Mohon tunggu...
Nuraman Sjach
Nuraman Sjach Mohon Tunggu... lainnya -

Freelance Media # Penyimak Kompasiana # Penikmat Buku # Penikmat Musik # ... .

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Meminggirkan Visi Indonesia Raya

23 Februari 2014   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melewatkan "sesuatu" untuk sejenak direnungi mungkin menjadi keyakinan saya saat hendak menuliskannya ulang. Seperti saat acara Metro TV Mata Najwa menayangkan dua mantan presiden kita, Megawati Soekarnoputri dan BJ Habibie, segera Kompasiana pun ramai mengulas kedua orang ini.

Bagi saya, sedikit memberikan komentar di sini, bukan dari sekian deret pertanyaan Najwa Shihab yang ingin saya jejerkan di sini, namun apresiasi pada ending yang menurut saya selaku anak bangsa bagian negeri ini yang menarik. Dua hal itu adalah saat Najwa Shihab menanyakan apa mata hati (saya membacanya semacam 'ambisi') Ibu Mega yang kemudian dijawab sembari terisak, "... inginnya saya, Indonesia raya." Lalu, saat BJ Habibie di akhir acara yang sama diminta oleh pewawancaranya agar mengucapkan sumpahnya. Kemudian segera ditimpali, Sumpahku/ Terlentang, jatuh, perih, kesal/ Ibu pertiwi engkau pegangan/ Janji pusaka dan sakti/ Tanah tumpah darahku/ Makmur dan suci/ Hancur badan/ Tetap berjalan/ Jiwa besar dan suci/ Membawa aku padamu/ Padamu Indonesia/ Makmur dan suci.

Saya, mungkin termasuk satu dari sekian mata penyimak acara Mata Najwa yang turut tergetar kala Megawati mengucap keinginannya itu. Sebagaimana diurai oleh kolom Ikrar Nusa Bhakti di harian Kompas dari resonansi yang terjadi setelah acara ini ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014, hitungan Twetreach menunjukkan ada lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia Raya, menjangkau 6,4 juta akun Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan balik. Tayangan ulang pada 25 Januari menambah kembali 800 resonansi pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau 700.000 Twitter, dan menghasilkan 3 juta terpaan balik.

Indonesia Raya! Apa itu?

Banyak dari kita (terutama di Kompasiana) lebih asyik membahas bahwa Pak Jokowi (Gubernur DKI) dan Ibu Risma (Walikota Surabaya) "dijegal" oleh sikap Megawati Soekarnoputri. Padahal, kalau membaca "dukungan-dukungan rakyat", dua tokoh inilah yang memungkinkan tanpa terjegal sekalipun akan menjadi Presiden RI berikutnya -- ini amatan saya ya. Terlebih kalau membaca "hantaman media" soal dukung mendukung dua tokoh "berprestasi" ini (dan di Kompasiana pun latah ditulis dengan analisis pro-kontra dukung mendukung), kiranya (simpul saya) kita lebih banyak lupa pada apa yang diisakkan oleh Ibu Mega daripada mendalaminya. Lebih dari itu, sebenarnya saya melihat bahwa kebanyakan dari kita lebih asyik menjadi penonton panggung sepakbola seputar panggung politik ini daripada merenungkan kiranya apa yang menjadi cita-cita dasar berbangsa dan bertanah air Indonesia (Raya). Dengan kata lain, kita kebanyakan tak lebih dari pengekor, pengikut yang tidak mau memahami apa sebenarnya yang menjadi visi utama dari Indonesia Raya, yang dicita-citakan oleh beberapa founding father negeri ini. Karenanya, ya, kita terkurung, menyoal Jokowi, menyoal Risma, menyoal Mega, dan pusaran politik yang ada terkait dengan nama-nama ini. Kita (di Kompasiana) lebih asyik berkoar pragmatis, tidak menelaah secara mendalam. Ujung-ujungnya, maaf, picik.

Saya salut tatkala Najwa Shihab meminta BJ Habibie mengumandangkan sumpahnya dan lalu dibalas dengan tegas dan lantang langsung tanpa tedeng aling-aling, Sumpahku/ ... Lalu, tatkala mengikuti berbagai pertanyaan dan juga permintaan Najwa pada Habibie sendiri maupun koleganya, tampak jelas betapa Habibie telah tampil sebagai negarawan yang dewasa. Kemudian, bisakah kita menjadi seperti itu? Seseorang yang pernah di tampuk kekuasaan negeri ini tetapi tetap memegang visi keindonesiaan dan sampai sekarang pun lebih memilih legowo menyerahkan tampuknya pada penerusnya. Dan itu pun kemudian dengan saran 40-60-nya, maksudnya, agar Presiden kita kelak adalah orang yang berumur antara 40 sampai 60 tahun saja. Kurang dan lebihnya ya tidak masuk kriterianyalah.

Lebih salut lagi tatkala Habibie memerintahkan para politisi melepaskan baju partainya ketika memegang jabatan negara. Itulah sebabnya, berdasarkan cerita pemimpin Golkar waktu itu, Akbar Tandjung, ia oleh Habibie diminta memilih, apakah menjadi pejabat negara atau ketua partai. Sebab, berdasarkan pemikiran presiden waktu itu, embel-embel partai sudah harus dilepas ketika memegang jabatan publik. Satu hal yang di hari ini justru diabaikan lagi.

Nah, dua hal ini adakah di benak kita? Apakah ada pikiran kita tentang Indonesia Raya dan contoh-contoh kenegarawanan Habibie melekat di mata pandang kita. Ibu Mega sampai berujar pada Jokowi, "e, jangan mongkok loh kamu" saat menjelaskan betapa survei tentang Jokowi begitu tingginya dibanding capres-capres yang lain di Mata Najwa. Atau, seperti Habibie yang penuh ketegasan kala berhadapan dengan Prabowo guna mengatasi krisis saat-saat awal penunjukannya menjadi presiden RI.

Dalam pada itu, Indonesia (Raya) ini luas Bung. Kita tidak dapat mengecilkan arti Pemilu yang akan datang hanya di tangan dua orang yang terus menerus dibahas di lapak ini. Kalau mau kita sedikit mencerna, Aceh dan Papua dalam bingkai keindonesiaan, menurut saya, tengah krisis sampai sekarang. Pemilu bisa jadi penegas kondisi dua wilayah ini apakah masih menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Bukankah potensi lokalnya saja dapat kita baca sementara mata berita kita lebih fokus ke pusat pemerintahan mengabaikan yang lokal. Ibaratnya, seperti yang sudah saya tekankan di atas, kita ini cuma penonton yang berteriak-teriak, berkoar-koar tanpa kita sebenarnya dekat dengan apa yang kita ulas. Itulah sebab mengapa saya menulis Latah dan Dangkalnya Kita Pewarta Warga! Karena, ya itu tadi, kita seakan-akan turut di panggung pusaran konflik politik padahal kita ini hanya komentator-komentator yang miskin analisis, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa selain seperti penonton film yang berkomentar, coba begini bukan begitu, coba begitu, atau harusnya begini nih. Atau tepok jidat sendiri karena aktornya tidak melakukan apa yang kita bilang. Padahal jelas-jelas kita bukan aktornya langsung. Atau bukan sumber yang begitu dekat dengan sumber berita utama.

Saya yakin, Kompasiana tidak akan habis dengan pembahasan Jokowi terus menerus. Juga soal jegal menjegal ambisi politik dan lain sebagainya. Hanya saja, sayang, banyak dari kita tenggelam dengan urusan semacam itu sehingga meminggirkan satu visi besar yang sebenarnya ada di genggaman tangan kita masing-masing: visi Indonesia Raya.

Maaf, visi ini bukan semata "ambisi" anak ideologi Bung Karno. Sebab visi ini sudah ditanamkan oleh generasi 45 yang oleh BJ Habibie disebut telah berkorban jiwa raga, berkorban nyawa, harta, darah, tangisan dan sebagainya demi hadirnya satu proklamasi, kemerdekaan untuk negeri ini. Di generasi peralihan visi ini mengalami dinamikanya. Namun, tangan sejarah tetap memegang visi ini begitu kuat. Yang jadi masalah, di generasi penerus adakah yang mau menerima estafeta visi ini untuk dilanggengkan kembali ke anak cucu negeri ini. Visi ini bukan dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang kelak akan kita tunjuk. Juga visi ini bukan hanya dipegang oleh politisi-politisi yang sampai saat ini banyak tidak kita percaya. Tetapi visi ini hendaknya kita genggam sendiri, kita tanamkan dalam dada bahwa Indonesia Raya itu hendaknya tetap eksis tidak hanya di sanubari tetapi memiliki impact pada apa yang kita kerjakan sehari-hari minimal untuk diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun