Mohon tunggu...
Nur Amirah Husna
Nur Amirah Husna Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - nur amirah husna atau yang biasa dipanggil amirah merupakan salah satu mahasiswa universitas andalas jurusan sastra indonesia fakultas ilmu budaya angkatan 2021

amirah mempunyai hobi membaca dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dua Tengkorak Kepala Vs Telepon dari Aceh, Manakah yang Tragis?

15 November 2023   14:50 Diperbarui: 15 November 2023   14:50 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia banyak menghasilkan sastrawan-sastrawan yang termahsyur pada masanya. Karya-karya mereka tak lekang oleh waktu yang sampai sekarang masih dinikmati oleh penerus-penerus baru. Karya-karya mereka banyak dijadikan bahan untuk dikaji dan dianalisis sehingga dapat menghasikan karya-karya terbaru. Sastrawan yang terkenal di Indonesia diantaranya adalah Motinggo Busye dan Seno Gumira Ajidarma yang namanya sudah tidak asing lagi bagi dunia sastra Indonesia. 

Mereka banyak menghasilkan karya-karya mengenai kehidupan sosial bahkan kritikan terhadap pemerintah. Salah satu cerpen yang terkenal adalah Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye dan Telepon dari Aceh karya Seno Gumira Ajidarma. 

Kedua cerpen tersebut berada di buku Antologi Cerpen Dua Tengkorak Kepala pilihan Kompas 2000 yang diterbitkan pada tahun 2018. Selain cerpen Dua Tengkorak Kepala dan Telepon dari Aceh, ada banyak lagi cerpen-cerpen dari penulis yang berbeda dan tentu saja ceritanya tak kalah menarik dari kedua cerpen yang saya pilih ini.

Kedua cerpen tersebut menceritakan bagaimana kejamnya pemerintahan di Indonesia. Kita masuk dulu ke cerpen pertama yaitu, Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye. Cerpen Dua Tengkorak Kepala merupakan representasi dari reformasi yang terjadi di Aceh terdahulu. Singkatnya, cerpen ini menceritakan mengenai tokoh Ali yang menjadi korban kekejaman negara sendiri karena dituduh bergabung di gerakan separatisme yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka). 

Oleh karena itu, ia menjadi korban dari operasi militer yang dilakukan oleh ABRI di Aceh dan menjadi salah satu korban tragedi pembunuhan  massal. Di tengkorak kepalanya ditemukan satu buah peluru, itulah penemuan tengkorak pertama, yaitu Ali. Kemudian tengkorak kedua dari kakek tokoh 'aku' yang menjadi korban akibat kekejaman dari tentara jepang.

Sang penulis, yaitu Motinggo bermaksud menyampaikan bukti dari anarkisnya kehidupan pada era reformasi terutama di wilayah Aceh yang menjadi Daerah Operasi Militer pada masa itu. Pada akhir cerita Motinggo juga menyampaikan kritik pedas terhadap relitatas kehidupan politik yang diperuntukkan kepada pemerintah Indonesia. 

Tokoh 'aku' ditugaskan oleh keluarganya untuk meminta penghargaan atas pahlawan yang diperuntukkan kepada kakeknya namun ia menolak dan berkata "Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri". Itu merupakan sindiran terhadap keanarkisan pemerintahan Indonesia yang katanya melindungi warganya sendiri namun malah sebaliknya. Sindiran tersebut mampu menyentil hati pembaca pada realita yang ada.

Sementara itu, pada cerpen Telepon dari Aceh karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan bagaimana kondisi negara Indonesia yang kacau balau akibat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang sangat mustahil untuk diberantas. Koruptor-koruptor itu menikmati hidup yang makmur tanpa memikirkan kehidupan orang lain.  Selain itu, ada juga gerakan separatisme dari Aceh yang menyebabkan terjadinya pembunuhan massal sehingga Indonesia mengalami hujan darah pada saat itu. 

Pada bagian akhir cerita ada dialog yang berbunyi "Cepat terima itu! Kalau ada yang mati lagi di Aceh, jangan kasih tahu ibu! Aku capek melihat dia menangis!". Ungkapan tersebut ditulis oleh Seno sebagai bentuk protes atau kritik terhadap operasi militer yang dilakukan di Aceh sehingga menewaskan banyak korban. Kata 'Ibu' dalam ungkapan tersebut berarti negara Indonesia yang selalu menangis melihat kondisinya yang kacau balau akibat peristiwa tersebut.

Seno merupakan penulis yang seringkali menuliskan kritiknya terhadap pemerintah pada saat Orde Baru. Ia mengajak para pembaca untuk dapat menyaksikan peristiwa itu hingga dapat melakukan refleksi terhadap peristiwa tersebut. Begitu pula dengan Motinggo Busye pada cerpennya yang mengkritik pemerintah terhadap operasi militer yang dilakukan oleh ABRI. 

Kedua cerpen tersebut sama-sama membahas bagaimana kondisi Indonesia pada saat Orde Baru terutama dengan adanya gerakan separatisme di Aceh. Kedua penulis tersebut mengkritik sikap pemerintah yang semena-mena terhadap kondisi pada saat itu yang kacau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun