(Fiksi) Ambisi Besar Sang Penguasa
Di sebuah negeri yang tengah bangkit dari kelamnya sejarah, lahirlah seorang pemimpin bernama Brotoseno Agung. Ia bukan penguasa biasa; di matanya selalu terpancar api semangat untuk menjadikan negerinya megah, maju, dan bermartabat. Ia menyebut visinya Negeri Keemasan---sebuah tanah di mana setiap warganya hidup dalam harmoni, keadilan, dan kemakmuran, tanpa mengorbankan alam yang menjadi jiwa dari keberlangsungan.
Namun, mimpi besar datang bersama ujian yang tidak ringan. Negeri itu telah lama terjebak dalam jerat korupsi, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan yang tak terkendali. Brotoseno sadar, mewujudkan keemasan bukanlah tugas yang mudah. Ia membutuhkan dana besar, pengorbanan, dan kepercayaan yang kian rapuh dari rakyatnya.
Awal Perjuangan
Brotoseno memulai ambisinya dengan memperkenalkan tiga pilar utama: Keberlanjutan Ekonomi, Keadilan Sosial, dan Pelestarian Lingkungan. Ia percaya bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan rakyat adalah seperti membangun istana di atas pasir. Namun, untuk membiayai proyek besar-besaran ini---infrastruktur (jalan, jembatan, bandara, pelabuhan dan bendungan), energy terbarukan (listrik bertenaga surya, angin dan air), sekolah ramah lingkungan di setiap pelosok, dan industrialisasi hijau---ia memerlukan anggaran yang hampir mustahil terpenuhi tanpa mengambil langkah berani seperti makna namanya. Brotoseno bermakna laki-laki yang berhati baik, bertanggung jawab, bijaksana, adil, dan berani.
"Kita tidak bisa menggali emas dengan menghancurkan bumi tempat kita berdiri," ujar Brotoseno di depan rapat kabinetnya.
Ia memulai dengan memotong anggaran belanja mewah pemerintahan. Istana yang dahulu penuh kemewahan dijadikan ruang publik untuk rakyat. Pajak progresif diberlakukan, dengan pengusaha besar diwajibkan berkontribusi lebih besar dalam program pembangunan berkeadilan. Namun, ia tahu, itu belum cukup.
Perjuangan Melawan Ketidakpercayaan
Di sisi lain, rakyatnya mulai resah. "Apakah ini hanya janji kosong seperti pemimpin sebelumnya?" bisik seorang petani di sawah. Beberapa rakyat menolak pajak baru, merasa terbebani. Brotoseno memahami ketidakpercayaan ini dan turun langsung ke lapangan. Ia mengunjungi desa-desa, menyapa mereka yang termarjinalkan, dan menjelaskan mimpinya tanpa sekat protokol.
"Negeri Keemasan bukan untukku, tapi untuk kalian, untuk anak-anakmu, dan anak-anak mereka. Jika kita tak memulai sekarang, kapan lagi?" katanya kepada seorang nelayan tua. Kata-katanya menggerakkan hati, meski skeptisisme tetap membayang.
Lingkungan Sebagai Pusat Peradaban
Namun, tantangan terbesarnya datang dari dunia internasional. Beberapa negara investor besar menekan Brotoseno untuk membuka hutan dan tambang besar-besaran demi investasi. "Kita bisa menjadi kaya dalam semalam," bujuk seorang pejabat dari negeri asing.
Brotoseno menolak dengan tegas. "Apa gunanya menjadi kaya jika rakyatku tidak bisa lagi bernapas? Jika sungai kita mengering dan tanah kita menjadi tandus?" jawabnya dengan wajah teguh.
Sebagai gantinya, ia menjalin kemitraan dengan negara-negara yang mendukung keberlanjutan. Ia mendorong perusahaan-perusahaan lokal untuk mengembangkan energi terbarukan, menciptakan ribuan lapangan kerja tanpa merusak ekosistem.
Hasil yang Mulai Terlihat
Tahun demi tahun berlalu. Negeri itu perlahan berubah. Desa-desa kini terang oleh lampu tenaga terbarukan. Pasar-pasar rakyat dipenuhi hasil panen yang melimpah, berkat irigasi modern yang ramah lingkungan. Hutan-hutan yang sempat rusak mulai menghijau kembali, dan rakyat kecil mulai merasakan keadilan dalam pembagian hasil pembangunan.
Namun, perjalanan itu tetap penuh tantangan. Ketika hujan deras melanda dan proyek pembangunan terhenti, Brotoseno tidak mundur. Ia mengumpulkan rakyat di alun-alun dan berkata, "Keemasan tidak datang tanpa badai. Tapi ingatlah, badai akan selalu berlalu jika kita tetap bergandengan tangan."
Akhir Pengabdian
Pada akhir masa kepemimpinannya, Brotoseno tidak hanya meninggalkan infrastruktur megah dan perekonomian yang bangkit, tapi juga warisan kepercayaan. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa ambisi besar tidak harus mengorbankan rakyat atau lingkungan.
Meskipun tidak semua mimpinya terwujud dalam pengabdiannya, rakyatnya kini tahu bahwa Negeri Keemasan bukanlah sekadar dongeng. Itu adalah tujuan yang nyata, dibangun dengan keringat, keberanian, kebersamaan dan kasih. Di penghujung masa jabatan Brotoseno, rakyat bersorak bukan karena ia sempurna, tapi karena ia telah berani bermimpi untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H