Pilkada Serentak 2024 serasa Pilkada Jawa Sentris
Pilkada Serentak 2024 serasa Pilkada Jawa Sentris?, Ya benar, karena pemberitaan di berita media mainstream dan disebarluaskan lewat media youtube atau media sosial hampir semua membahas Pilkada yang ada di pulau Jawa secara mendetail dan hanya satu yang juga dibahas mendetail yaitu Pilkada Gubernur Sumut, padahal Pilkada Serentak 2024 ini melibatkan pilkada di 545 wilayah terdiri atas 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Fenomena "Jawa-sentris" dalam pemberitaan Pilkada Serentak 2024 dapat dipahami dari berbagai perspektif, terutama terkait dominasi Jawa dalam perspektik politik dan ekonomi di Indonesia. Berikut adalah analisis yang lebih mendalam mengenai kondisi ini:
1. Dominasi Politik dan Ekonomi Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia. Dengan populasi yang mencapai lebih dari 60% dari total penduduk Indonesia, Jawa memiliki pengaruh besar dalam politik nasional. Hal ini menyebabkan perhatian media cenderung fokus pada kontestasi politik di Jawa karena:
- Dampak politik nasional: Pemilihan gubernur atau kepala daerah di Jawa sering kali dianggap sebagai keuntungan elektoral bagi partai-partai yang mendukungnya didalam pemilu pilpres dan pileg berikutnya karena memiliki basis pemilih yang besar. Dalam pilpres 2024 suara rakyat yang memberi suara di Jawa mencapai sekitar 56,8% (115,4 juta suara) dari 204,8 juta suara seluruh suara rakyat Indonesia terdiri dari Jawa Barat 17,4% (35,7 juta suara), Jawa Timur 15,3% (31,4 juta suara) dan Jawa Tengah 13,8% (28,3 juta suara).
- Kepentingan ekonomi: Pulau Jawa sangat dominan dalam kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Pada kuartal II tahun 2024, Jawa menyumbang sekitar 57% terhadap PDB nasional. Hal ini menegaskan pentingnya wilayah ini baik dalam hal demografi maupun perekonomian, mengingat hampir sebagian besar kegiatan industri, perdagangan, dan keuangan Indonesia berpusat di Jawa. Secara spesifik, provinsi-provinsi di Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Keberadaan sektor industri besar, seperti manufaktur, serta kontribusi sektor jasa dan teknologi di Jakarta, mendukung PDB Indonesia secara keseluruhan. Dengan kontribusi yang besar ini, hasil Pilpres atau Pilkada di wilayah Jawa sering kali sangat menentukan arah politik dan ekonomi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, kontestasi politik di Jawa, terutama dalam Pilpres dan Pilkada, akan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan stabilitas ekonomi nasional.
2. Prioritas Media Mainstream dan Media Sosial
Media mainstream memiliki keterbatasan ruang dan waktu pemberitaan, sehingga hanya beberapa kontestasi yang diangkat secara mendalam. Beberapa faktor yang membuat pemberitaan Pilkada di Jawa lebih dominan antara lain:
- Tingkat persaingan yang tinggi: Pertarungan tokoh besar di Jawa, seperti mantan menteri, kepala daerah terkenal, atau figur politik nasional lainnya, sering kali mencuri perhatian jurnalis media karena nilai beritanya lebih tinggi. Selain itu adanya keseruan pengaruh dominasi antara PDIP dan pengaruh Jokowi Effect di Jawa khususnya DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebabkan media mainstream dan digital (media sosial) lebih banyak menyoroti pelaksanaan Pilkada di Jawa karena akan menaikkan rating di media mainstream dan viewer di kanal media digital.
- Minat audiens media: Konsentrasi populasi di Jawa yang begitu besar membuat isu lokal di Jawa memiliki daya tarik lebih besar bagi audiens dibandingkan isu-isu lokal di wilayah selain Jawa di Indonesia.
- Kemudahan akses informasi: Infrastruktur komunikasi dan jaringan media di Jawa jauh lebih maju dibandingkan daerah lain.
3. Eksklusivitas Pemberitaan Sumatera Utara (Sumut)
Pilkada Sumut juga menjadi perhatian media mainstream dan media sosial karena beberapa alasan:
- Potensi ekonomi dan strategis: Sumut adalah provinsi terbesar di Sumatera, dengan kontribusi ekonomi yang signifikan dan posisi geografis strategis sebagai pintu masuk perdagangan internasional.
- Kontroversi dan dinamika politik: Pilkada di Sumut melibatkan tokoh-tokoh dengan latar belakang politik atau kontroversi yang menarik perhatian publik. Terutama karena salah satu calon Gubernur Bobby Nasution merupakan menantu bapak Presiden ke-7 Jokowi dan di dukung penuh oleh partai-partai KIM Plus melawan calon Gubernur petahana Edy Rahmayadi yang hanya didukung oleh PDIP. Pada masa pemilu 2014 dan 2019 suara PDIP terbesar dan bisa mengantarkan Edy Rahmayadi menjadi Gubernur Sumut tahun 2019, menariknya pada Pilpres dan Pileg 2024 perolehan suara PDIP tergerus oleh pengaruh Jokowi Effect termasuk Pilkada Gubernur Sumut 2024 saat ini.
4. Ketimpangan dalam Pemberitaan Daerah Lain
Pilkada di wilayah lain sering kali hanya diberitakan sekilas, bahkan untuk provinsi besar di luar Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku atau Papua. Ini menunjukkan adanya bias struktural, di mana media cenderung menilai pentingnya suatu berita berdasarkan nilai ekonomi bagi media atau kedekatannya dengan pusat kekuasaan dan politik di Jawa.