Penyiapan Blue print atau cetak biru pendidikan Indonesia adalah program yang bakal dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 di bawah pimpinan Menteri Nadiem Makarim. Adapun tiga program yang dicanangkan dalam fokus cetak biru Pendidikan adalah
1.Konsep Merdeka Belajar
2. Pendidikan Masyarakat
3.Kualitas Bangunan Sekolah
Salah satu  Pemerhati dan Praktisi Pendidikan 4.0 yang peduli dengan Pembangunan SDM Unggul, Bapak Indra Charismiadji , menyoroti dan menuangkan argumennya mengenai hal tersebut dalam akun Kompasiananya. Dalam Artikel yang ditulis Bapak Indra yang berjudul Urgensi Cetak Biru Pendidikan Indonesia (kompas) , beliau memprediksi bahwa pendidikan harus memiliki dasar fundamental agar tetap berkembang dan berdiri kokoh di tengah kemajuan jaman.
Bila diibaratkan sebuah rumah, maka 'cetak biru' merupakan pondasi dasar atau konsep pembangunan rumah tersebut. Tanpa adanya konsep dasar, maka pembangunan rumah tidak akan selesai sesuai ekspektasi kita. Bahkan anggaran biaya pembangunan dan waktu perencanaan pembangunannya bisa saja bergeser jauh.
Selama ini, Pendidikan Indonesia belum memiliki cetak biru sehingga tugas, pokok, dan fungsi antara Kementerian Pendidikan, Pemerintah Provinsi ,hingga Pemerintah Daerah terkait pengelolaan system Pendidikan belum menemukan benang merah yang mengakibatkan perhatikannya masih tidak merata. Bahkan sekolah agama banyak berkembang dan dinaungi oleh Kementerian Agama.
Beberapa permasalahan dasar yang muncul akibat belum ada cetak biru pendidikan Indonesia yang dipaparkan oleh Bapak Indra antara lain:
Pertama, angka partisipasi sekolah Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai saat ini angka partisipasi sekolah (APS) Indonesia pada 2017 adalah 99.14% untuk SD, 95,08% untuk SMP, 71,42% untuk SMA/K, dan 24,77% untuk perguruan tinggi.
Adanya anggaran Rp500 triliun tiap tahun ternyata belum membuka akses pendidikan yang lebar bagi masyarakat Indonesia. Masih terlampau banyak anak-anak Indonesia yang tidak bersekolah. Apalagi anak-anak tidak mampu di pelosok negeri. Banyak siswa-siswi berotak brilian tidak terfasilitasi beasiswa dan uang saku sehingga tidak bias melanjutkan ke jenjang bangku Pendidikan yang diinginkannya.
Program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB), dan program-program lain masih banyak yang salah sasaran dan hingga saat ini belum ada evaluasinya.