[caption id="attachment_204594" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi : FB Megaphoto"][/caption]
Kita tidak pernah benar-benar mengerti arti sebuah kata, sebelum kata-kata itu keluar dari bahasa kamus lalu kemudian meretas di dalam realitas. Seperti satu kata, hilang. Hilang, ditambahi imbuhan membawa serentet makna lainnya, kehilangan, menghilang, dihilangkan. Hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang, hilang. Maknapun bisa benar-benar hilang, jika kau mengucapkannya berulang kali, hingga lidah terasa kebas dan maknanyapun menjadi bias…
Aku kehilanganmu, jauh sebelum waktu menentukan perpisahan. Kau menghilang, namun sejatinya aku yang dihilangkan olehmu. Kau terus mengikatku, merantai hatiku, tak ada kemampuan bagiku untuk menjauhimu, padahal kenyataannya kau sudah benar-benar menghilang, bersama ribuan entah yang tak pernah mampu kupahami.
Bagiku Tuhan itu Maha kreatif, sungguh tak terjangkau oleh pola pikir yang kerdil ini. Dia menciptakan hati yang secara fisik kecil sekali, namun sungguh berkuasa atas segala di muka dunia ini. Lihatlah saat ini, bagaimana sebuah hati yang kecil di dalam sini telah menjerat kesadaranku, mengganggu rasa nyamanku. Ini hanyalah contoh hati yang terjerat perasaan melankolis, bagaimana dengan hati yang dikuasai nafsu membunuh?
Oh Tuhan… bantu kami mengendalikan hati ini… sesungguhnya keledai-keledai dalam diri kami begitu liar, tak mampu dikendalikan hanya dengan kesadaran kami yang sederhana akan kekuatanMu.
Tentang dia yang telah hilang, aku tak ingin merindukannya, namun sungguh sepi dan malam adalah penghantar rindu yang cukup efektif membuat kenangan kembali menghidupi waktu. Bagaimana mengendalikannya jika hati dan pikiran mulai sejalan, memahat kenangan untuk dijadikan cemilan malam ini? mana bisa dipisahkan diri ini dengan segala sesuatu yang bahkan harumnyapun masih tersimpan rapi menghuni ruang kosong di dalam sini.
_________
Awan hadir dalam kehidupanku, tanpa pernah tahu sejarah waktu telah membawa peta air mata kerinduan, bagi seorang lawan jenis yang kukenal sebagai Bumi. Kini Awan sudah resmi menjadi suamiku, sungguh sebuah puisi bagiku ketika menemukan nama Awan disandingkan dengan namaku dalam undangan pernikahan kami. Namaku Hujan Matahari Nurcahyani disandingkan dengan Awan Hartawan.
Awan dan hujan, bagaimana bisa saling mencintai, sementara awan mengorbankan dirinya demi menderasnya hujan di muka bumi. Ahh… Tuhan, bagaimana Engkau bisa sekreatif ini mengatur cerita kami?
_________
Awan adalah tipe seorang lelaki yang benar-benar sempurna, ganteng-mapan-taat beribadah-dan segala kelebihan lainnya yang diimpikan semua perempuan normal di muka dunia ini. Sedangkan aku yang penuh dengan kekurangan, keterbatasan, dan ke-an lainnya yang membuatku sungguh merasa tak pantas mendampinginya. Apalagi dengan beban rindu yang belum mampu kulepaskan terhadap Bumi, bahkan setelah dua tahun pernikahan kami.
Hari itu, aku menemukan sebuah puisi di meja kerja Awan. Aku tahu itu tulisan tangannya…
Aku rindu musik hujan
Kemarau ini sungguh parau suaranya
Bagaimana aku menikmati
sesuatu yang tidak pernah kumiliki?
,
Awan,
Hujan,
Dan
Bumi
Tiga perangkat alam
Yang akan terkait dalam kerinduan
Saling memberi
Terus begitu…
Hingga salah satu diantara mereka
lelah
dan
memutuskan untuk tidak lagi saling bertemu…
,
Kemarau,
Masih bernyanyi dengan suara paraunya
Mendendangkan nada-nada kerontang
Retak-retak alunannya
Memecah telinga udara
Burung hud-hud mengepakkan sayapNya
Mengabarkan kemarau yang lebih panjang,
rupanya awan tidak jua menjemput hujan
demi menderasi bumi
dan menumbuhkan
Apa-apa yang akan menghidupi kehidupan
,
Hujan…
Aku merindukan
Suaramu
Menderaslah
Hingga luruh semua keluh kesah ini…
_________
Apa aku boleh menangis setelah membaca puisi kemarau ini, Tuhan… ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H