Fenomena politik identitas telah menjadi isu yang semakin menonjol dalam lanskap politik Indonesia, khususnya terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Peristiwa tersebut menjadi sorotan nasional karena menunjukkan bagaimana identitas kelompok, terutama agama dan etnis, dapat menjadi faktor penentu dalam proses demokrasi. Politik identitas, yang pada dasarnya merupakan gerakan politik berbasis identitas kelompok seperti ras, etnis, agama, atau gender, telah mengubah dinamika perpolitikan di Indonesia.
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh nyata bagaimana politik identitas dapat mempengaruhi preferensi pemilih dan hasil pemilihan. Kasus ini dipicu oleh beberapa faktor krusial, terutama kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang saat itu menjabat sebagai gubernur incumbent. Peristiwa tersebut memicu reaksi keras dari sebagian besar masyarakat Muslim, yang kemudian termanifestasi dalam gerakan Aksi Damai 212. Gerakan ini tidak hanya menjadi ekspresi protes, tetapi juga memperkuat sentimen keagamaan dalam konteks politik.
Dalam perspektif Islam, politik identitas sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Al-Quran dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, bukan untuk saling membenci atau mendiskriminasi. Islam mengajarkan nilai-nilai universal seperti persatuan (al-wahdah), keadilan (al-'adl), dan kepemimpinan yang bijak (al-imamah). Lebih lanjut, Surat Al-Baqarah ayat 256 menegaskan "tidak ada paksaan dalam agama," yang mengindikasikan bahwa keberagaman keyakinan harus dihormati.
Fenomena serupa juga terjadi di negara lain, seperti kasus Brexit di Britania Raya pada tahun 2016. Referendum Brexit menunjukkan bagaimana sentimen nasionalisme dan kekhawatiran terhadap imigrasi dapat mempengaruhi keputusan politik major suatu negara. Sebanyak 51,9% pemilih memilih untuk keluar dari Uni Eropa, keputusan yang sangat dipengaruhi oleh politik identitas berbasis nasionalisme dan xenofobia.
Jika praktik politik identitas terus berlanjut di Indonesia, dampaknya bisa sangat serius. Konflik antar kelompok akan semakin tajam, yang dapat memperburuk hubungan antar komunitas dan memecah belah masyarakat. Intervensi lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi akan semakin sering diperlukan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan. Yang lebih mengkhawatirkan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Meskipun politik dan agama dapat berjalan selaras dalam hal-hal tertentu, seperti memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, agama tidak boleh dijadikan alat politik. Agama bersifat sakral dan suci, sementara politik bersifat duniawi dan pragmatis. Menggunakan agama sebagai alat politik dapat merusak nilai-nilai agama itu sendiri dan mengurangi kesuciannya. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi dan bimbingan moral, bukan instrumen untuk meraih kekuasaan.
Untuk mengatasi tantangan politik identitas di Indonesia, diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya toleransi, keberagaman, dan demokrasi melalui pendidikan politik yang komprehensif. Kedua, memfasilitasi dialog antar kelompok untuk membangun pemahaman bersama dan mengurangi prasangka. Ketiga, mengawasi dan mengatur konten media sosial untuk mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memperkeruh suasana politik.
Politik identitas memang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari dinamika politik Indonesia, namun dampak negatifnya harus diminimalisir. Masyarakat Indonesia harus kembali pada semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana keberagaman dilihat sebagai kekuatan, bukan ancaman. Hanya dengan memahami dan menghargai perbedaan, Indonesia dapat membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H