Stop Obral Opini, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan Pemilu Legislatif kita menyaksikan euforia OPINI. Media TV, Surat kabar cetak, maupun elektronik dan radio-radio berlomba-lomba menyiarkan liputan pemilu dan tentu saja komentar-komentar dari berbagai tokoh.
Banyak orang yang sebelumnya kita tidak pernah kenal, tiba-tiba menjadi komentator yang lihai membahas politik, pemerintahan dan negara. Ada yang pro tentunya ada pula yang kontra. Dari acara liputan khusus, analisa, debat, kuis sampai ke berita semua media memberitakan mengenai pemilu dan pernik-perniknya.
Namun, kalau dihitung-hitung, paling banyak porsi publikasinya terutama di media elektronik adalah porsi pemberitaan opini mirip opini artis-artis Indonesia di beberapa acara infotainment. Sampai-sampai acara infotainment kalah pamor dalam bergosip ria dibanding gosip politik.
Menarik untuk ditonton ? Tentu saja.
Mendidik bagi bangsa ini ? Â ............................. ????
Ada satu hal yang sebenarnya patut dipertimbangkan bagi para pekerja di bidang media, yaitu bagaimana sebuah tontonan bisa menjadi TUNTUNAN, dan bukan TUNTUNAN dijadikan TONTONAN.
Saya sebagai warga negara biasa, sebenarnya sangat prihatin melihat pemberitaan-pemberitaan yang berkembang saat ini. Kenapa, karena lebih banyak saat ini TONTONAN berita politik yang tidak bisa dijadikan TUNTUNAN. Kenapa ? Karena hampir sebagian berita di domoniasi oleh komentar. Baik issu mengenai penggelembungan suara, DPT, penghitungan suara dan sebagai-dan sebagainya.
Konyolnya, komentar-komentar tersebut dilakukan oleh tokoh-tokoh politik yang notabene bisa menjadi TUNTUNAN, namun yang dilakukan beliau-beliau tersebut sebatas TONTONAN saja.
Kebanyakan tokoh-tokoh tersebut selain mantan pejabat, atau incumbent pejabat atau tokoh politik, memberikan pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan mengenai sesuatu yang belum menjadi suatu KEPUTUSAN. Atau memberikan komentar / keterangan mengenai hal dibalik suatu KEPUTUSAN yang sebenarnya bukan seharusnya menjadi konsumsi publik.
Apakah dunia politik sama dengan dunia entertainment ? Saya juga tidak tahu.