(Puisi) Bumi Sudah Tua
Bumi sudah tua, lenguhnya terdengar di senyap malam,
Rintihnya disulam debu dan arang,
Luka-luka menganga di dinding gunung,
Darahnya mengalir di sungai yang keruh,
Udara memintal sesak, angin membawa keluh.
Bumi, yang dahulu perawan hijau,
Kini terselubung selimut abu,
Gemerisik daun tak lagi nyaring,
Hujan turun membawa murka,
Tiap tetesnya, penghakiman dari langit.
Banyak bencana terhampar di pangkuannya,
Gempa adalah tarian sedihnya,
Banjir, tangisnya yang tak terbendung,
Gunung meletus, jerit amarahnya yang lama terpendam.
Api membakar menghanguskan hutan dan ilalang
Hai manusia, pewaris bumi yang hina,
Tanganmu penuh darah saudaramu,
Menyemai kebencian di tanah yang subur,
Perang demi perang menghitamkan langitnya,
Demi keserakahan dan amarah yang mematikan.
Bumi sudah tua, tapi belum menyerah, ia menggertak, ia berbisik,
Menunggu terompet sang Pencipta,
Namun siapa yang mendengar?
Hai, manusia yang lupa akan asalmu,
Tidakkah kau sadari detak bumi kian lemah?
Ooh, jika langit mampu bicara,
Ia pasti memohon hentikan bara,
Jika laut mampu berseru,
Ia akan menuntutmu membayar semua pilu.
Hai manusia, bangkitlah dari tidurmu yang panjang,
Kembalilah pada ibu yang pernah kau sayang,
Rawatlah ibu, bukan demi balasannya,
Tapi demi nafas anak cucumu,
Yang kelak memanggil bumi ini rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI