Terdapat fenomena yang cukup unik di Indonesia akhir-akhir ini, apabila kita lihat di sekeliling tempat tinggal kita, sangat marak toko-toko yang menjual barang-barang bekas dan selalu ramai pembeli, masyarakat menyebutnya sebagai bisnis thrifting atau toko loak. Bisnis thrifting atau sering juga dikenal sebagai bisnis barang bekas, telah menjadi salah satu sektor yang semakin mendapat perhatian dalam ekonomi global.
Di tengah tuntutan akan kesadaran lingkungan dan gaya hidup berkelanjutan, minat masyarakat terhadap barang-barang bekas justru semakin meningkat. Dari pakaian, perabotan, gawai, hingga barang-barang rumah tangga lainnya, barang bekas kini menjadi pilihan yang populer bagi banyak individu yang ingin mengurangi gaya hidup konsumtif namun tetap trendy. Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi yang besar dan kondisi sosial beragam, memiliki potensi yang besar dalam menopang bisnis thrifting.
Pada ruang lingkup perpajakan, bisnis thrifting masih belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah berusaha untuk memperkuat basis perpajakan negara dengan mengidentifikasi sektor-sektor potensial yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak negara. Salah satu sektor yang sebenarnya menarik untuk dibahas adalah bisnis thrifting yang memiliki potensi besar untuk menjadi sumber pendapatan pajak yang signifikan.
Meskipun potensinya besar, bisnis thrifting masih harus dihadapkan pada sejumlah permasalahan terkait dengan peraturan perpajakan yang ada. Tidak adanya pedoman perpajakan yang spesifik untuk bisnis ini, seringkali menyebabkan ketidakjelasan dalam penentuan kewajiban perpajakan, baik bagi pelaku usaha maupun otoritas pajak. Tingkat kesadaran dan pemahaman tentang kewajiban perpajakan di kalangan pelaku usaha dan masyarakat umum masih perlu ditingkatkan.
Hal ini dapat menghambat potensi bisnis thrifting dalam memberikan kontribusi yang optimal terhadap penerimaan pajak negara. Dengan menganalisis peraturan perpajakan yang ada dan mengevaluasi tantangan dan peluang yang dihadapi oleh pelaku usaha, serta mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan kontribusi bisnis thrifting terhadap penerimaan pajak negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang berharga bagi pemerintah.
Dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak pasti terdapat tantangan dalam mengajak pelaku usaha dan masyarakat umum yang cenderung kurang suka dengan adanya pembayaran pajak. Tetapi dengan pendekatan yang bijak dan edukasi yang tepat, kita dapat menciptakan pemahaman yang lebih baik serta kerjasama yang positif dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Sesuai judul, tulisan ini akan lebih spesifik membahas tentang thrifting pakaian, dikarenakan pakaian bekas adalah jenis barang bekas yang paling banyak perputaran penjualannya di Indonesia.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pakaian bekas tidak tercakup dalam kategori barang yang tidak dikenai pajak. Artinya pakaian bekas memiliki potensi untuk menjadi objek PPN dan PPh. Tetapi dalam pelaksanaanya masih terdapat beberapa ketidakjelasan yang perlu diperjelas dalam regulasi perpajakan terkait dengan bisnis thrifting.
Misalnya bagaimana penentuan subjek dan objek pajak, tarif, serta batasan spesifik untuk barang bekas yang pastinya sulit untuk ditentukan dengan tepat. Hal ini dapat menimbulkan tantangan bagi pelaku bisnis dan memerlukan kerangka kerja yang lebih jelas dan dapat diprediksi. Sistem perpajakan di Indonesia dikenal menganut prinsip self-assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab penuh dalam mencatat, memperhitungkan, dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Prinsip ini sejalan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan.
Sebagian besar pelaku usaha bisnis thrifting merupakan individu atau usaha kecil yang dimana jika menerapkan sistem self-assessment bisa menjadi suatu tantangan yang cukup berarti bagi pelaku usaha tersebut. Banyak pelaku usaha kecil yang mungkin kurang memahami kewajiban perpajakan mereka secara menyeluruh terutama dalam hal penghitungan dan pelaporan pajak atas barang-barang bekas yang mereka jual. Oleh karena itu pendekatan edukasi dan bimbingan merupakan target utama yang harus disasar untuk memastikan pemahaman yang lebih baik di kalangan pelaku usaha ini sebelum memikirkan nominal potensi penerimaan pajak.
Bisnis thrifting memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Pertumbuhan bisnis ini secara telah menunjukkan tren yang positif di Indonesia. Masyarakat seolah-olah berpegang pada jargon “barang branded tidak harus mahal”, sehingga permintaan terhadap barang-barang bekas semakin meningkat. Potensi penerimaan pajak dari bisnis thrifting dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Biasanya para pemilik bisnis thrifting mengambil stock pakaian bekas dari pemasok luar negeri (impor) maupun dalam negeri (domestik) dalam bentuk bal/karung. Masalah yang timbul disini adalah bahwa ternyata di Indonesia, impor pakaian bekas masih merupakan aktivitas ilegal, larangan tersebut tercakup di beberapa regulasi di Indonesia, misalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Yang dapat dilakukan pemerintah apabila ingin memaksimalkan potensi bisnis ini adalah membuka akses impor pakaian bekas menjadi kegiatan yang legal dengan pemantauan yang ketat. Hal ini tentu dapat menjadi pintu masuk bagi PPN Impor dan PPN Dalam Negeri seiring dengan intensitas perputaran tranksaksinya. Unsur “pertambahan nilai” dari bisnis thrifting pakaian dapat dilihat dari pakaian bekas yang semula ada dalam tumpukan karung, dapat disulap oleh penjual menjadi pakaian bersih, wangi, dan seperti baru dengan menggunakan cara-cara tertentu hingga siap untuk dijual dengan harga satuan.
- Pajak Penghasilan (PPh), Saat ini para pelaku bisnis thrifting mengira bahwa jual-beli pakaian bekas bukan merupakan objek pajak. Ini dapat menjadi alasan yang cukup bagi pemerintah untuk segera ‘melegalkan’ dan ‘memperkenalkan’ bisnis thrifting ke masyarakat melalui peraturan-peraturan perpajakan yang baru. Sehingga semua orang tidak akan bingung dan asing lagi dengan bisnis ini, dan para pelaku bisnis thrifting juga semakin paham dan tidak merasa abu-abu terkait aspek formalnya. Untuk ketentuan pengenaan pajaknya, pemerintah dapat menggunakan pendekatan UMKM dengan batasan, dimasukkan dalam pekerjaan bebas menggunakan norma perhitungan tertentu, atau bisa juga membuat jenis tarif yang baru dengan penyesuaian.
Dengan mengoptimalkan kedua potensi ini melalui regulasi yang tepat dan pengawasan yang efektif, penerimaan pajak negara dapat meningkat secara signifikan. Meskipun memiliki potensi yang cukup besar bisnis thrifting juga dihadapkan oleh beberapa tantangan. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang regulasi perpajakan yang berlaku di kalangan pelaku usaha.