Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquire Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan virus dan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat lantaran penularannya yang sangat cepat.Widoyono (2005: 85-89) mengatakan HIV/AIDS dapat menular dengan berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genital, dan ASI.
Selain itu, HIV/AIDS juga ditularkan melalui jarum suntik dan hubungan seksual.Ini menunjukkan bahwa penyebaran HIV/AIDS begitu mudah karena virus tersebut dapat ditularkan dari orang- orang terdekat. Sehingga tak heran, di Indonesia prevalensi HIV/AIDS terus saja menunjukkan angka yang kian membengkak dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 2015 HIV mencapai 30.935 dan AIDS 9.215, kemudian tahun 2016 HIV mencapai 41.250 dan AIDS 10.146, sedangkan tahun 2017 HIV mencapai 48.300 dan AIDS 9.280 (Kemenkes RI 2017).
Menurut Kementerian Kesehatan, masih banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia. Hingga September 2023, Kementerian Kesehatan memproyeksikan akan ada lebih dari 500.000 kasus HIV yang dilaporkan. Hingga September 2023, diperkirakan terdapat 515.455 orang di Indonesia yang merupakan Orang Dengan HIV (ODHIV). Sekitar 88% dari jumlah tersebut, atau 454.723 orang, telah didiagnosis dengan HIV atau mengetahui statusnya. Rentang usia 25 hingga 49 tahun menyumbang sekitar 69,9% dari semua kasus HIV. Kelompok usia terbesar berikutnya adalah mereka yang berusia antara 20 dan 24 tahun (16,1%), mereka yang berusia di atas 50 tahun (7,7%), dan remaja yang berusia antara 15 dan 19 tahun (3,4%).
Orang yang hidup dengan HIV / AIDS (ODHA) adalah mereka yang positif untuk virus.Penderita disfungsi sosial dengan kondisi kesehatan yang menurun hari semakin meningkat. Odha enggan untuk berdamai dengan orang lain karena dia tidak mengerti dirinya sendiri. Selain itu, keyakinan umum bahwa HIV / AIDS dapat dengan mudah menginfeksi manusia membuat mereka lebih rentan. Dengan demikian, Odha merasa dikhianati dan terasing dari lingkungan sosial.(Nathalia et al. 2018)
Tantangan yang dihadapi ODHA sangat kompleks, mencakup tidak hanya aspek fisik dan ekonomi tetapi juga aspek sosial.Istilah "dimensi sosial" mengacu pada kehidupan sosial seseorang seperti yang dijelaskan dalam WHOQOL (WHO Quality of Life) tahun 2008, yang menyatakan bahwa dimensi sosial seseorang terkait dengan hubungan mereka dengan lingkungan terdekat mereka, yang dapat dilihat melalui kemampuan mereka untuk mempertahankan hubungan pribadi dengan orang lain serta kemampuan lingkungan sosial mereka untuk mengungkapkan manfaat apa pun yang telah diterima oleh individu yang merupakan bagian dari itu. Bentuk dukungan yang diandalkan, menghargai, memperhatikan, serta mencintai baik berasal dari keluarga, teman, maupun komunitas atau kelompok.
Dari dilema sosial ini, dapat dilihat bahwa apa yang ODHA butuhkan adalah perlindungan dari keluarga, teman, kolega, komunitas, dan lingkungan sekitar. Untuk alasan ini, intervensi Odha melalui komite sangat efektif ketika dilakukan.ODHA membutuhkan rehabilitasi sosial untuk memulihkan dan memperkuat agar mereka dapat tumbuh kepercayaan diri dalam meng- hadapi penderitaannya. Dengan demikian dibu- tuhkan seseorang/relawan, lembaga, instansi, untuk memulihkan dan mengembangkan ke- berfungsian sosial ODHA. Kementerian Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial melaku- kan rehabilitasi sosial terhadap ODHA. (Tursilarini dan Hermawati 2019)
Dalam melakukan rehabilitasi sosial, pekerja sosial adalah profesional yang melakukan pendampingan pada ODHA. Oleh karena itu, perlu bagi pekerja sosial untuk memiliki keahlian di kedua bidang rehabilitasi sosial ODHA, termasuk pengetahuan, keterampilan, kemerampilan, dan etika dan sikap berkualitas tinggi, serta kualifikasi dalam pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi pekerja sosial. Karena mereka mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan keadaan eksternal, serta hukum dan struktur masyarakat, maka setiap pendamping yang menyerupai supel akan berdampak negatif terhadap perilakunya di lapangan. Hal ini merupakan faktor krusial dalam mencapai tujuan dam-pingan, memperoleh informasi, dan memberikan informasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan dam-pingan.Â
Menyesuaikan diri dengan situasi ini, membutuhkan energi dan kemauan yang kuat dari pendamping. Sama seperti hasil dari kemampuan menyesuaikan diri, akan menciptakan dampak partisipasi untuk terlibat secara langsung. Selain itu, pendamping akan membantu menentukan langkah-langkah penanganan dan pemberdayaan redaman agar terhindar dari AIDS. (Tursilarini dan Hermawati 2019)
Dalam konteks lain, seorang pendamping harus memiliki sikap tekun untuk bekerja dan bukan hanya supel dan bertanggung-jawab. Hal ini karena sikap tekun dapat berdampak negatif pada produktivitas kerja dan hasil akhir dari proses demping yang dilakukan di lapangan, mirip dengan perubahan demping positif yang diakui dan dihormati oleh orang lain. (pendamping). Pendamping juga harus tenang dan fokus pada tugas yang ada, karena secara bertahap memberikan lebih banyak waktu untuk tugas pendamping. Seorang pendamping dapat menerima hasil akhir dari pekerjaan yang telah dilakukan sejauh ini, yang akhirnya mengarah pada realisasi kemajuan yang telah dibuat. Selain itu, sikap tekun ini akan lebih bermanfaat jika pendamping mampu mengenali kekuatan dan kelemahan mereka sendiri karena mereka akan dapat mengkomunikasikan pikiran mereka sendiri lebih lengkap. (Lobo, 2008)
Pekerja sosial melakukan pendampingan sesuai dengan tahapan rehabilitasi sosial ODHA beberapa tahapan proses pendampingan adalah: a) Rujukan dari LKS dengan berkoor- dinasi dengan Dinas Sosial setempat dan juga dari masyarakat yang mendatangi Balai Rehab- sos ODHA Wasana Bahagia; b) Assesmen; c) Pelaksanaan tahapan intervensi (terapi fisik/ kesehatan, sosial, mental dan keterampilan); d) Resosialisasi; e) Penyaluran; g) Terminasi atau pengakhiran.Â
Pekerja sosial dalam melakukan pendampingan dimulai dari proses awal, pelaksanaan intervensi dan pengakhiran atau terminasi. Pekerja sosial juga memiliki tugas untuk melakukan jejaring dengan LKS di daerah se wilayah Indonesia untuk dapat memberikan rujukan ke balai rehabsos. Pekerja sosial dalam melakukan pendampingan melakukan konseling, advokasi dan melakukan terapi psikososial bagi ODHA, pemberian motivasi, pendampingan sosial sesuai kebutuhan korban, penyiapan bagi keluarga dan masyarakat seki- tar agar memberikan dukungan secara moral, mengingatkan ODHA akan kepatuhan minum obat dan hidup teratur dan sehat, serta pembe- rian edukasi bagi keluarga dan masyarakat ten- tang ODHA.