Mohon tunggu...
Nur Aisyah Suwanda
Nur Aisyah Suwanda Mohon Tunggu... -

saya seorang siswa yang masih banyak butuh bimbingan dan ilmu. untuk itu apabila ada kesalahan dalam penulisan tolong share yah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belajar dari Kakek dan Ayah

9 April 2012   23:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:49 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

H. Suhardja Dinata, ayah dari ayah saya “tepatnya kakek”. Kehidupannya dengan zaman ayah saya masih kecil benar- benar beda 180o . kehidupannya dulu sangat perih, sangat jauh dari kemewahan. Setiap hari ayah dan ke enam sodaranya bekerja keras demi membantu kelangsungan hidup. Sangat jauh dari kehidupan saya sekarang. Walaupun kehidupan saya bisa dibilang biasa saja seperti orang kebanyakan. Pagi menjelang sekolah ayah dan sodaranya membantu berisih- bersih, membereskan isi gubuk panggung yang reyod yang hanya beralaskan tikar. Siangnya mereka harus menggembala kerbau, bekerja disawah, dan mengerjakan pekerjaan yang menurut saya tak layak bagi orang seusia saya sekarang. Rumah kakekku dulu sangat jauh dari keramaian. Dusekelilingnyua kebun luas layaknya hutan belantara yang tidak dijamah orang banyak. Bahkan orang tidak mau mengunjungi tempat kakek saya. Jangankan mengunjungi, melewatinya saja enggan karena orang- orang beranggapan rumah kakek saya angker. Bagaimana tidak, keadaan sekelilingnya pun pepohonan bersar dan tanaman liar. Layaknya hutan yang penuh dengan aura mistis. Sangat berbeda dengan keadaan kakek sekarang yang memiliki rumah besar, tingkat, luas, dan nyaman. Banyak rekan kakek yang berkunjung kesana.

Kakek mendidik ayah keras dan disiplin. Dia ingin anak dan seluruh keturunannya sukses dibidang agama dan pendidikan demi kelangsungan hidup yang akan datang. Dengan didikan kakek, ayah rajin bekerja dan belajar. Setiap hari ayah bangun pagi, membantu orang tua, dan pulangnya seperti biasa yang tadi saya ulas. Ayah sering bercerita masalalunya dulu. Pernah ketika acara HUT RI panas- panasan ayah tidak membawa uang sepeserpun. Ia hanya bisa menikmati es ataupun minuman yang segar dengan cara melihat orang dan menelan ludahnya. Celana sekolah hanya punya satu, tidak jarang temannya jahil, mengolok- olok, bahkan pernah dipukuli. Ia pernah dijahili temannya sehingga celana sekolahnya jadi ada noda hitam karena ada permen karet di celananya. Dan semua itu tidak membuatnya berfikir untuk mengadu, karena ia yang akan dimarahi. Ia juga berangkat sekolah tidak mengenakan alas kaki dan menggunakan sepeda butut yang menurut saya paling jelek se-Indonesia barang kali. Tidak jarang ia berjalan kaki ke sekolah, padahal jaraknya cukup jauh.

Cita- cita kakek menyekolahkan ke tujuh anaknya sehingga berhasil menjadi seorang GURU semuanya tercapai, walau ada satu anaknya yang tidak sekolah karena sakit parah. Ia adalah Almarhum paman saya. Perjuangan kakek menyekolahkan ayah sampai kuliah membuat ia merelakkan menjual kerbau satu- satunya yang sering di ajak bermain oleh ayah ketika pulang sekolah. Saya sadar perlakuan itu berdampak baik baginya. Sehingga saat ia duduk dibangku SMA tepatnya SMAN 1 Banjar tempat saya mengenyam pendidikan ini, ia mengikuti ekstrakulikuler voli, dan dijuluki “SI BURAQ”. Karena Smashnya yang keras, tajam dan menukik. Itu semua merupakan dampak dari didikan orang tuanya.

Kehidupan kakek sekarang sangat jauh dari yang ayah ceritakan dulu. Kini kakek menjadi panutan di daerah sekitarnya dan juga guru di bidang pertanian. Ia mengajarkan tata cara bagaimana menanam padi organik yang baik dan benar. Ia juga memiliki pabri beras organik AN’NUR sesuai dengan nama saya. Ia memiliki berbagai pengalaman yang sangat menarik yang patut saya acungi jempol dan dijadikan pembelajaran bagi saya. Padahal ia lulusan SMK.

Masih banyak cerita, pengalaman ayah dan kakek yang belum tercurahkan dalam cerpen saya ini, dan tentu pengalamannya menggugah semangat dan memotivasi saya untuk lebih giat belajar, berusaha dan berdoa. Untuk itu saya menjadikan kakek dan ayah sebagai teladan dan contoh yang baik bagi kehidupan saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun