Contoh nya seperti peristiwa di awal tulisan ini. Ada seorang teman yang sedih karena cutinya ditolak oleh pimpinannya. Orang yang merespon diatas mungkin saja sudah bersimpati. Dia merasa sedih tapi menurutnya jika dia yang mengalami peristiwa cuti ditolak ya tidak apa-apa. Padahal dua orang ini latar belakangnya berbeda. Sebut saja anjeli yang cutinya ditolak merupakan perantau dan membutuhkan cuti ini untuk pulang ke kampung halamannya untuk menengok orang tuanya yang sudah lama tidak dia jumpai. Sedangkan Rahul orang yang dicurhatinya ini memiliki latar belakang bukan perantau dan memiliki banyak tanggungan sehingga kerja merupakan tujuan utamanya. Menurut Rahul lebih baik dia kerja mendapat uang daripada cuti karena jika cuti dia tidak mendapat uang transport.
Jika saja Rahul bisa berempati kepada anjeli, dia berusaha melihat menggunakan sudut pandang dan kacamata anjeli. Empati pada dasarnya adalah “walk in their shoes” jadi berjalan tapi menggunakan sepatu orang lain bukan sepatu kita. Memang tidak mudah, tapi bukan jadi tidak bisa.
Dengan empati kita bisa merespon keluhan orang lain dengan lebih tepat. Jika saja Rahul mau menempatkan dirinya menjadi Anjeli dan mencoba merasakan rasanya menjadi perantau seperti Anjeli, mungkin saja responnya berbeda. Bisa jadi respon yang dikeluarkan seperti ini,
“ Astaga, sabar ya Anjeli, gue ngerti kalo lu udah lama ga ketemu bokap nyokap, tapi mungkin waktunya belum tepat. Gimana kalo diajuin lagi awal bulan depan, kayanya boss oke deh”
Sederhana tapi sangat membantu Anjeli.
Lantas gimana dong caranya bisa menempatkan diri di sudut pandang orang lain? Karena kita kan gatau orangnnya gimana. Menurut saya sih banyak cara yaa untuk berlatih berpikir dengan sudut pandang orang lain. Salah satu contoh yang saya lakukan adalah dengan menonton film. Dengan nonton film, biasanya kita bisa memahami banyak karakter tanpa harus kenal atau bergaul dengan orang tersebut. Cara lain bisa juga dengan mencoba ngobrol dengan orang asing atau stranger. Simpel kok misalnya lagi naik ojek online bisa coba diajak ngobrol supaya kita terasah. Saya sering mendapatkan cerita-cerita menarik baik itu dari supir taksi atau abang gojek.
Dengan empati semoga saja obrolan keluh kesah ini jadi lebih berarti bukan menjadi menambah beban dari orang yang berkeluhkesah. Jadi ayolah sedikit bisa melihat keluar dengan sudut pandang yang lain. Supaya orientasinya tidak diri sendiri. Masih banyak orang diluar sana yang mungkin memiliki masalah yang lebih berat daripada kita. Masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih sulit daripada kita.
Ingat, orang yang selalu tersenyum di pagi hari, belum tentu dia tidak menangis ketika malam harinya.
Akhir kata, jangan lupa bersyukur yaa…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H