Mohon tunggu...
Nur Haryono haryono
Nur Haryono haryono Mohon Tunggu... -

freedom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret Emansipasi masa Kini

22 April 2013   12:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:48 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hujan turun di sudut Kota Jakarta Utara tepatnya di wilayah Pantai Indah Kapuk. Karena hujan, aktivitas di beberapa kantor sedikit tidak beroperasi, demikian halnya dengan kantor ku di Marketing Office. Bingung untuk melakukan sesuatu akhirnya aku keluar ruangan untuk melihat sesuatu. Aku terhenti di receptionis, karena sepi aku punduduk disitu. Pangdangan ku tertuju akan kalender bulan ini. Setelah aku amati ternyata kemarin itu ada peringatan hari Kartini. Dari situ munculah ide untuk menulis sesuatu artikel tentangnya. Akhirnya aku putuskan untuk kembali masuk ruangan dan menuliskannya sebagai artikel

Ketika kita berbicara mengenai sosok emansipasi, asosiasi public tentu langsung mengarah pada RA Kartini. Selama ini, Kartini kita simbolkan sebagai figure emansipasi perempuan, pendobrak budaya patriarkat. Kartini telah mencontohkan salah satu bentuk emansipasi yang membawa perubahan besar bagi perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi perempuan. Di masa Kartini, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi.

Perempuan diposisikan sebagi kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestic. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan di 3 R (kasur, dapur dan sumur). Begitulah kondisi gender di era Kartini. Berkat perjuangan Kartini, perempuan Indonesia di masa colonial dan dewasa ini mampu mengecap bangku pendidikan formal dan informal. Pendidikan memang menjadi kunci dari keberhasilan pembangunan individu sekaligus pembangunan bangsa. Akan tetapi, kata emansipasi mulai berbelok pengertian dalam pola piker masyarakat kita saat ini.

Telah banyak diantara kita yang memunculkan distorsi dari kata emansipasi sebagai kemampuan perempuan dalam mencapai hak yang setara dengan lawan jenisnya, yaitu kaum laki-laki. Setara yang berbelok arti ini dimaksudkan perempuan dan laki-lakimendapatkan porsi 50 banding 50. inilah letak kesalahan pemaknaan emansipasi dan membuat sebagian kalangan memaknainya dalam arti sempit yang berarti kebebasan bagi perempuan untuk memilih dan bertindak

Sebetulnya, secara bahasa, emansipasi berarti proses pelepasan diri dari sekelompok orang dari kedudukan social ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Adil berarti sesuai kebutuhannya, setara berarti sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Belajar dari Ainun

ada sosok inspiratif baru dalam perjuangan emansipasi perempuan setelah Kartini. Tentu kita mengenal Ainun Habibie, istri mantan orang orang nomor satu di Indonesia yang lakonnya dapat kita saksikan dalam panggung layer lebar Habibie & Ainun tengah memikat animo penikmat film Indonesia. Film Habibie & Ainun merupak cerita nyata perjuangan mantan presiden Habibie dalam menata kariernya dan pemerintahan Indonesia di awal reformasi.

Lewat film tersebut dapat kita saksikan bahwa di belakang layer ketokohan Habibie ada seorang perempuan kuat yang mendampingi beliau.

Perempuan sebetulnya berada pada posisi sentral bagi kekuatan pembangunan nasional. Kacamata terminologi Jawa boleh saja memandang apa yang dilakukan Ainun Habibie saat itu sebagai konco wingking. Budaya patriarkat memandang perempuan adalah konco wingking bagi suami mereka. Dua diantara tugas perempuan adalah sebagai istri pendamping suami dan pengurus rumah tangga. Menurut Darwin (2001), konco wingking didefinisikan bahwa perempuan tidak berhak atasa kedudukan di atas, juga tidak mempunyai hak pengambilan keputusan untuk urusan publik.

Masih meminjam sudut pandang Darwin, dulu para perempuan bangsawan disebut konco wingking dalam arti bahwa mereka melayani kebutuhan suami, termasuk kebutuhan seksual dan reproduksi. Nyatanya tidak demikian bagi lakon Ainin Habibie. Ainun seorang perempuan cerdas dan berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Usai menikah, Ainun memilih untuk mengabdikan jiwanya sebagai konco wingking Habibie, tapi bukan sebagai kelas dua dalam perspektif gender. Ainun yang selama ini berperan berdiri di belakng Habibie, dengan tujuan mengadang mara bahaya yang muncul dari belakang suaminya. Laki-laki terkadang tidak melihat bahaya-bahayatersebut.

Tujuan perempuan berada di belakng suami adalah ikut berpartisipasi secara tidak langsung dalam kesuksesan suami di ranah publik. Perempuan menjadi pahlawan tanpajasa yang bekerja dari belakng layer selama suami aktif berkiprah di dunia publik ataupun politik.

Ibu Ainun Habibie mampu sukses di luar rumah ketika beliau merasa harus bekerja mengabdi sesuai tanggung jawab intelektualitasnya sebagai dokter, tetapi pada akhirnya Ibu Ainun kembali memilih mengabdi sepenuhnya sebagai actor di balik layer kesuksesan keluarganya.

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, mereka membutuhkan sosok guru cerdas, yaitu para ibu cerdas yang telah berbekal pengetahuan. Ainun Habibie membuktikan hal-hal tersebut. Pendidikan tingginya digunakan untuk mendidik anak-anaknya dan mendampingi suaminya. Ainun Habibie dapat menjadi inspirasi bagi perempuan masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun