Dewasa ini, banyak orang tua, pendidik dan masyarakat pada umumnya merasa cemas dengan perkembangan generasi muda yang dianggap sudah tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa yang mulia. Â Pergeseran karakter dan nilai dirasakan sudah menjadi fenomena sosial yang harusnya menjadi perhatian semua pihak. Â Lagi-lagi remaja saat ini, yang biasa disebut Gen Z dipercaya sebagai generasi yang gampang terpengaruh perkembangan zaman yang tidak selalu positif dan memiliki daya juang yang rendah dalam menghadapi permasalahan dan tantangan hidupnya. Â Hal-hal tersebut disebabkan karena ketergantungan generasi ini terhadap perangkat digital sehingga keterampilan mereka dalam kehidupan sosialnya dianggap rendah, dan mereka pun cenderung memiliki tingkat stress dan masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.
Penerapan budaya positif merupakan solusi yang tepat dalam membentuk karakter siswa. Di sekolah sebagai sarana pendidikan, Â kita sebagai pendidik dapat berperan dalam membentuk unsur-unsur karakter siswa yang meliputi kreatif, mandiri, daya juang, serta berdaya guna melalui budaya positif. Â Sejalan dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara, tujuan Pendidikan seyogyanya untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Guru sebagai pendidik dan pemimpin pembelajaran diharapkan dapat melahirkan generasi yang cerdas dan berakhlak baik sesuai dengan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila. Â Melalui penerapan budaya positif, ekosistem dan lingkungan pembelajaran akan positif dan menumbuhkan motivasi diri siswa untuk menghargai diri sendiri dan orang lain berdasarkan nilai-nilai kebaikan yang mereka percaya. Â Lalu apakah budaya positif itu? Budaya positif yaitu nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada peserta didik agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan tanggung jawab.
Budaya positif yang dicita-citakan bisa terwujud dengan penerapan disiplin positif. Â Disiplin positif merupakan upaya pembiasaan melalui kebiasaan-kebiasan untuk mendisiplinkan siswa tanpa menggunakan hukuman ataupun hadiah, yang bertujuan untuk menumbuhkan motivasi instrinsik siswa dan membantu memahami konsekuensi dari tindakan mereka, membangun hubungan yang sehat, dan mengajarkan keterampilan sosial.
Dalam menciptakan budaya positif, guru harus memahami bahwa setiap anak mempunyai kebutuhan dasar, yaitu untuk bertahan hidup, penguasaan, kesenangan, kasih sayang dan rasa diterima, serta kebebasan.  Pun guru seharusnya dapat berperan dengan baik sesuai dengan posisi kontrol guru yang ideal.  Terdapat 5 posisi kontrol guru antara lain: (1) Penghukum (2) Pembuat Rasa Bersalah (3) Teman (4) Pemantau, serta (5) Manager.  Dari lima posisi kontrol tersebut, posisi kontrol manager merupakan posisi kontrol paling ideal. Posisi manager membantu siswa  untuk bertanggungjawab, mencari solusi atas masalah yang ada, juga menguatkan karakter baiknya.
Dari pengetahuan ini, guru diharapkan bisa mengkaji latar belakang permasalahan siswa dan menyelesaikannya dengan objektif ketika mereka tidak mematuhi kebiasaan atau disiplin positif yang diterapkan di sekolah. Penyelesaian permasalahan siswa dengan tahapan di atas akan mudah dilakukan jika guru menerapkan segitiga restitusi.
Tahapan segitiga restitusi diawali dengan validasi kebutuhan siswa saat mereka melakukan pelanggaran, guru bisa menggali alasan atau latarbelakang yang mendasari mereka melakukannya. Â Jika seorang anak kedapatan memukul temannya misalnya, guru bisa menggali informasi kenapa anak ini melakukannya dari sini akan terlihat kebutuhan dasar apa yang melatarbelakanginya.
Tahapan selanjutnya yaitu menstabilkan identitas, pada tahap ini guru menstabilkan keadaan dengan memberikan pemahaman bahwa setiap orang pasti bisa melakukan kesalahan, sehingga anak akan termotivasi untuk menggali sendiri nilai kebaikan apa yang sebenarnya harus mereka lakukan.
Pada tahapan terakhir, menanyakan keyakinan, guru bisa lebih dalam menggali nilai kebaikan apa yang sebenarnya diyakini siswa dan sesuai dengan keyakinan kelas/sekolah yang merupakan pembiasaan budaya positif yang ada di sekolah. Â Tahap ini bisa dilakukan dengan menanyakan nilai-nilai kebaikan apa yang siswa percaya dan dikaitkan dengan tindakan yang telah mereka lakukan. Â Siswa pun diarahkan untuk mengaitkannya dengan tindakan mereka dan bagaimana mereka bisa memperbaikinya.
Tahapan-tahapan segitiga restitusi di atas jika diterapkan dengan baik, dapat menumbuhkan motivasi instrinsik siswa dalam melakukan budaya positif dan menumbuhkan karakter siswa yang bertanggungjawab, kolaboratif, solutif dan bernalar kritis. Penerapan strategi penyelesaian permasalahan dengan segitiga restitusi merupakan upaya menghapus identitas diri siswa gagal, menjadi identitas sukses atau berhasil dengan bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H