Mohon tunggu...
Nur Alifah Azzahra
Nur Alifah Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sebelas Maret University's Student Majoring in Mathematics

A Sebelas Maret University's student majoring in Mathematics, has a slight interest in literature, taking reading as her regular hobby.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Fenomena Fatherless Country, Masyarakat Indonesia Kekurangan Kasih Sayang Ayah?

6 Juni 2024   10:58 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:39 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini, melalui sebuah riset Indonesia dinobatkan sebagai fatherless country ketiga di dunia. Artinya, banyak anak Indonesia yang kurang merasakan figur ayah dalam tumbuh kembang mereka. Mengutip dari psikolog asal Amerika, Edward Elmer Smith, fatherless country merupakan kondisi di mana masyarakat suatu negara tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan sehari-sehari anak. Hal ini rupanya juga mempengaruhi kondisi mental dan psikologis seorang anak.

Lalu apa sebenarnya alasan dibalik adanya fenomena ini? Mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki anggapan bahwa mengurus dan mendidik anak adalah tugas dari seorang ibu yang notabene seorang perempuan. Hal tersebut tanpa perlu ditanyakan lagi sudah menjadi budaya yang sangat melekat bagi bangsa kita. Fenomena ini dibangun dari stereotip-stereotip yang sudah diwariskan turun-temurun di kalangan masyarakat. Tanpa sadar, stereotip-stereotip tersebut membentuk karakter tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berperilaku, bahkan hingga urusan rumah tangga seperti pola pengasuhan anak. Laki-laki, yang dalam sudut pandang agama mayoritas, diwajibkan dalam perannya sebagai pencari nafkah. Perempuan, yang dirasa lebih lembut dan perasa dianggap lebih tepat untuk mengurus rumah tangga dan pertumbuhan anak. Namun, di zaman yang sudah serba modern ini, perlukah kita untuk tetap berpacu pada stereotip tersebut? Berapa banyak perempuan yang juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saat ini? Namun, pengasuhan anak masih tetap diberatkan kepada sang ibu. Bentuk pemikiran-pemikiran inilah yang membuat Indonesia menjadi negara yang fatherless.

Fatherless ini bukan hanya soal hadir atau tidaknya sosok ayah dalam kehidupan si anak. Dari sisi psikologis, hal ini lebih rumit. Banyak anak Indonesia yang masih merasa ayahnya hadir dalam kehidupannya dan jauh secara emosional. Dampak fenomena ini terhadap psikologi anak sangatlah berbahaya. Sebab, anak yang kurang kasih sayang ayahnya cenderung mengarahkan keinginannya ke tempat lain. Apalagi saat anak beranjak dewasa, kurangnya ayah sebagai panutan dan pendamping hidup bisa berdampak signifikan terhadap prestasi sekolah anak.  Diantaranya adalah menurunnya konsentrasi, berkurangnya motivasi belajar, dan risiko putus sekolah. Selain itu, anak-anak yang tidak memiliki ayah rata-rata kurang percaya diri, lebih menarik diri dari kehidupan sosial, lebih cenderung menyalahgunakan zat-zat terlarang, lebih cenderung melakukan kejahatan dan kekerasan, menderita penyakit mental bermasalah, dan lebih mungkin mengalami depresi hingga memengaruhi prestasi akademisnya.

Untuk itu kita memerlukan solusi untuk mengatasi fenomena ini. Selain kesadaran dari ayah itu sendiri, kita juga bisa memulai untuk mendidik anak laki-laki dan anak perempuan kita supaya tidak terlalu berpacu kepada stereotip yang beredar di masyarakat. Mari kita batalkan budaya, stereotip, serta ekspektasi yang timbul khususnya dalam pola pengasuhan yang memberatkan salah satunya saja. Pola asuh yang baik itu adalah pola asuh yang utuh dari kedua orangtua, dan bukan hanya diberatkan pada sang ibu.

Mulai dari hal yang paling sederhana, seperti mengambil alih tugas popok, menemani tidur, menemani belajar, menemani bermain, dan lain sebagainya. Bangun emosional yang kuat antara ayah dan anak sehingga anak tersebut tidak merasa jauh secara emosional dari ayahnya. Pola asuh seimbang antara kedua orangtua dan anak dapat menunjang pertumbuhan karakter anak menjadi lebih optimal. Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tidak perlu menjadi superman, cukup menjadi ayah yang baik dengan memberikan bahasa cinta yang anak perlukan seperti word of affirmation dengan mendengarkan dan memberikan validasi terhadap kisah anak, physical touch dengan menyalurkan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya, quality time dengan meluangkan waktu bersenang-senang bersama anak, lalu giving gifts dengan memberikan hadiah sebagai perayaan atau apresiasi untuk si anak. Menemani dan menyesuaikan pola pendekatan mengikuti usia dan level kedewasaan juga cukup penting dalam pendekatan emosional. Bantu Indonesia menyiapkan masa depan bangsa dengan anak-anak yang bermental sehat, unggul, dan berkarakter. Hal ini tentunya tak luput dari peran kedua orang tua yang seimbang. Seimbang, bukan diberatkan kepada ibu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun