"Apabila ada manusia di zaman sekarang yang menyebut dirinya modern
tetapi tidak mengindahkan buku, memilikinya, dan membacanya,
maka dengan demikian manusia tersebut telah mengambil inisiatif
menjadikan dirinya sebagai hewan."
- Alif Danya Munsyi -
Akhir-akhir harus saya akui saya malas menulis. Mood, itulah alasan saya enggan untuk menulis kembali apalagi di kompasiana ini. Belum lagi saat membaca tulisan-tulisan kompasianer lain yang menyatakan bahwa banyak kompasianer-kompasianer yang mulai menyurutkan jari-jemarinya untuk menulis. Apalagi yang menulis pun tampak jelas, ya, orang-orang itu juga. Mereka tetap semangat menulis meski hanya berupa curhatan-curhatan belaka.
Hasilnya, daripada saya nol mood, ya saya bersih-bersih kamar. Kebetulan rumah mertua yang saya tempati dan kira-kira beberapa minggu lagi saya angkat kaki darisini sudah kelar angkat gentengnya. Karenanya, saya sempatkan lagi membuka-buka dus tempat saya menaruh buku-buku saya yang selalu disebut oleh mertua "memenuhi ruangan saja dan tidak dibaca".
Memang punya buku harus dibaca, tetapi ada juga buku yang memang tidak sempat dibaca. Bukan apa-apa, sebab harus saya akui bahwa membaca itu memang membutuhkan waktu, waktu sendiri. Egois? Ya, membaca itu mewah, menurut saya, karena membutuhkan waktu untuk sendiri, waktu bersama berdua dengan buku -- dalam konteks ini ya. Dan saat saya menulis ini pun, ini merupakan hasil dari "bongkar-bongkar dus buku" tadi.
Kutipan di atas saya ambil dari sebuah blog yang saya cari-cari dari hasil membaca kertas kerja lama saya. Setelah membacanya saya tertarik dengan kutipan di atas dan menorehkannya di sini. Mengapa? Karena ada semacam supporting, motivasi, di dalamnya yang entah terasa mendukung saya yang memang suka dengan buku-buku. Saat saya menulis ini pun saya masih ditemani oleh buku lama Mengikat Makna tulisan Hernowo yang selalu saya baca ulang kala butuh inspirasi atau perlu semacam referensi tentang tulisan dan buku. Salah satu bagian isi yang menarik dari buku ini adalah soal ketekunan membaca. Bahwa untuk membaca, bisa jadi sama dengan menulis, dibutuhkan satu kata: tekun. Kalau kita tidak tekun, yang pasti kita akan hilang kesabaran dalam membaca. Membaca, akhirnya, melatih ketekunan sekaligus kesabaran untuk kelak bisa kita pakai saat akan menulis.
Buku-buku yang saya baca memang menjadi semacam "harta" bagi saya. Dari harta itu saya dapat sejumlah pengetahuan. Dari harta itu pula saya ada simpanan kekayaan yang dengan cerdas oleh mertua maupun istri saya sering di kata, "lebih baik dijual dan menghasilkan uang!" Mendengar itu saja saya sudah masygul, jengah karena ada juga -- saya yakin memang ada -- orang-orang yang tidak menghargai buku. Kadang, hemat mereka, buku-buku saya itu lebih baik dihibahkan saja, disumbangkan daripada ngejogrog tidak dibaca sama sekali.
Sayang juga kalau saya pikir-pikir apabila memang harus seperti itu. Namun apa bisa dikata, buku memang sumber utama dari sekian banyak sumber inspirasi saya dalam menulis. Berharap pada "si Mbah Google"? Tidak deh. Biarkan saja itu untuk yang muda-muda yang pengen instan menulis atau mendapatkan informasi segera. Bagi saya, buku itulah yang lebih afdhal di banding yang lain sebagai sumber informasi yang adekuat.
Kalau Anda bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H