Pensiun dini. Stres karena konflik kantor, membuat wanita ini menanggalkan profesinya sebagai news anchor. Padahal passion-nya ada di sana dan tetap hidup. Meski kembali jadi rakyat biasa lama kelamaan ia akhirnya dapat bangkit kembali.
Ending cerita ini adalah bahwa perempuan Jepang itu lalu membuat tivi lokal yang fenomenal. Padahal liputannya kebanyakan dari warga-warga terdekat. Liputan tentang kehidupan sehari-hari serta polemik-polemik dan kisruh-kisruh kecil yang muncul di masyarakat sekitar. Kalau di tilik, bukan benar-benar liputan yang hebat, sebabnya karena ia pernah nama besar dan mencoba berikhtiar lagi meliput ulang hal-hal yang tampak sepele di depan mata. Ia menemukan apa yang disebut kini, passion.
***
Berhenti di situ. Kira-kira, sudah paham apa artinya profesi? Saya kutipkan arti profesi menurut Herry Muhammad dalam buku lawasnya, Jurnalisme Muslim: Tanggungjawab Moral Wartawan Muslim (1992: 11). Profesi adalah sebuah keahlian khusus, punya standar moral/etika atau kode etik, berguna untuk masyarakat banyak, dilaksanakan dengan penuh keyakinan diri, punya otonomi, dan biasaya ada perhimpunannya. Saya tambahkan lagi di sini penjelasannya: “… orang yang profesional adalah orang yang mempunyai keahlian khusus, dikerjakan dengan penuh kesungguhan dan optimal, serta hidup dari pekerjaannya itu”.
***
Secara letterlijk kata guyub memang saya ambil dari kata paguyuban. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dua kata ini memiliki maknanya masing-masing. Sebagai kata dasar, ‘guyub’ berarti rukun; sedangkan ‘paguyuban’ (dalam KBBI di tulis peguyuban) berarti masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya di dasari oleh ikatan perseorangan yang kuat. Berdasarkan pengalaman, kata paguyuban kadang disamakan dengan kata ‘ikatan’, ‘asosiasi’, sampai ke ‘perkumpulan sosial’ atau ‘perkumpulan profesi’ tertentu. Namun hemat saya, dari sekian ‘ikatan’, ‘asosiasi’, atau apalah namanya yang mengumpulkan banyak orang dalam satu organisasi kiranya makna ‘paguyuban’ adalah makna yang mempunyai nilai dan juga peran sosial yang lebih besar bahkan terdengar fleksibel.
Ini pemikiran saya. Bahwa makna kata ‘paguyuban’ itu lebih dari sekedar kata ‘ikatan’ seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) atau Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) karena tekanan makna asal kata ‘guyub’ serasa mewajibkan orang-orang yang berada di bawah ‘paguyuban’ itu harus rukun, harus “lebih sosial”, harus “merasa sebagai bagian dari sebuah keluarga”. Mungkin kalau saya bilang bahwa paguyuban itu seperti level RT/RW, seperti rukun tetangga atau rukun warga yang mengharuskan orang-orang yang ada di dalamnya saling menjaga harmoni bahkan memperhatikan satu sama lain alias saling peduli. Bukankah ini berarti ‘guyub’ atau ‘paguyuban’ memiliki titik tekan “saling menjaga satu sama lain”? Pun lewat guyub pula kita bisa lebih santai tanpa harus mengembel-embeli diri sebagai profesional?
“Kerja yang profesional, dong!” Kalimat itu kembali terulang lagi di telinga saya. Dan kata-kata itu lalu menjadi cambuk, pelecut diri agar menuntaskan pekerjaan sesegera mungkin, sementara saya kala itu merasa seperti sekrup industri belaka yang tak punya nilai apa-apa hanya sebagai pelengkap penderita. Makanya, kadang saya memaknai mereka-mereka yang mengaku “profesional” tak lebih dan tak kurang adalah bagian dari sebuah “budaya industri” yang mengusung progresivitas masif tanpa mempedulikan arti bahwa para profesional itu sebenarnya manusia-manusia juga, manusia yang punya akal dan hati. Lebih dari itu, manusia-manusia ini adalah makhluk sosial, makhluk yang perlu (dan harus) membumi agar ia dapat “bersosialisasi” – bersosialisasi di sini saya artikan dalam bentuk suatu aktivitas budaya.
Salah satu aktivitas budaya adalah belajar.
Pernah dengar istilah ‘pembelajar’? Hemat saya, manusia pembelajar adalah manusia-manusia yang berani berkembang “melampaui” profesinya. Misalnya, seorang pimpinan redaktur majalah terkemuka suatu waktu mau beralih ‘profesi’ sebagai petani (ini misalnya), mengapa tidak? Atau seorang dokter memilih jadi fotografer, padahal ia sudah punya izin membuka praktik.
Atau mau tipikal anak-anak muda sekarang? Yang lebih memilih berwirausaha, asyik dengan gadget-nya dan tidak ingin terikat dengan nama satu perusahaan? Memilih bekerja lepas. Memilih lebih sosial? Itulah yang kini banyak terkembang. Lalu sebutan mereka profesional? Wallahu a’lam. Saya lebih suka memaknainya guyub karena titik tekan tadi di atas, mereka bersosialisasi (meski mungkin di sosial media), mereka bebas menjadi pembelajar (karena tempat kerja mereka ya tempat mereka bermain, tempat yang mereka ciptakan sendiri). Karenanya, jangan heran kalau ada yang mengaku diri wanna be dengan sematan traveler blogger atau profesi blogger yang lainnya yang mereka dapatkan hanya karena belajar mandiri (autodidak). Pun mereka besar karena adanya komunitas meski itu bukan komunitas profesi atau profesional, cuma komunitas tempat kongkow-kongkow, tempat ngopi-ngopi. Namun jangan salah, justru di komunitas-komunitas ini justru muncul banyak passion yang tidak dibatasi oleh tembok industri, tidak dibatasi oleh kondisi profesional, tidak mengharuskan ini-itu.