Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia Tidak Baik-Baik Saja
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini memang sedang menghadapi tantangan besar, terutama akibat kombinasi dari pengangguran terbuka yang tinggi dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal selama 3 tahun terakhir (2022 - 2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang, setara 4,91 persen dari total angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2024 sebanyak 152,11 juta orang, naik 4,40 juta orang dibanding Agustus 2023.
Sedangkan data pemutusan tenaga kerja (PHK) hingga 28 Oktober 2024, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkap bahwa sebanyak 59.796 pekerja telah kehilangan pekerjaan. Tren ini menunjukkan lonjakan signifikan terutama dalam tiga bulan terakhir dengan peningkatan mencapai 25 ribu orang sebagaimana dijelaskan Menteri Tenaga Kerja  Prof. Yassierli dalam Rapat Kerja dengan DPR komisi IX, di Jakarta, Rabu (30/10/2024). Sementara itu, jumlah tenaga kerja ter-PHK pada masa Januari - Desember 2023 di 34 provinsi di Indonesia adalah 64.855 orang. Jumlah ini naik sebesar 158,24% dari tahun 2022 yang berjumlah 25.114 orang. Provinsi yang terbanyak tenaga kerjanya terkena PHK adalah Jawa Barat mencapai 19.217 orang, Banten 11.124 orang dan Jawa Tengah 9.435 orang.
Berikut adalah analisis mengenai kondisi ini serta beberapa faktor penyebab dan dampak yang dihadapi oleh tenaga kerja di Indonesia.
1. Pengangguran Terbuka yang Tinggi
Pengangguran terbuka merujuk pada angkatan kerja yang aktif mencari pekerjaan namun belum mendapatkannya umumnya sekarang di dominasi generasi Gen Milenial dan Gen Z. Beberapa faktor penyebab tingginya angka pengangguran terbuka di Indonesia antara lain:
- Kesenjangan Keterampilan
Banyaknya pengangguran terbuka sering disebabkan oleh kesenjangan antara keterampilan tenaga kerja yang tersedia dan kebutuhan pasar kerja. Kesenjangan keterampilan (skills gap) adalah situasi di mana keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja tidak sesuai atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pekerjaan yang ada di pasar. Kesenjangan ini biasanya terjadi karena adanya perubahan teknologi, perkembangan industri, atau perubahan pola ekonomi yang lebih cepat dibandingkan adaptasi tenaga kerja dalam memperoleh keterampilan baru. Penyebab kesenjangan keterampilan di Indonesia antara lain: Sistem pendidikan formal dan vokasi di banyak daerah termasuk di Jawa dan Sumatera cenderung tertinggal dalam menyesuaikan kurikulum dan metode pembelajaran dengan kebutuhan pasar kerja dan industri. Akibatnya, lulusan sekolah atau perguruan tinggi sering kali tidak siap bekerja karena keterampilan yang mereka miliki tidak sesuai dengan yang dibutuhkan di pasar kerja dan industri. Kedua, perubahan struktur ekonomi dari sektor padat karya (seperti manufaktur dan pertanian) ke sektor berbasis teknologi atau jasa menyebabkan banyak tenaga kerja yang sebelumnya bekerja di sektor konvensional ini kesulitan menyesuaikan keterampilan mereka. - Minimnya Lapangan Kerja Baru
Walaupun ada peningkatan di sektor teknologi dan layanan, sektor-sektor tersebut belum mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sementara sektor-sektor padat karya, seperti manufaktur, industri pertanian, perikanan dan pertambangan, justru mengalami penurunan permintaan dan restrukturisasi (melakukan perampingan struktur tenaga kerja supaya kinerja keuangan perusahaan lebih efisien). Sektor-sektor usaha seperti pariwisata dan ekonomi kreatif belum berkembang optimal di banyak daerah karena berbagai kendala, termasuk keterbatasan investasi, infrastruktur, dan teknologi. Pemulihan ekonomi  pasca pandemi Covid 19 yang berjalan lambat di beberapa sektor juga mengakibatkan pertumbuhan lapangan kerja melambat. - Pertumbuhan Ekonomi yang Belum Merata
Pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang belum merata menyebabkan ketimpangan ketenagakerjaan. Lapangan kerja di Indonesia banyak terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu, terutama di pulau Jawa dan beberapa kota besar di Indonesia (seperti Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar). Sementara di daerah lain, khususnya luar Jawa, peluang kerja masih terbatas. Ketimpangan ini membuat angkatan kerja di luar wilayah-wilayah tersebut kesulitan menemukan pekerjaan, sehingga banyak yang bermigrasi ke Jawa dan kota-kota besar, yang kemudian memperketat persaingan kerja.
2. PHK Massal di Berbagai Sektor Ekonomi
PHK massal semakin marak dalam beberapa tahun terakhir (2022 - 2024), terutama karena kombinasi antara ketidakstabilan ekonomi global, perkembangan teknologi yang mengarah pada otomatisasi, dan dampak pandemi yang masih terasa. Pandemi memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak perusahaan, terutama di sektor pariwisata, ritel, pabrik tekstil dan layanan publik, yang terpaksa mengurangi tenaga kerja atau bahkan tutup karena merugi dan terlilit utang.
Beberapa sektor yang paling terdampak oleh PHK massal ini meliputi:
- Sektor Manufaktur dan Tekstil
Sektor ini telah lama menjadi andalan dalam penyediaan lapangan kerja. Namun, meningkatnya biaya produksi dan penurunan permintaan ekspor memicu gelombang PHK, terutama pada perusahaan kecil dan menengah yang sulit bersaing dengan produk impor. Terakhir yang mengejutkan di bulan November tahun 2024 adanya kabar perusahaan manufaktur tekstil terbesar di Jawa Tengah yaitu PT. Sritex dipailitkan oleh pengadilan negeri Semarng karena selama 4 tahun merugi terus sejak tahun 2021 (saat Pandemi Covid 19) dan menumpuknya utang perusahaan yang jatuh tempo sebesar 1.597 miliar dolar AS, setara Rp 25 triliun pada kurs Rp 15.600 per dolar AS, padahal perusahaan ini menaungi tak kurang dari 50.000 pekerja. Hal ini akan menimbulkan PHK massal besar-besaran bila tidak ditangani pemerintah secepatnya. - Sektor Teknologi dan Startup
Banyak perusahaan teknologi dan startup yang sempat mengalami pertumbuhan cepat semasa Covid 19 karena adanya perubahan kultur mendadak ke digitalisasi, kini setelah dampak covid 19 terhadap kesehatan mulai mereda, mereka menghadapi tantangan pendanaan dan harus melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja atau PHK. Sektor ini rentan terkena dampak penurunan investasi dari luar negeri yang mengalami ketidakpastian global. - Sektor Transportasi dan Perhotelan
Pandemi memberikan dampak jangka panjang bagi sektor ini, dan meskipun ada pemulihan, tingkat permintaan masih jauh dari kondisi normal. Beberapa perusahaan terpaksa merestrukturisasi atau mengurangi tenaga kerja untuk tetap bertahan bahkan beberapa perusahaan berskala kecil dan menengah mengalami bangkrut dan penutupan permanen.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Tingginya pengangguran terbuka dan PHK massal berpotensi menciptakan dampak jangka panjang pada sosial dan ekonomi Indonesia:
- Penurunan Daya Beli Masyarakat
PHK dan pengangguran yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat menurun, yang pada gilirannya berdampak negatif pada konsumsi domestik dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. - Peningkatan Beban SosialÂ
Banyak pekerja yang kehilangan penghasilan utama beralih pada pekerjaan informal atau membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Hal ini meningkatkan tekanan pada program jaminan sosial dan kesehatan, yang masih terbatas cakupannya di Indonesia. - Meningkatnya Angka Kemiskinan Baru
Dengan berkurangnya pendapatan keluarga, terutama di segmen masyarakat menengah ke bawah, risiko meningkatnya angka kemiskinan semakin tinggi. Penurunan kesejahteraan keluarga juga memengaruhi akses anak-anak terhadap pendidikan dan kesehatan.
4. Strategi Penanggulangan yang Disarankan
Untuk mengatasi kondisi ketenagakerjaan Indonesia yang kritis ini, beberapa strategi dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah bisa diterapkan:
- Peningkatan Jumlah Peserta Program Pelatihan Vokasi dan Re-skilling
Pemerintah dan sektor swasta perlu mengembangkan program pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini, terutama untuk sektor-sektor yang tengah berkembang seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan ekonomi kreatif. - Kebijakan Insentif untuk Sektor Padat Karya
Pemerintah bisa memberikan insentif pajak atau subsidi untuk perusahaan yang mampu menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor padat karya. Hal ini bisa mendorong terciptanya peluang kerja bagi angkatan kerja yang belum terserap. - Mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Dukungan dalam bentuk akses pembiayaan, pelatihan, dan digitalisasi UMKM dapat meningkatkan daya saing mereka dan menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk menghapus sebagian atau seluruhnya kredit bank yang melilit UMKM. - Perbaikan Sistem Perlindungan Sosial
Meningkatkan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK melalui program jaminan sosial dan pelatihan kerja ulang bisa mengurangi beban sosial dan ekonomi.
Situasi ketenagakerjaan di Indonesia jelas merupakan tantangan besar di penghujung tahun 2024 ini, namun dengan kebijakan yang tepat, kolaborasi lintas sektor, dan fokus pada pembangunan berkelanjutan, Indonesia dapat merespons tantangan ini dengan lebih baik dan menciptakan ketahanan ketenagakerjaan bagi generasi mendatang.