[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="aliff914.blogspot.com"][/caption] Sudah lama sekali rasanya, saya tidak update tulisan di sini. Kali ini saya akan belajar menuliskan pengalaman saya menghadapi peserta didik yang bermasalah dalam persahabatan. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi khususnya dalam pembelajaran, juga bagi pembaca pada umumnya yang mungkin terdampar di tulisan saya ini, hehe. *** Suatu pagi, ada seorang siswi sebutlah namanya Mei, ia terengah-engah mengejar saya yang tiap pagi bergegas ke bawah (lapangan dekat gerbang sekolah) untuk memantau peserta didik yang terlambat datang ke sekolah. Mei cuma mau bilang kalau ia hendak bercerita tentang masalahnya kepada saya. Saya katakan, "iya nanti ketika jam istirahat pertama atau ketika jam kelasmu ada yang kosong baru ke ruangan Ibu ya..." Mei pun datang ke ruangan saya, ia bercerita tentang masalahnya dengan sahabat baiknya, sebutlah namanya Juni (bukan nama sebenarnya). Mei menangis tersedu-sedu, ia merasa difitnah sehingga menyebabkan kebencian Juni terhadapnya, bahkan Juni sempat marah dan berteriak padanya hingga mengeluarkan kata-kata yang membongkar aib Mei. Juni mengatakannya di depan beberapa orang yang berada di sekitar mereka bertengkar. Pecah tangis Mei. Karakter Mei ini memang agak sensitif dan mudah menangis. Selang waktu saya memanggil Juni ke ruangan saya. Sebelumnya saya ajak konseling Juni terkait sikapnya yang dikeluhkan beberapa guru, kurang sopan, tidak tertib berpakaian dan suka terlambat datang ke sekolah, padahal ia adalah anggota OSIS yang semestinya memberikan teladan yang baik khususnya buat adik-adik kelasnya. Juni adalah anak perempuan yang dilahirkan dalam kondisi keluarga yang bercerai. Ketika ia SMP kedua ortunya berpisah, ia tinggal bersama ibunya. Ia mengatakan ibunya memiliki hobi travelling, terkadang ia juga diajak namun lebih banyak ditinggalnya. Juni tumbuh menjadi anak yang aktif. Ia menceritakan tentang kebenciannya terhadap Mei yang sudah menjelek-jelekkan dirinya di depan pacarnya dan teman-teman kelasnya. Mei dan Juni tidak berada dalam satu kelas. Mei dan Juni saya pertemukan. Kami duduk di sebuah karpet merah di ruangan BK. Kami duduk bersila melingkar, Bahasa tubuh Juni menyatakan kebenciannya terhadap Mei. Awalnya keduanya menolak dipertemukan. Saya mengawali konseling mereka, "Ibu di sini mempertemukan kalian, agar masalah diantara kalian dapat lebih jelas dan lebih mudah kalian selesaikan. Ibu di sini hanyalah mediator kalian, bukan Ibu yang akan menyelesaikan masalah kalian, tapi kalian sendiri yang akan menyelesaikannya. Kalau Ibu boleh menarik kesimpulan, masalah kalian hanyalah masalah komunikasi yang menyebabkan salah paham diantara kalian. Terlalu dini rasanya jika kalian menumbuhkan kebencian karena masalah sepele ini. Oke, Mei silahkan ceritakan apa yang membuatmu sakit hati terhadap Juni?" Mei bercerita dengan bumbu dan kuah air mata yang cukup banyak huehue. Juni pun sama berderainya air mata ketika menanggapi cerita Mei. "Lo tau gak, kalo cuma lo Sahabat gue? Dulu pas kelas X gue di bully anak-anak sekelas, cuma Lo doang yang mau tetep temanan ama gue. Cuma lo yang peduli ama gue, cuma lo... Tapi kenapa sekarang malah lo yang nusuk gue dari belakang?" Ahaha jujur saya mau ketawa liat Juni nangis sambil cerita itu, karena mirip sekali artist sinetron yang teraniaya. Syukurlah saya bisa mengendalikan diri. Mei dan Juni bergantian bercerita dengan sangat emosional. "Oke. Masing-masing sudah mengeluarkan uneg-unegnya. Ibu di sini akan membantu kalian melihat lebih jelas, mendengar lebih tajam, dan merasakan masalah yang terjadi melalui sudut pandang Ibu sebagai orang yang netral di luar diri kalian yang sedang berkonflik. Coba sekarang kalian pejamkan mata, kemudian ingat saat-saat kalian bersama, berbagi suka duka. Ingat ketika pertama kali kalian memutuskan untuk bersahabat dekat, ingat ketika pertama kali kalian merasa cocok satu sama lain. Ingat ketika kalian ada masalah, entah itu masalah dengan keluarga, dengan pacar, atau dengan apapun-siapapun, kalian jadi saling membutuhkan." Keduanya semakin larut dalam derai air mata... "Ada sebuah ungkapan, yang sangat Ibu ingat, Bagi dua orang yang membenci bumi seluas ini terasa begitu sempit, namun bagi dua orang yang saling menyayangi lubang jarum yang begitu sempit akan terasa luas dan tetap menyenangkan hati." Sayapun melanjutkan, jujur saya agak bergetar dan sedikit terharu menyampaikan kata demi kata, karena jauh dalam hati saya merindukan sahabat-sahabat dekat saya yang lama tak bisa dijumpai. Saya juga menyampaikan kepada mereka, masa-masa SMA adalah masa-masanya persahabatan sangat penting, bahkan lebih penting dari keluarga, saya juga merasakan bagaimana sahabat-sahabat SMA saya hingga kini juga masih terasa kenangan indah dan kebersamaannya walaupun kini telah jauh berpisah dalam kesibukan hidup masing-masing. "Mei sudah menyatakan bahwa bukan ia yang mengatakan ke pacarmu Juni. Menurut Ibu, apapun kebenaranNya cuma Allah Yang Tahu. Kita sebagai manusia tidak ada yang sempurna, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Juni bukan orang yang sempurna, bukan orang yang tidak pernah berbuat salah. Mei juga demikian. Menurut Ibu, kalian sama-sama punya kesalahan. Juni juga tidak pantas jika memaki aib Mei di depan umum. Kita semua sama-sama pernah berbuat salah. Kita manusia berproses, memperbaiki diri, berproses menuju kedewasaan. Masing-masing dari kita jadikan ini pembelajaran terbaik untuk mendewasakan kepribadian kita. Jika seseorang berbuat salah, ada etika yang baik untuk menyelesaikannya. Kalian kan sekarang sedang menuju pendewasaan diri, silahkan diselesaikan masalah kalian sekarang, sebelum segalanya berlarut-larut menjadi masalah yang panjang. Ayo Mei dan Juni pasti tahu apa yang harus dilakukan." Saya sengaja tidak menyuruh mereka saling meminta maaf. Saya memancing inisiatif mereka. Mei pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu, Mei meminta maaf lebih dulu, Juni terlihat masih enggan, namun dengan tetap membuang muka ia menjabat tangan Mei. Saya tanyakan ke pada Juni, "Juni belum ikhlash memaafkan Mei? Terlihat sekali dari bahasa tubuhmu Juni." Juni mengeluarkan kembali kekesalannya terhadap Mei. Konseling ini cukup memakan waktu, karena Juni sulit sekali membuka pintu maafnya. Sampai mulut saya berbusa menyampaikan ini itu. Ahaha. Saya juga menyadari tidak mudah memaksa seseorang untuk memafkan. Setelah mengalami Konseling yang cukup alot. Alhamdulillah Juni sudah mau sedikit tersenyum dengan Mei, mereka berjabat tangan saling memafkan. Juni menyampaikan, bahwa segalanya mungkin tidak akan bisa sama seperti dulu lagi ke pada Mei. Saya sudah berusaha membantu mereka, membimbing mereka, jika memang hasilnya belum maksimal setidaknya saya sudah berusaha. Keduanya keluar dari ruangan saya dengan berterima kasih dan mencium tangan saya. Dua hari berselang, Mei datang lagi ke ruangan saya. Ia menceritakan hubungannya dengan Juni sudah membaik, sudah bbm an seperti biasa, Juni juga sudah meminta maaf secara personal. Mereka berpelukan sepulang sekolah setelah sesi Konseling bersama saya waktu itu. Aaahhhhhh.... Bahagianya saya :) Alhamdulillah. *** Lain Mei-Juni lain pula kisah pasangan sahabat Ari-Ira (bukan nama asli). Masalah mereka juga sama dengan Mei-Juni, kesalahpahaman yang menimbulkan kebencian. Yang berbeda kasus Ari-Ira sudah lama kejadiannya, sejak mereka kelas X. Ari benci sekali dengan Ira, karena merasa telah dibohongi dan difitnah, sedangkan Ira tidak pernah tahu kesalahannya, hingga ia didiamkan oleh Ari sampai sekarang. Di kelas XI ini mereka kembali sekelas, Ari sebisa mungkin menghindari Ira. Ira adalah pribadi yang cuek sekali, kalau didiemin ya sudah dia juga diam saja. Berawal dari pagi kemarin, Ari datang ke ruangan saya dengan air mata berderai-derai. Ia ijin dari pelajaran sejarah. Saya persilahkan ia duduk, menyiapkannya tissue, menanyakan perasaannya, kemudian mempersilahkannya bercerita. Ari bercerita masalahnya dengan pacarnya, dengan keluarganya, dan masalahnya di sekolah. Semuanya saya dengarkan saja, saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Setelah semuanya ia ceritakan, ia tampak sedikit lebih lega. Saya memberikan beberapa motivasi dan masukan positif untuk Ari. Panjang lebar kita saling bertukar pikiran dan cerita, sampailah pada cerita Ari yang membenci Ira. Saya pikir, ini harus diselesaikan. Sayapun menyuruh Ari untuk shalat dhuha dahulu untuk menenangkan diri. Sementara Ari shalat, saya memanggil Ira di kelas untuk ke ruang BK. Ketika dipertemukan, Ira terlihat santai karena dia merasa tidak ada yang salah. Ari membuang muka. Saya memulai Konseling dengan harapan mereka dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri. Alhamdulillah tidak melalui Konseling yang panjang, Ari lebih mudah terbuka pikirannya sehingga dapat melihat masalahnya dengan Ira menjadi lebih jelas. Ari dan Ira pun saling berpelukan lamaaa sekali. Saya terharu karena mereka saling meluapkan kerinduan persahabatan mereka yang sempat terhenti. Setelah lama berpelukan saya bertanya kepada Ira yang masih saja nangis sesunggukan. Ira menjelaskan bahwa ia kangen sekali dengan Sahabat kecilnya yang kini berada di Australia, mereka sudah putus hubungan komunikasi. Ia jadi sangat sedih, karena selama sesi Konseling saya juga Banyak membangkitkan kenangan-kenangan persahabatan. Saya katakan, bahwa ada sebuah cara memeluk yang paling ampuh walaupun tanpa pelukan secara fisik. Yaitu dengan saling mendoakan, jika rindu maka sampaikanlah kepada Tuhan, insyaAllah Dia Yang Maha Menggerakkan Hati, akan menenangkan kerinduan di hati masing-masing yang saling merindukan. Sayapun menyarankan Ira untuk shalat dhuha, Ari langsung berbaik hati untuk menemani Ira shalat dhuha di mushola sekolah.
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="@gurukreatif"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H