Media saat ini banyak membahas tentang kompor listrik. Bahkan di Kompasiana sendiri program kompor listrik menjadi topik pilihan yang ditawarkan.Â
Sebenarnya sebelum topik ini dijadikan topik pilihan saya sudah ingin sekali berkomentar dengan program pemerintah ini.Â
Hal ini dikarenakan postingan instagram dari idonesiabaik.id pada tanggal 5 Agustus 2022. Postingan tersebut bisa kalian lihat di bawah ini:
Program Kompor ListrikÂ
Pada postingan di atas terdapat informasi bahwasanya kementrian energi dan sumber daya mineral (ESDM) akan melaksanakan proyek uji coba kompor induksi (kompor listrik).Â
Target dari proyek ini adalah pada akhir tahun 2022 sebanyak 30.000 kompor listrik diberikan kepada masyarakat di Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Selain itu, pada postingan tersebut terdapat informasi bahwa program ini sebagai wujud dari transisi energi terbarukan dalam program Presidensi G20. Akan tetapi akankah ini benar adanya bahwa ini adalah wujud dari transisi energi terbarukan?
Oversuply Listrik
Karena kita tahu, bahwa sebelum berita program kompor listrik menjadi perbincangan hangat, masalah oversuply listrik tidak kalah hangatnya diperbincangkan di media. Diketahui pula bahwa oversuply listrik ini diduga akibat megaproyek 35.0000 megawatt listrik oleh pemerintah.Â
Hal yang paling disorot adalah wacana pencabutan Listrik 450 VA sebagai akibat dari oversuply listrik. Meskipun pencabutan Listrik 450 VA tidak jadi dilaksanakan, program kompor listrik menjadi masalah baru yang mungkin timbul akibat adanya oversuply listrik tersebut.Â
Dari beberapa media, diketahui bahwa pogram kompor listrik sudah berlangsung di beberapa daerah di Jawa. Kompor listrik yang dibagikan adalah kompor listrik berdaya 1.000 watt. Maka dalam benak saya timbul pertanyaan lagi,
Jere kompor listrike nggo bantu masyarakat miskin, tapi kok watt'e gedhe banget? Dadi bingung dech.
Gas Elpiji 3 KgÂ
Bagaimana saya tidak bingung, di sebagian media massa dikatakan bahwa kompor listrik tersebut diberikan secara gratis kepada masyarakat sebagai ganti kompor gas yang menggunakan gas Elpiji 3 kg. Bukankah gas Elpiji 3 kg dengan tabung berwarna hijau diperuntukkan untuk masyarakat miskin? Bahkan jelas tertulis ditabungnya tulisan "HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN".Â
Sedangkan, sebagian besar masyarakat miskin menggunakan listrik berdaya 450 VA atau 900 VA. Jadi, bagaimana bisa dikatakan kompor listrik ini digunakan untuk mengganti kompor gas LPG 3 kg?
Secara hitung-hitungan matematika SD saja sudah pasti kelihatan, bahwa hasilnya akan minus. Artinya, kompor listrik tersebut tidak mungkin bisa digunakan oleh masyarakat miskin. Kecuali jika mereka menaikkan daya listrik rumah mereka.
Jadi, secara tidak langsung meskipun pemerintah tidak jadi mencabut listrik 450 VA, pemberian kompor listrik dengan daya 1.000 watt ini adalah bentuk paksaan kepada masyarakat untuk mencabut listrik 450 VA mereka secara mandiri.
Ah, entahlah. Mumet saya kalau sudah bicara kebijakan pemerintah. Kadang saya merasa kebijakan pemerintah ini sering tidak masuk akal.Â
Atau, mungkin otak saya saja yang belum satu frekuensi dengan otak pembuat kebijakan. Jadinya semuanya terlihat tidak masuk akal di otak saya.
Energi Terbarukan
Ohya, satu lagi ketidak-masuk-akalan yang saya dapatkan, di beberapa media (termasuk di postingan indonesiabaik.id sebelumnya), diinformasikan bahwa program kompor listrik ini sebagai komitmen transisi energi terbarukan.Â
Tapi apa buktinya, wong 48% sumber listriknya saja dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLTU kan sebagian besar menggunakan batu bara. Apakah batu bara termasuk energi terbarukan? Jika kalian lupa, kalian bisa baca lagi buku IPA SD.
Selain PLTU, pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) menyumbang sebesar 22%. PLTMG, PLTG, PLTGU juga berbahan dasar energi yang tidak terbarukan. Sisa 30% lainnya baru disokong oleh pembangkit listrik energi terbarukan.
Jadi pertanyaannya, apakah sesuai jika dikatakan penggunaan kompor listrik sebagai komitmen transisi energi terbarukan?Â
Karena kenyataanya 70% sumber energi listrik sendiri dari energi tidak terbarukan. Saran saja mungkin pernyataan "komitmen transisi energi terbarukan" tidak usah digunakan.Â
Ganti saja dengan pernyataan "komitmen untuk meningkatkan demand listrik". Demand listrik adalah permintaan listrik.
Soalnya kalau pernyataan awal yang digunakan, sepertinya dalam hal ini pemerintah bisa dibilang sedikit berbohong kepada rakyatnya. Karena kita tahu 70% sumber listrik kita dari energi tidak terbarukan. Bukankah dalam agama apapun kita dilarang berbohong?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H