Kapan tepatnya saya “benar-benar” membaca? Mungkin saat saya pertama kali di perkenalkan dengan cerita bergambar (cergam) Trigan. Atau mungkin saat saya sekolah akhir di kota Jogja, sewaktu saya “berkenalan” serius dengan buku-buku terbitan Mizan dan Gema Insani Press. Saat itu bisa di bilang “musim semi”-nya Islam tanah air di mana nama-nama seperti Nurcholish Majid (alm), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (alm), dan Amien Rais mulai populer. Mengiringi mereka ada nama-nama seperti Quraish Shihab, Kuntowijoyo, Yusril Ihza Mahendra, Masdar F. Mas’udi, Din Syamsudin, Emha Ainun Najib dan nama-nama cendekiawan muslim lain yang puncak-puncaknya mengerucut saat Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) berdiri.
Terus terang, bisa jadi saya tergolong “telat” membaca karena intensitas bacaan serius baru benar-benar saya tekuni saat mulai kuliah di Bandung. Maklum, dosen-dosen saya waktu itu “mewajibkan” kami yang mahasiswa agar membaca; bahkan lebih gila lagi ada dosen yang seingat saya waktu itu berseloroh, kalau tak bisa meminjam di perpustakaan kampus, beli saja bukunya.
Kewajiban dan seloroh itu akhirnya mujarab bagi saya dan kawan-kawan. Sebab, hasil akhirnya adalah baik saya dan kawan-kawan mengoleksi buku-buku di ruang kamar masing-masing. Namun, apakah sejatinya itu semua hasil suruhan dosen-dosen kami? Saya cuma bisa bilang bisa jadi ya dan bisa jadi tidak; namun spirit yang dihembuskan bisa jadi salah satunya adalah kontribusi dosen-dosen kami tadi.
Bingung karena buku-buku saya makin menggunung, saya jadi teringat dengan ujaran abah (panggilan saya pada bapak) almarhum. Ya itu tadi, judul di atas, tetapi detailnya memang tidak berkata-kata seperti itu. Sebabnya adalah saat saya di Jogja abah tiba-tiba masuk ke kamar dan melihat saya sambil gogoleran (baca: malas-malasan) asyik membaca koleksi cergam yang waktu itu sudah tergolong banyak. Entah kenapa, tiba-tiba keluarlah kata-kata itu.
Lama berselang, setelah beliau meninggal, tampaknya ucapannya mulai menyata. Di SMA saya yang waktu itu ditunjuk sebagai ketua rohis, tiba-tiba diserahi amanat untuk mengelola majalah sekolah yang waktu hanya terbit sekali-kalinya. Maka, mau tak mau saya harus menulis. Saat masuk kuliah, para dosen kuliah mewajibkan saya dan teman-teman saya membuat resume buku-buku yang kami baca lalu mendiskusikannya dalam kelas; maka mau tak mau saya merasa perlu mempelajari teknik menulis.
Beruntungnya waktu itu, saya berkawan dengan teman sekelas yang aktif di pers kampus, jadi tanpa susah payah saya pun di tariknya di lembaga kampus ini. Dan memang enak ternyata aktif di pers kampus. Selain saya bisa memuat tulisan sendiri di media kampus, honor menulis saya pertama bisa jadi dimulai di sini. Karena “memuat” tulisan sendiri, minimal saya bisa memperkenalkan diri pada berbagai kalangan di intra kampus bahwa saya adalah aktivis pers kampus. Begitulah asyiknya menjadi redaktur di media kampus.
Pasca media kampus pun usai. Ada waktu di mana saya dan kawan-kawan seangkatan yang “menggawangi” pers kampus berhenti aktif, namun virus menulis itu tetap ada. Di medio 1997 saya “di tantang” seorang kawan agar “melempar” tulisan saya di luar kampus. Jangan hanya jago kandang, begitu celetuknya waktu itu. Lalu, saya pun mengikuti caranya agar tulisan saya dapat dimuat di media luar kampus dan di baca orang banyak. Singkat cerita, tembuslah pertama kali tulisan saya waktu itu di tabloid yang kini tak terdengar lagi, tabloid Hikmah Bandung. Waktu itu terasa senangnya saat mengetahui tulisan resensi saya dimuat di media itu. Setelah itu, makin mencoba intensiflah saya menulis.
Tantangan kawan makin meningkat. Katanya kalau tulisan saya tak dapat tembus di media nasional ia tidak akan mengucap salut pada saya. Saya yang di tantang macam itu agak geregetan juga sebab tulisan resensinya sudah muncul di salah satu media nasional Media Indonesia. Orientasi atau arah menulis saya pun saya ubah: saya harus mampu menembus media nasional harian Kompas yang oleh kawan ini pun waktu itu belum mampu diraihnya. Sebenarnya di kampus kami sudah ada beberapa mahasiswa [sic] yang sudah menembus harian Kompas. Meski dapat dihitung jari (hanya sekitar satu, dua, tiga orang dan itu pun tidak intens) mereka termasuk mahasiswa “terkeren” karena dapat “di setarakan” dengan dosen-dosen senior kami yang kadang tulisannya sudah biasa dimuat di koran lokal Jawa Barat maupun koran nasional lain. Persisnya, mereka yang tulisannya dimuat di media nasional waktu itu dan dibawahnya diikutkan inisial asal kampus, pihak kampus akan menandai mereka sebagai mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi.
Akhirnya, pas di awal tahun 2000, tulisan resensi pun dimuat di harian Kompas Minggu. Di hari itu, saya melonjak senang karena saya berhasil menjawab tantangan seorang kawan agar saya “benar-benar” menulis. Itulah raihan puncak yang rasanya begitu membanggakan waktu itu. Lalu, honor pun mengalir dan lebih besar dari media lokal kota Bandung. Ada dua tulisan resensi saya waktu termuat di harian Kompas, pertama, di awal tahun seperti yang saya sebut dan di pertengahan tahun. Kenapa saya tidak mengirim tulisan ke Kompas saja? Waktu itu pemikiran saya begini, kalau sudah di muat di media nasional bukannya berarti kita sudah punya nama (bahasa sekarang disebut brand) kalau kita mengirim sejumlah tulisan ke koran-koran lain. Dan memang itulah yang terjadi; setelah Kompas, saya pun “melempar” sejumlah tulisan-tulisan saya terutama ke media-media lokal dan memang rata-rata ada yang dimuat dan ada juga yang tidak.
Kini, tulisan-tulisan itu jadi portofolio pengingat saya pribadi bahwa dulu, dan itu “dulu sekali” saya bisa berbangga bahwa tulisan saya pernah dibaca oleh sejuta pasang mata anak negeri ini. Saya dan kawan yang menantang saya waktu itu kini menikmati hidup masing-masing, sibuk dengan urusan kerja sendiri-sendiri. Untungnya saya dan dia masih sama-sama di “jalan menulis”. Pun kadang kami suka ber-bbm-an hanya untuk mendiskusikan hal-hal remeh temeh tentang kondisi negeri ini meski kadang hanya “diskusi-kusir” belaka. Pun kadang kami menanyakan apa yang sudah kami baca di hari-hari kemarin atau ada info buku apa yang bisa kita rekomendasikan untuk benar-benar dibaca sebagai penambah pengetahuan sehari-hari.
Dan, buku-buku pun terus menggunung dan istri saya kadang nyinyir mengatakan bahwa bukannya lebih baik buku-buku itu dikilokan saja. Dan, saya pun tak kalah sengit mencandai bahwa buku itu “harta” bagiku (sebagaimana disebut pula oleh dokter Loe, salah satu guru Chinmi dalam komik keluaran Elex Media, Kungfu Boy) karenanya jangan dibuang, tetapi harus dipertanggung jawabkan. Wujud pertanggung jawaban itu, setelah membaca, ya menulis. Sebab, sekedar pengetahuan awam saja, membaca jangan disebut hobi, tapi sebutlah sebuah kebiasaan, sebuah habit. Dengan kebiasaan membaca kita sedang mengaktivasi otak kita untuk bergerak, menganalisis, menyerap suatu pemahaman, yang dengan itu kita pun berpikir. Bukankah membaca itu adab kemanusiaan dan buku, sebagaimana yang biasa kita baca adalah jembatan pengetahuan, media pembelajaran sekaligus alat pemulia kita sebagai umat manusia?