Wajah Lelah di Balik Temaram Rembulan
Cahaya remang lampu jalan menerpa wajah lelah Pak Ronggo. Kerutan-kerutan halus mulai menari di sudut matanya, mengikuti irama langkahnya yang gontai. Jam dinding di pos jaga menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara malam terasa menusuk tulang, namun tak setajam duri yang menusuk hatinya.
Sudah hampir dua dekade ia menjalani profesi sebagai satpam. Setiap malam, ia berjaga di kompleks perumahan elit, menyaksikan dari kejauhan gemerlap kehidupan yang tak pernah ia sentuh. Sementara itu, di rumahnya, istrinya berjuang keras membesarkan anak-anak mereka dengan penghasilan pas-pasan.
Dulu, saat anak-anaknya masih kecil, ia seringkali berjanji akan membelikan mereka mainan baru, atau mengajak mereka pergi ke taman hiburan. Namun, janji itu seakan menjadi utang yang tak kunjung lunas. Harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara gajinya tetap stagnan.
Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Pak Ronggo selalu berusaha tersenyum kepada anak-anaknya. Ia ingin mereka merasa bahagia meski keadaan ekonomi keluarga sedang sulit. Namun, di balik senyumnya, tersimpan kekhawatiran yang mendalam.
Di tempat kerja, Pak Ronggo dikenal sebagai sosok yang pendiam dan pekerja keras. Ia seringkali menjadi tempat curhat para satpam junior. Meski begitu, ia jarang sekali menceritakan masalah pribadinya. Ia takut membebani teman-temannya.
Suatu hari, saat sedang berjaga malam, Pak Ronggo bertemu dengan Pak Ahmad, tetangganya yang juga bekerja sebagai satpam di kompleks perumahan yang berbeda. Mereka berdua seringkali bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari. Pak Ahmad yang sudah lebih lama bekerja sebagai satpam, memberikan semangat kepada Pak Ronggo.
"Sabar ya, Pak. Semua pasti ada jalan keluarnya. Yang penting kita terus berusaha," kata Pak Ahmad sambil menepuk pundak Pak Ronggo.
Mendengar kata-kata itu, Pak Ronggo merasa sedikit terhibur. Ia merasa tidak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup.
Di rumah, Pak Ronggo berusaha menciptakan suasana yang harmonis. Ia seringkali membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bermain dengan anak-anaknya. Namun, terkadang ia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
Suatu sore, saat sedang duduk di teras rumah, Pak Ronggo melihat anak sulungnya yang sekolah di SMA sedang menangis. Ia menghampiri anaknya dan bertanya apa yang terjadi.