pada doa-doa terlantun

-

Untukmu,

Ibu…

___________________

Salah satu musik yang cukup sensitif untuk dinikmati, kasih sayang Ibu…

Jika kini beliau sudah renta dan uzur dalam kepayahan menikmati kesehatannya, tidak kunjung menemukan obat permanen yang sesuai bagi kebaikan fisiknya, tidak ada dokter yang bisa membangun motivasi sugesti kesehatannya, tidak ada yang membuatnya lebih baik, tidak ada… Tidak ada yang lebih diharapkannya, selain kita… anak-anak yang dahulu pernah dibesarkannya dengan kasih sayang tak terbatas…

Kini beliau terbaring lemah, bukan uang yang diinginkan dari hasil jerih payahnya membesarkan kita, bahkan beliau hanya menginginkan sedikit waktu kita, demi memahami benih-benih kebahagiaan dalam kehidupan yang telah diusahakannya, beliau ingin mendengar melalui matanya akan apa-apa yang kita lakukan, beliau ingin melihat dengan telinganya bagaimana kita mendeklarasikan kehidupan dengan sebekal kasih sayang yang dilekatkannya pada karakter kita, beliau ingin merasakan melalui indera penciumannya bagaimana harum akhlak yang menebar pada lingkaran kehidupan kita, beliau ingin…

Ah kita? sepantasnya diriku berkaca…

bagaimana aku memenuhi keinginannya, bahkan waktupun aku tak lagi memilikinya, bahkan aku begitu malu mempersembahkan cinta yang begitu sederhananya untuk beliau…

Beliau adalah pohon kasih sayang, akarnya kokoh cabangnya menjulang mendaki langit, tidak berlebihan jika Tuhan menghadiahi surga di telapak kakinya…

Apa kabar ibumu?

Sudahkah ia tahu bahwa kau mencintainya?

________

salam muhasabah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun