Pseudohistory (Sejarah Semu) yang Meyesatkan di Media Sosial
Sejarah Indonesia menjadi rancu dan membingungkan dengan adanya paparan sejarah di berbagai media sosial yang kurang berdasar. Berbagai macam sejarah Indonesia yang sering menjadi pembahasan di media sosial seperti youtube, facebook dan media sosial lainnya  antara lain sejarah majapahit, sejarah sriwijaya, sejarah penjajahan Belanda atas Indonesia dan sejarah G30S PKI. Para selebgram, influencer, dan youtuber menggambarkan sejarah - sejarah tersebut sangat berbeda dengan fakta-fakta sejarah yang telah ditulis dan dipublikasikan dalam buku-buku sejarah jauh sebelum internet dan media sosial berkembang di Indonesia. Saya sendiri yang sekarang berumur diatas 50 tahun menjadi tercengang dan sedikit miris dengan kenyataan seperti ini. Sejarah menjadi semu dan tidak bisa dipegang kebenarannya. Banyak informasi sejarah Indonesia yang beredar di media sosial sering kali kurang akurat atau bahkan sengaja diselewengkan. Faktor utama yang membuat sejarah menjadi rancu dan membingungkan adalah munculnya interpretasi pribadi atau narasi alternatif yang tidak didukung oleh bukti sejarah yang kuat. Fenomena ini umumnya diperburuk dengan adanya:
- Kurangnya Riset Mendalam:Â Banyak informasi sejarah yang dibagikan di media sosial tidak didasarkan pada riset atau sumber terpercaya, melainkan pada opini atau kesimpulan pribadi. Ini sering menimbulkan distorsi terhadap fakta sejarah.
- Bias Politik dan Ideologis: Sejarah Indonesia sering kali dipengaruhi oleh sudut pandang politik atau ideologi tertentu. Beberapa pihak menggunakan sejarah sebagai alat untuk memperkuat narasi tertentu yang sesuai dengan kepentingan politik mereka, sehingga memunculkan versi sejarah yang berbeda.
- Simplifikasi yang Berlebihan: Media sosial cenderung mengutamakan informasi yang singkat dan mudah dicerna, sehingga sejarah yang kompleks sering kali disederhanakan secara berlebihan. Hal ini menyebabkan banyak detail penting yang terabaikan, dan konteks sejarah pun menjadi kabur.
- Sensasi dan Hoaks:Â Informasi yang sensasional lebih mudah menyebar di media sosial. Beberapa kisah sejarah yang beredar sering kali terlalu dibesar-besarkan atau bahkan ditambahkan elemen-elemen yang tidak benar untuk menarik perhatian.
Ada banyak kasus penyebaran informasi sejarah yang salah di media sosial. Fenomena ini semakin marak dengan mudahnya akses internet dan platform media sosial. Beberapa kasus yang cukup menonjol antara lain:
- Penafsiran ulang peristiwa sejarah: Banyak peristiwa sejarah yang ditafsirkan ulang dengan sudut pandang yang sangat subjektif, bahkan terkadang dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Misalnya, peristiwa G30S/PKI seringkali menjadi bahan perdebatan sengit di media sosial, dengan berbagai narasi yang saling bertentangan.
- Pemalsuan dokumen sejarah:Â Foto-foto atau dokumen sejarah asli seringkali diedit atau dipalsukan untuk mendukung narasi tertentu. Hal ini membuat masyarakat sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
- Penyebaran mitos dan legenda:Â Mitos dan legenda seringkali disalahartikan sebagai fakta sejarah. Misalnya, cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia seringkali dibumbui dengan unsur-unsur mistis dan dinarasikan secara berlebihan.
Selain sejarah-sejarah yang dibelokkan bahkan di media sosial juga berkembang klaim-klaim yang tidak masuk akal dan jauh dari fakta sejarah seperti klaim yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah Istana Sulaiman, Negeri Saba ada di Indonesia, atau bahwa Atlantis berada di Samudera Indonesia adalah contoh dari narasi pseudohistory atau sejarah semu. Klaim-klaim ini populer di berbagai media sosial dan platform seperti YouTube, tetapi tidak memiliki dasar yang kuat dalam penelitian sejarah atau arkeologi.
Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai klaim-klaim ini dan mengapa sebagian besar dianggap tidak akurat:
1. Borobudur sebagai Istana Sulaiman
Klaim bahwa Candi Borobudur adalah Istana Sulaiman muncul dari beberapa teori konspirasi yang menghubungkan struktur candi dengan cerita-cerita dalam kitab suci atau sumber-sumber kuno. Namun, penelitian arkeologi dan sejarah menunjukkan bahwa Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke-8 hingga ke-9 oleh Dinasti Syailendra sebagai monumen Buddha. Borobudur jelas memperlihatkan relief dan struktur yang khas dari agama Buddha, dan tak ada bukti konkret yang menunjukkan kaitannya dengan Raja Sulaiman atau tradisi Yahudi atau Islam pada zaman jauh sebelum Masehi.
Sumber yang dapat dipercaya seperti prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar Borobudur atau bukti dari catatan sejarah, jelas menunjukkan bahwa Borobudur adalah situs Buddha yang mencerminkan ajaran Buddha Mahayana, dan bukan istana atau tempat tinggal raja dari Timur Tengah.
2. Negeri Saba ada di Indonesia
Negeri Saba disebutkan dalam berbagai literatur kuno, termasuk Al-Qur'an dan Alkitab, sebagai kerajaan besar di Semenanjung Arab, dekat Yaman saat ini. Para arkeolog telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keberadaan kerajaan ini di wilayah tersebut, termasuk prasasti, reruntuhan, dan bukti arkeologis lainnya.
Beberapa teori yang menyebutkan bahwa Negeri Saba berada di Indonesia sering didasarkan pada kesamaan nama, namun ini tidak cukup kuat untuk menggantikan bukti-bukti arkeologis yang ada di wilayah Timur Tengah. Sejarawan dan arkeolog umumnya sepakat bahwa Saba berada di kawasan yang kini kita kenal sebagai Yaman, didukung oleh bukti-bukti material seperti struktur bangunan kuno dan artefak yang sesuai dengan deskripsi Saba di literatur kuno.