(Puisi) Kegundahan Hati
Dalam palung laut jiwa yang sunyi aku berkelana,
menyusuri lorong-lorong resah tanpa ujung,
di mana janji sepanjang pagi kian pudar,
dan kelam malam berbisik rintihan angka-angka.
Anakku, harapan di batas mimpiku
menyulam harap dari cahaya temaram,
melihat cakrawala tampak meredup
di bawah bulan sabit yang terhalang gemerlap dunia.
Istriku, pelita di rumah jiwaku,
menjalin doa dalam tenunan sabar,
namun aku tahu di balik matanya,
ada tangis yang berdiam dalam sembunyi.
Wahai zaman, mengapa kau berduri?
Mengapa rizki menjadi kafilah nan jauh,
yang tak kunjung tiba di pelataran kami,
meski peluh telah memeras langit.
Hari-hari adalah tikaman almanak,
harga-harga menari di atas kepala,
sementara kesempatan kerja mengais rizki,
bagaikan burung pipit yang terbang menjauh.
Namun, meski berat raga ini dipikul,
ada api kecil yang tak ingin padam,
cahaya anak dan istriku adalah bara
yang kujaga dengan sejuta langkah.
Tuhan, dalam pusaran hidup ini aku bersimpuh,
berikan tanganMu pada pundakku yang lelah,
agar jalan panjang ini terjalin hidup bermakna,
dan masa depan mereka menjadi surya bersinar terang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H