Mohon tunggu...
Nuraini Fadillah
Nuraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Ilmu komunikasi Universitas Satya Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjungangan Feminisme di Indonesia pada Orde Lama Hingga Era Digitalisasi

20 Januari 2023   21:10 Diperbarui: 20 Januari 2023   21:17 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Feminisme berasal dari bahasa latin “femina”, yang artinya memiliki sifat keperempuan. Sehingga secara bahas, feminisme dapat diartikan sebagai gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme sendiri diawali oleh ketimpangan posisi perempuan dibandingkan. Seperti yang kita ketahui, perempuan berada pada posisi dibawah laki-laki, baik dalam hak maupun kewajiban.

Akibat persepsi tersebut, maka muncullah berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk menemukan solusi agar terjadi penyetaraan terhadap hak perempuan dan laki-laki.

Hal ini menunjukan adanya semacam diskriminasi gender yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu contohnya adalah urusan pendidikan dan perekonomian.

A. Sejarah feminisme Indonesia dan Dunia

Menilik keadaan negara dan bahkan dunia yang terus berkembang, gerakan feminisme juga telah berkembang baik secara visi maupun fokus secara pesat dalam beberapa tahun terakhir. Feminisme berkembang baik itu di seluruh dunia atau pun di negara kita sendiri. Di Indonesia, mungkin kita sering mengaitkan dengan tokoh Raden Adjeng Kartini. Beliau merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam membangkitkan dan memberdayakan perempuan Indonesia. Namun, ternyata feminisme di Indonesia melalui perjalanan yang lebih komplek dari itu

Awal dari gerakan feminisme di Indonesia merupakan gerakan para perempuan Indonesia yang melawan Kolonialisme Belanda (Pangesti, 2021). Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan Indonesia terlibat dalam perjuangan bersenjata untuk melawan penjajah. Beberapa tokoh yang berpengaruh dalam gerakan perjuangan ini antara lain Cut Meutia dan Emmy Saelan (Nalar Politik, 2017).

Meskipun sudah mulai berjuang, konsep kesetaraan gender belum ada. Kemudian hadirlah sosok Raden Adjeng Kartini yang menulis surat-surat tentang keinginan kuatnya untuk dapat bisa belajar dengan bebas. Saat itu, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya hanya boleh mengenyam pendidikan sampai umur 12,5 tahun. Setelah itu ia harus dipingit selama 4 tahun. Kartini juga menolak poligami karena dianggap merendahkan derajat perempuan. Ia juga merupakan seorang feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme (Nalar Politik, 2017).

Memasuki masa setelah kemerdekaan Indonesia dan masa Orde Lama, Presiden Soekarno memberi ruang untuk gerakan Feminisme di Indonesia dengan pengajaran tentang keperempuanan dan perjuangan kepada kaum perempuan. Pada masa ini, ada organisasi perempuan yang cukup progresif dalam mengadvokasi isu-isu perempuan yaitu Gerwani (Nalar Politik, 2017).

Pada masa Orde Baru, gerakan perempuan disingkirkan dan perempuan diberi citra hanya sebagai istri dan ibu yang berada di belakang laki-laki. Gerakan feminisme yang sudah terdengar sejak tahun 1960-an kemudian berkembang dalam tiga tahun tahap. Tahap pertama antara tahun 1975-1985. Di tahap ini, hampir semua LSM menganggap masalah gender itu tidak penting. Hal ini membuat sering terjadinya konflik antara aktivis perempuan dengan aktivis lainnya. Tahap berikutnya adalah periode 1985-1995. Ditahap ini, mulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang analisa gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Pelatihan untuk meningkatkan keppekaan terhadap isu gender semakin banyak dilakukan. Tahap terakhir adalah dari 1995 sampai saat ini, tahap ini adalah pengintegrasian gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi serta lembaga pendidikan (Nalar Politik, 2017).

Saat ini, perjuangan feminisme di Indonesia masih berjalan. Isu-isu yang diangkat antara lain ketidaksetaraan upah, kekerasan seksual, reproduksi, hak atas tubuh, dan lain-lain. Yang terkini adalah perjuangan dan kemenangan pengesahan RUU TPKS untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namiin, meskipun gerakan feminisme punya niat dan visi yang baik, masih ada banyak kalangan yang menolak gerakan ini dengan keras. Penolakan ini datang antara lain dari kelompok-kelompok Fiundamentalis agama, konservatif, dan populisme sayap kanan. Alasan penolakan ini biasanya karena penuduhan terhadap feminisme sebagai idelogi Barat, anti laki-laki, hingga gerakan “marah-marah” (Iswara, 2021).

Ketika mengkaji gerakan feminisme dunia, ada beberapa gelombang yang bisa dipelajari. Gelombang pertama pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 berfokus pada ketidaksetaraan hukum seperti mengenai hak pilih perempuan, pendidikan perempuan, kondisi kerja, dan standar ganda (Sapa Institute, 2020). Gelombang kedua terbagi menjadi empat aliran yaitu liberal yang berakar pada rasionalitas, radikal yang beranggapan bahwa laki-laki adalah dasar patriarki, marxisme yang menganggap penindasan perempuan terjadi akiban penindasan kelas dalam kapitalisme, dan sosialis yang merasa perlu adanya penggabungan antara analisis kelas dan analisis patriarki (PMII Gusdur, 2013). Gelombang ketiga feminisme dunia adalah gelombang yang bersifat global, aktivis, dan akademis. Ada juga postfeminisme yang lebih bersifat individualistik, konsumtif, dan popular. Dua gerakan ini bertentangan namun kedua istilah ini digunakan sebagai paying perkembangan feminisme di era pasca 1970-an (Sapa Institute, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun