Mohon tunggu...
Nuraeni
Nuraeni Mohon Tunggu... Guru - Nuraeni

Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelah Menjadi Lillah

10 Maret 2017   12:28 Diperbarui: 10 Maret 2017   12:40 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jam 13.30...

Pulang sekolah adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa dan mungkin juga guru, penjaga sekolah, petugas kebersihan, dan lainnya. Jika sekolah adalah penjara, maka pulang sekolah seperti sebuah momen kebebasan untuk menemui dunia luar dan menjadi diri sendiri seutuhnya. Mereka yang bercita-cita menjadi pilot, berlari-lari meliuk-liuk sambil tangannya seperti pegang setir kemudi. Mereka yang terobsesi menjadi pembalap MotoGP, memacu sepeda motor mereka dengan badan dibungkukkan, tanpa helm, beberapa membonceng siswa perempuan yang roknya entah bagaimana menjadi tinggi. 

Ada juga yang model Romeo and Juliet berjalan bergandengan tangan. Hmmm...darah muda darahnya pararemaja (hehe...lagu Bang Rhoma berkumandang nih dalam hatiku). Banyak juga anak-anak yang pulang berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Kudengar seorang anak laki-laki bertanya: “kamu pulang kemana?” anak perempuan itu menjawab dengan tersipu-sipu “ngga jauh dari sini, a”, sambil anak perempuan itu terus berjalan. Kemudian seorang anak perempuan lain melintas dihadapan mereka. “Eh, Aa, lagi ngapain disini? Belum pulang? Hayu pulang bareng aku, a!” dari sorot wajahnya jelas terlihat si anak perempuan ini agak cemburu rupanya, hehe...aku tersenyum, anak-anak SMP memang lagi masanya pubertas.....(jadi ingat masa laluku...).

Suasana sekolah sudah mulai sepi, tinggal beberapa siswa dan guru saja yang bertahan. Sebagian di antara mereka pengurus OSIS, aktivis ekskul atau mereka yang tak punya kegiatan lain dan masih enggan untuk pulang ke rumah. Sebagian besar orang-orang sudah mulai bergegas pulang, ada yang sambil tertawa-tawa tandanya senang dan ada pula yang tanpa suara.

Lampegan Jam 14.00...

Jalanan terlihat lenggang, dengan menggendarai motor bapak guru aku memasuki stasiun Lampegan untuk menuju Kota Cianjur. Ternyata....kereta api yang sering aku tumpangi dari stasiun Cianjur menuju sekolah binaan ini menyimpan legenda. Legenda tentang “Misteri Stasiun Lampegan dan Skandal Ronggeng Nyi Sadea”.

 Aku termenung di depan foto tua hitam putih yang terpajang di dinding stasiun, konon katanya foto ini hasil jepretan fotografer Belanda pada tahun 1898, sudah 114 tahun yang lalu. Mendengar cerita legenda ini merinding juga bulu kudukku, disertai dengan rasa takjub yang tak terhingga, bagaimana tidak bangunan tua ini berdiri sejak tahun 1857 dan sampai sekarang baik rel kereta api maupun terowongan Lampegan ini masih berdiri kokoh sebagai saksi perjalanan hidup masyarakat Cianjur dan Sukabumi.

Siang terik yang panas di Lampegan ini tidak juga mau enyah. Tidak terasa orang-orang yang akan menaiki kereta api semakin banyak berkerumun di sekitar stasiun. Sambil menaiki kereta api ini, tatapanku masih juga tertuju pada foto lama itu, seolah foto itu adalah saksi bisu yang menyimpan sejuta kenangan hidup dari para leluhur mereka.

Rumahku, 19.00...

Rumah adalah sekolah. Tempat kita belajar tentang kehidupan. Kita belajar menebalkan rasa syukur, meneguhkan kesabaran dan melapangkan penerimaan. Di rumah kita belajar menjadi seorang istri, seorang ibu, dan juga menjadi seorang nenek. Dan perputaran waktu selalu menawarkan keajaiban bahwa sekecil apapun kebaikan sudah disiapkan imbalan dan sekecil apapun keburukan sudah disiapkan balasan.

Hari-hari yang cukup melelahkan, butuh jeda sederhana untuk beristirahat darinya. Meski lelah, namun pada akhirnya kita akan jadi pemenang setelah melewati ragam kisah, baik buruk hingga berat dan ringannya beban. Tentu saja, setiap pekerjaan membutuhkan kelapangan dan keihkhlasan seluas samudra untuk menjalaninya. Bukan keluhan yang keluar dari lisan, namun menjadikan derap keikhlasan sebagai pengiring setiap terjal perjalanan.....selalu berusaha untuk mencoba mengubah setiap lelah menjadi lillah.......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun