Mohon tunggu...
nur amirah yolanda putri
nur amirah yolanda putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Univerisitas Negeri Semarang

Sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), saya sangat tertarik dengan pendidikan dan pembangunan karakter bangsa. Hobi saya memasak memberikan kebahagiaan dan kreativitas di dapur. Saya juga suka mengikuti kegiatan sosialisasi, berinteraksi dengan banyak orang, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melestarikan Warisan Budaya Tak Benda: Memahami Nilai dan Makna Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus

21 November 2024   15:16 Diperbarui: 21 November 2024   15:48 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai merupakan keyakinan, prinsip, atau standar yang dianggap penting oleh individu atau masyarakat. Tradisi merupakan bagian dari warisan budaya yang terdiri dari praktik, kepercayaan, nilai, dan pengetahuan yang diturunkan dari satu generasi ke keturunan berikutnya yang membentuk suatu identitas dalam masyarakat sehingga dapat memperkuat hubungan individu dalam suatu konteks budaya. Kebudayaan bisa dijelaskan sebagai “seluruh konsep, aktivitas, dan hasil karya manusia dalam kehidupan bersama, yang diperoleh manusia melalui proses pembelajaran” (Koentjaraningrat, 1990: 180) Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai mencakup prinsip prinsip moral dan hidup sedangkan tradisi mencakup aspek-aspek budaya yang harus dirawat. Warisan budaya pendapat Davidson (1991:2), adalah produk atau hasil karya suatu budaya baik benda maupun tak benda yang berbeda-beda lalu membentuk prinsip-prinsip yang berasal dari masa lampau yang menjadi inti identitas sebuah komunitas.
Melestarikan budaya melibatkan tindakan berkelanjutan, terarah, dan terpadu untuk mencapai tujuan tertentu yang mencerminkan ketahanan dan keluwesan, serta menjaga nilai-nilai seni budaya dan tradisional melalui pengembangan yang dinamis. (M.I Nahak, Hildgardis, 2019:71)..
Kudus sebagai daerah yang dahulunya digunakan walisongo bertugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah Jawa, tentunya kaya akan nilai, tradisi, dan budaya yang kemudian menjadi bagian dari suatu warisan budaya baik benda maupun tak benda. Dalam peradaban Islam di Indonesia, Kota Santri memiliki tempat yang sangat istimewa sebagai peninggalan Sunan Kudus, salah satu wali songo yang legendaris.
Sunan Kudus, yang juga dikenal sebagai Syekh Ja'far Shodiq, dikenal sebagai pemimpin spiritual yang mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan ajaran Islam. Sunan Kudus, sebagai figur yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, penghargaan, dan kebijaksanaan, membentuk harmoni dalam kehidupan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dihargai oleh warga Kota Kudus. Keberagaman tempat ibadah menjadi bukti konkret dari kerukunan agama di kalangan umat beragama (Ismaya, 2017:45). Masyarakat Kudus masih sangat memperhatikan dan melestarikan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari yang telah diajarkan secara turun temurun bagi masyarakat yang bersumber dari ajaran-ajaran leluhur, salah satunya adalah Sunan Kudus sebagai walisongo yang menyebarkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan prinsip-prinsip budaya.
Setiap daerah memiliki adat istiadat dan tradisi sendiri yang cenderung berbeda-beda. Salah satu kebiasaan khususnya Kudus, Jawa tengah yang masih dilakukan dan diyakini sampai saat ini, yaitu tradisi Buka Luwur. Ritual ini dilakukan setiap tahun pada awal tahun Hijriyah, yaitu setiap 1 Muharam, sebagai penghormatan terhadap Sunan Kudus atas kontribusinya dalam penyebaran Islam di Kudus. Perayaan dimulai pada tanggal 1 Muharam dan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Muharam. Buka Luwur sebagai salah satu wujud budaya hasil dari interaksi antara Islam dan tradisi lokal, yang melibatkan praktik penggantian kain kelambu atau mori yang digunakan untuk menghias nisan, cungkup, makam, dan juga untuk bangunan di sekitar kompleks makam. Buka Luwur merupakan salah satu wujud kebudayaan dari hubungan Islam dengan tradisi setempat (Nuha, 2016:56). Buka Luwur diadakan untuk menghormati leluhur sebagai orang terkenal dalam bidang agama dan kehidupan sehari-hari atau memiliki peran tertentu dalam suatu daerah.

PEMBAHASAN: Buka luwur memiliki arti pembaruan kain luwur atau kain mori pada nisan, cungkup, makam, serta bangunan di sekitar makam. Hal tersebut dilakukan dalam rangka peringatan haul atau hari kematian namun, dalam Sunan Kudus, istilah "haul" tidak dipakai karena belum ada informasi pasti mengenai hari dan tanggal wafatnya Sunan Kudus hingga saat ini. Tradisi ini yang diperingati setiap 1 tahun sekali dengan puncak acara pada tanggal 10 Suro dalam penanggalan jawa atau 10 Muharam dalam penanggalan Hijriah, sebagai bentuk penghormatan kepada Sunan Kudus sebagai leluhur. Tradisi ini biasanya berlangsung selama 10 hari dan dilakkukan oleh panitia atau petugas khusus dan warga sekitar menara seperti warga desa Kauman dan desa Langgardalem. Ada beberapa rangkaian acara yang terdiri dari jamas pusaka, pelepasan kain luwur, doa rasul, terbangan, khataman quran, santunan anak yatim, pembuatan dan pembagian bubur asyura, pengajian umum, kirab, penyembelihan hewan kerbau untuk sego jangrik, puncak acaranya adalah upacara buka luwur nerupa penggantian kain luwur atau kain mori yang digunakan untuk makam Sunan Kudus selama setahun lalu, dan yang terakhir adalah pembagian sego jangkrik. Kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi tersebut masih tinggi. Ketika dalam rangkaian kegiatan tersebut ribuan masyarakat baik dalam maupun luar turut hadir dalam tradisi tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi tersebut masih tinggi. Ketika dalam rangkaian kegiatan tersebut ribuan masyarakat baik dalam maupun luar turut hadir dalam tradisi tersebut. Kegiatan tersebut meliputi,
a.Jamas Pusaka
Pada prosesi rangkaian acara yang pertama, yakni jamas pusaka. Jamas pusaka dilaksankan setiap hari senin atau kamis setelah hari tasyrik bulan zulhijah dengan diawali ritual ziarah makam Sunan Kudus. Ada beberapa pusaka yang dijamas, pusaka tersebut yang pertama adalah keris cinthaka. Model keris ini diyakini berasal dari masa akhir Majapahit. Desain keris tersebut mengikuti dhapur panimbal yang simbolisnya mencerminkan kebijaksanaan dan kekuasaan. Keris Cinthaka, dengan motif 'wos wutah', mencerminkan kekayaan, perlindungan, dan pengabdian kepada Tuhan. Keris ini dilengkapi dengan berbagai elemen seperti luk sembilan, lambe gajah, jalen, pejetan, tikel alis, sogokan ngajeng dan wingking, sraweyan, serta greneng duri. Emas yang ditempel di gandhik keris adalah jenis 'kinatah panji wilis', yang menjadi simbol topeng emas untuk wajah keris. Keris ini diamankan dalam peti, disimpan dibagian atas bangunan tajug dan yang kedua adalah sepasang tombak trisula sebagai lambang tanah merdeka wilayah kudus biasa tertancap di sisi mihrab atau pengimamam Masjid al- Aqsha.

Dengan disertai bacaan selawat, juru kunci menurunkan peti yang berisi keris Cinthaka, dam mengambil sepasang trisula kemudian menyerahkannya kepada petugas penjamasan. Keris terlebih dahulu dilepaskan gagangnya karena yang akan dijamas adalah bagian utamanya, yaitu wilah. Wilah keris kemudian dibasuh dengan banyu londo, yakni air yang direndam dengan merang jerami ketan hitam. Setelah itu, Bilah keris dikeringkan dengan cara menjemurnya di atas jerami atau sekam ketan hitam, lalu dibasuh menggunakan warangan, cairan kimia khusus yang telah disiapkan, kopok gajah yang didatangkan dari khusus dari Keraton Surakarta sambil dipijat secara perlahan untuk memastikan warangan meresap sempurna. Proses pencucian berakhir dengan membilas kembali bilah keris menggunakan banyu londo, kemudian dikeringkan kembali di atas sekam ketan dan dilap dengan kain mori putih. Setelah menjalani proses penjamasan, keris kemudian diserahkan kepada sang kiai untuk diolesi dengan minyak khusus, dipasang pegangan atau ukiran, dan dimasukkan ke dalam warangka untuk disimpan kembali di tempat semula. Pada kegiatan ini tidak mengundang tamu tetapi banyak yang antusias untuk hadir. Setelah selesai kegiatan penjamasan dilakukan zikir, doa bersama, dan makan bersama jadah pasar dan opor ayam sebagai makanan kesukaan Sunan Kudus. Sebagian Masyarakat antre untuk mendapatkan air dari jamasan pusaka Sunan Kudus, keris cinthaka, karena diyakini memiliki kesaktian dan pengaruh terhadap cuaca. Setiap kali keris ini dicuci, cuaca menjadi timbreng, tidak panas dan tidak hujan. Air bekas cuci ini, atau "kolo" dalam bahasa Jawa, digunakan masyarakat untuk mencuci keris mereka dengan harapan mendapat berkah. Mencuci pusaka selama bulan Muharram memiliki makna simbolis dalam budaya dan tradisi Islam. Bulan ini dianggap suci, dan membersihkan pusaka dianggap penghormatan terhadap tradisi dan persiapan spiritual menyambut tahun baru Islam. Kegiatan penjamasan pusaka ini mengajarkan proses pembersihan diri dari dosa dan merawat warisan leluhur agar tetap awet dan berkilau, sesuai dengan ajaran tepo seliro.

b.Pelepasan kain luwur
Pada tanggal 1 Muharam, kain luwur dilepas dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti sesepuh, ulama, dan tokoh masyarakat. Kegiatan dimulai dengan tahlilan, lalu kain mori dilepas dari makam Sunan Kudus. Kain-kain tersebut kemudian disimpan di tajug atau dibagikan kepada tokoh masyarakat dan panitia. Beberapa masyarakat Kudus masih meyakini keberkahan kain tersebut dengan meletakkannya di berbagai tempat di rumah. Meski terdengar tidak masuk akal, praktik ini tetap dilakukan sejumlah individu hingga kini. Kain bekas Makam Sunan Kudus hanya diberikan kepada individu seperti Kyai Sepuh, tokoh masyarakat, dan anggota panitia yang telah membantu dalam Upacara buka luwur. Kriteria penerima kain ini telah ditetapkan oleh panitia. Meski demikian, banyak orang di luar Desa Kauman yang mencari kain tersebut karena kepercayaan akan kekuatan mistisnya, terutama karena kain tersebut didoakan di makam Sunan Kudus.

c.Doa Rasul
Dalam tradisi doa Rasulan, umat Islam umumnya melafalkan dzikir, salawat, dan doa yang ditujukan untuk memuji dan memohon berkah kepada Nabi Muhammad SAW. Praktik ini sering dipandang sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengikuti teladan dan ajaran yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini bertujuan supaya kegiatan yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar.

d.Terbangan
Terbangan Al-Barzanji seringkali melibatkan pembacaan syair-syair Al-Barzanji yang dipenuhi dengan puji-pujian dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya disertai dengan musik tradisional seperti gamelan atau rebana, serta nyanyian yang dipimpin oleh seorang pembaca syair atau imam. Terbangan dalam acara buka luwur Sunan Kudus merupakan bagian penting dari rangkaian acara tersebut, biasanya dilaksanakan di depan menara atau panggung depan menara. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyambut bulan Muharam, yang merupakan awal dari tahun baru dalam kalender Islam. Terbangan ini melibatkan empat alat terbang dan satu alat yang disebut jidur, yang menampilkan akulturasi budaya antara Arab dan Jawa. Misalnya, penggunaan tembang Jawa yang disebut selawat dalam terbangan tersebut menunjukkan perpaduan antara budaya Jawa dengan unsur Islam dari Arab. Ini mencerminkan kekayaan budaya yang terjadi dalam perayaan buka luwur Sunan Kudus.

e.Khataman Quran
Khataman Quran pada Buka Luwur Sunan Kudus bertujuan untuk menambah semarak acara Buka Luwur Makam Sunan Kudus dan memberikan pahala khusus kepada Kanjeng Sunan Kudus. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat membawa berkah atau tabarukan bagi para peserta yang mengikuti acara selanjutnya.

f.Santunan anak yatim
Santunan anak yatim merupakan bentuk konkret dari amal dan kebaikan yang mengekspresikan perhatian terhadap anak-anak yang kehilangan orang tua mereka. Kegiatan ini mencerminkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan, dan keagamaan yang sangat dihargai dalam tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Memberikan santunan kepada anak yatim memiliki arti yang dalam dalam konteks budaya dan ajaran agama, terutama dalam Islam. Secara konseptual, tindakan ini dipandang sebagai ekspresi kepedulian sosial.

g.Pembuatan dan pembagian bubur asyura
Bubur Asyura adalah makanan ini diyakini sebagai bancaan Nabi Nuh ketika selamat dari banjir bandang. Bubur Asyura khas yang dihidangkan saat perayaan Buka Luwur Sunan Kudus biasanya satu hari sebelum puncak acara pada tanggal 9 Muharam. Bubur Asyura terdiri dari tepung beras, kacang tanah, kacang tolo, kedelai, kacang hijau, gula pasir, garam, dan air. Setelah matang, bubur akan diletakkan di dua wadah berbeda bentuk, yakni takir yang diambil dari kata takwa dan zikir sebagai wadah amalan manusia kepada Tuhan. model pincuk dan Samir atau model piring dari daun pisang. Kemudian bubur ini ditaburi dengan beberapa bahan seperti tahu, tempe, ikan teri, udang, telur, srundeng, jeruk bali, kecambah, dan sambal. Bubur Asyura disajikan kepada warga dan para kiai sebagai bagian dari tradisi buka luwur Makam Sunan Kudus. Pembagian bubur Asyura kepada warga dan para kiai pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus mempunyai arti sebagai bentuk kepedulian, kebersamaan, dan keberkahan. Tindakan ini tidak hanya sebagai bagian dari tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan, tetapi juga sebagai wujud solidaritas sosial dan penghormatan terhadap Sunan Kudus. Melalui pembagian bubur Asyura, masyarakat dan para kiai dapat merasakan kehangatan dan kebersamaan dalam momen perayaan Buka Luwur, serta memperkuat ikatan sosial antarwarga dan antargenerasi. Selain itu, pembagian bubur Asyura juga mencerminkan nilai-nilai kebaikan, berbagi rezeki, dan kesederhanaan yang menjadi bagian integral dari tradisi keagamaan dan budaya masyarakat Kudus.
 
h.Pengajian umum 10 Muharam
Pengajian umum pada buka luwur Sunan Kudus merupakan bagian penting dari tradisi tersebut, diisi dengan membaca kasidah al barzanji dan pengajian di gedung menara. Pada momentum pengajian tahun baru Islam ini, kita diingatkan akan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Tujuan lain dari acara ini adalah untuk merefleksikan perbuatan dan kehidupan kita selama setahun terakhir, serta untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik lagi. Hal ini menunjukkan pentingnya introspeksi dan perubahan positif dalam diri manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Acara ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan cinta kepada Nabi Muhammad SAW melalui selawat Selain itu, pengajian ini juga menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk yang berasal dari luar Kudus, dalam kegiatan keagamaan yang penuh makna dan kebersamaan.

i.Kirab Buka Luwur punden dan belik
Kirab Punden Belik adalah suatu tradisi atau serangkaian upacara yang rutin diadakan di desa- desa Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, setiap tahunnya sebagai bagian dari perayaan adat untuk mengenang leluhur yang telah meninggal
Dalam kirab tersebut, peserta membawa serta menampilkan beragam atribut adat dan lambang- lambang keagamaan yang terkait dengan kepercayaan dan tradisi lokal. Punden Belik merupakan sebuah situs bersejarah yang dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir para leluhur, menuju tempat-tempat suci lainnya di sekitar desa. Kirab ini tidak hanya merupakan ritual keagamaan semata, melainkan juga bertujuan untuk mempererat hubungan sosial antarwarga, meningkatkan rasa solidaritas, dan melestarikan nilai- nilai budaya tradisional. Selain itu, tradisi kirab Punden Belik juga menjadi daya tarik wisata budaya bagi pengunjung yang tertarik dengan kekayaan budaya Jawa Tengah.
Kegiatan kirab Buka Luwur punden dan belik dilakukan dari pendopo kabupaten Kudus hingga menara Kudus, sebagai representasi persatuan setiap elemen masyarakat Kudus yang terdiri dari 9 kecamatan dengan membawa gunungan berupa hasil panen, seperti rempah dan sayuran sebagai ungkapan rasa syukur. Gunungan tersebut diserahkan ke menara Kudus yang nantinya akan diolah bersamaan sego jangkrik untuk dibagikan pada masyarakat. Pada saat kirab pusaka kabupaten Kudus dibawa sebagai lambang persatuan wilayah Kudus.

j.Penyembelihan hewan
Penyembelihan kerbau pada perayaan Buka Luwur Sunan Kudus memegang peranan penting dalam konteks budaya dan tradisi Islam. Tindakan ini tidak hanya melambangkan pengorbanan dan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat hubungan sosial dan kebersamaan di antara masyarakat. Dengan melaksanakan penyembelihan hewan, masyarakat tidak hanya menyatukan diri dengan kehendak Allah SWT, tetapi juga mempererat ikatan sosial dengan sesama. Penyembelihan menggunakan hewan kerbau di Kudus dilakukan sebagai alternatif sapi karena tradisi Hindu sebelumnya menganggap sapi sebagai hewan suci. Sunan Kudus menggantikan sapi dengan kerbau dalam penyembelihan saat Idul Adha dan kegiatan lain sebagai bentuk toleransi Islam di wilayah tersebut. Ini menunjukkan usaha Sunan Kudus dalam menjaga tradisi Islam dan menghormati agama serta masyarakat. Selain itu, penyembelihan kerbau juga mengedepankan nilai pengorbanan, kepedulian sosial, dan dagingnya disumbangkan kepada masyarakat. Hal ini mencerminkan harmoni antaragama dan kesadaran masyarakat akan pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun