Mohon tunggu...
Nur Utami
Nur Utami Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membantai Tikus-tikus Politik

17 April 2015   11:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:59 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Familiar. Ya, kata itu yang muncul di benak kita apabila menyoroti kasus yang selalu “nongol” dan tidak pernah absen dalam berita perpolitikan di Negara ini, hampir setiap hari menghiasi layar kaca televisi maupun media sosial. Apalagi kalau bukan tentang korupsi.

Ya, korupsi lagi, korupsi lagi. Corruption atau corruptio (dalam bahasa latin) adalah suatu perbuatan setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (UU No.31 Tahun 1999 Tindak Pidana Korupsi)

Sangat disayangkan memang, perbuatan yang seharusnya dijauhi dan dianggap haram ini, malah dikembangbiakkan bak tanaman ecek gondok dimusim hujan. Tak terkecuali, dari mulai lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan swasta-pun tidak lepas dari hal ini. Entah apa yang dipikirkan oleh para koruptor tersebut, sehingga mereka dengan tanpa rasa bersalah “menimbun” harta yangbukan haknya. Tidak heran jika Indonesia menduduki peringkat ke-64 sebagai Negara Terkorup di dunia versi TI (Transparensi Internasional). Bedakan dengan negara tetangga kita Singapura, yang bertolak belakang dengan menduduki peringkat ke-5 Negara terbersih sistem pemerintahannya di dunia.

Dan dampaknya memang nyata, korupsi memundurkan sistem demokrasi politik kita, menurunkan income pendapatan (misal: kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan), mengurangi nilai investasi karena rendahnya investor yang menanamkan modalnya di Indonesia, dan yang pasti itu semua berimbas langsung pada kesejahteraan rakyat yang semakin menurun. Tentunya jika dana masyarakat itu tidak di “kerat” oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut, pasti-lah sudah berapa banyak sekolah yang didirikan, tidak ada lagi berita sekolah yang mau roboh memprihatinkan, kemiskinan, dan berapa banyak siswa Indonesia yang dapat melanjutkan sekolahnya hingga minimal ke jenjang SMA.

Terlepas daripada itu, pertanyaannya sekarang adalah mengapa korupsi semakin dianggap biasa dan dipersepsikan menjadi sebuah budaya yang apabila tidak mencobanya dianggap nggak keren, katanya.

Lalu? Bagaimana peran Negara dalam menanggapi hal ini?

Sebenarnya sih lembaga anti korupsi Negara-negara didunia pun sudah ada, seperti UNDP (United Nation Development Program), CEC (Corruption and Economic Crime), maupun ACAs (Anti-Corruption Agencies) yang berbasis pada Independensi lembaga hukum anti korupsi (konferensi internasional “Principle for Anti Corruption Agencies”, 27 November 2012).

Indonesiapun juga terdapat KPK, yang dibentuk berdasarkan UU tahun 2002 yang berbasiskan pada prinsip-prinsip kepastian hukum, akuntabilitas dan independent. Dan perlu diketahui bahwa KPK telah dapat mengungkap 285 kasus dalam kurun waktu 8 tahun dan dengan nilai penyelamatan keuangan Negara sebesar 1,196 Triliun pada tahun 2013. Ya, pencapaian fantastic dari sebuah lembaga pemberantasan korupsi. Akan tetapi, ini bukan masalah eksistensi, bukan masalah kebanggaan, namun malah lebihmengindikasikanbahwamasih rendahnya kesadaranmoral yang dimiliki oleh bangsa ini untuk mencapai tujuan bersama, yang jelas-jelas telah tertuang sebagaimana dalam UUD 1945 alinea (4) “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Lalu, apa yang dapat kita lakukan sebagai suatu individu yang notabenenya memiliki suatu moral yang melekat yang diindikasikan dapat membedakan mana yang baik dan buruk? Cukupkah dengan pendirian lembaga-lembaga anti korupsi maupun lembaga pemberantasan korupsi saja?Tentu tidak.

Salah satu caranya mungkin dengan merubah mindset masyarakat Indonesia, yaitu dengan cara Revolusi mental (pendapat Dr. Hanibal Hamidi, M.Kes Inisiatior Pedesaan Sehat, Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (KPDT)).

Revolusi mental merupakan proses perubahan mendasar dan menyeluruh yang dimulai dari keluarga maupun diri sendiri, dan dilakukan sepanjang hidup serta sepenuh hati sehingga diharapkan mampu mencegah perilaku “pengeratan” ini sebagai indikasi perkorupsian.

Presiden Jokowi-pun sejalan dengan revolusi mental ini, dengan dimasukkannya Revolusi mental ini kedalam salah satu misi program kerjanya.

Dengan cara menutup semua ruang dan celah korupsi, serta meningkatkan hukuman masa penjara, bukan malah dengan diadakannya remisi-remisi (potongan masa tahanan), diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mencegah peningkatan kasus tindak pidana korupsi yang semakin mewabah ini sekarang dan masa depan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun