Mohon tunggu...
Nuramaisana
Nuramaisana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelecehan dan Kekerasan Seksual Merusak Mental Generasi Bangsa

19 Desember 2022   22:57 Diperbarui: 20 Desember 2022   00:06 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nuramaisana | Dr. Gustianingsih, M.Hum

Dalam beberapa waktu belakangan ini kasus pelecehan dan kekerasan seksual sedang ramai diperbincangkan, baik di media sosial maupun lingkungan masyarakat. Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Pelecehan dan kekerasan seksual sering terjadi oleh orang terdekat atau keluarga sendiri. Tidak hanya terjadi kepada kaum perempuan dan anak-anak, pelecehan dan kekerasan seksual juga dapat terjadi pada kaum lelaki. Studi yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Develoment (INFID) pada 2020 menunjukkan ada 33% laki-laki dan 67% perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Sementara itu, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual lebih dominan terjadi kepada perempuan dan anak-anak. Terjadi kepada perempuan dikarenakan perempuan makhluk yang lemah dan mudah terbuai oleh rayuan, sedangkan terjadi kepada anak-anak dikarenakan tubuh dan tenaga mereka masih terlalu lemah untuk melawan dan juga anak-anak mudah terbujuk oleh iming-iming dari pelaku seperti cokelat, permen, atau mainan.

Setiap tahun pelecehan dan kekerasan seksual meningkat secara signifikan dan sulit untuk terdeteksi. Berdasarkan catatan tahun Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% dibandingkan tahun 2020 (226.062 kasus). Kasus kekerasan seksual termasuk yang relatif masih tinggi.

Banyak korban dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual enggan untuk melapor ke pihak yang berwajib karena merasa malu, dapat gunjingan dari masyarakat, tidak dipercayai, bahkan disalahkan atas kejadian tersebut. Korban disalahkan karena tidak melawan, pakaian yang dipakai, terlalu berlebihan, dan masih banyak lagi tuduhan lainnya yang menjadi alasan untuk korban tidak berani melapor. Padahal faktor penyebab terjadinya pelecehan dan kekerasan itu berasal dari pelaku sendiri, seperti tidak bisa mengontrol hasrat seksual, menonton film porno dan ingin melampiaskannya tetapi tidak memiliki pasangan sehingga dilampiaskan ke orang lain, penggunaan narkoba, dan lain-lain.

Paradigma masyarakat harus di ubah, masyarakat selalu menganggap remeh korban yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Tidak hanya cedera fisik yang dialami tetapi mental korban juga terganggu. Korban mengalami depresi, trauma, stress yang berlebihan, hilangnya rasa percaya diri, gangguan makan, bahkan sampai nekat bunuh diri. Itu semua dikarenakan tidak adanya dukungan dari masyarakat atau orang terdekat.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang terdekat korban untuk memulihkan mental korban, yaitu:

  • memberi dukungan,
  • mengawasi korban,
  • memberi perhatian lebih, dan
  • membawa korban konsultasi ke psikiater.

Dengan begitu perlahan korban mengalami pemulihan walaupun kondisi tersebut tidak mudah untuk diatasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun