“Alhamdulilah, Wulan kuliah di prodi Manajemen Universitas Indonesia Mbak,” gadis ceria itu mengabariku lewat jejaring sosial.
“Wah, keren! Semangat ya dek. Orang tua dan guru-gurumu pasti bangga sekali,” saya membalas komentarnya.
Pikiran saya jauh melayang ke masa beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2010. Saat itu, saya masih jadi mahasiswa keguruan yang menjalani masa praktik mengajar di sebuah SMA negeri favorit di Kabupaten Bantul.
***
Wulan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia terkenal aktif di sekolah, terutama dalam mengikuti kegiatan ekstrakulikuler PMR. Saat itu ia masih duduk di kelas XI IPS. Dari hasil sosiometri, saya mengetahui bahwa Wulan adalah siswa paling populer, aktif dan disukai di kelas. Sebelum melakukan kunjungan rumah, praktikan sudah dekat dengan Wulan sejak awal KKN PPL, diawali ketika Wulan bercerita mengenai masalah aktivitasnya . Ia termasuk siswa yang supel, ramah, mudah bergaul sehingga memiliki banyak teman. Di samping itu, Wulan juga pintar, terbukti dari rata- rata nilainya semester 2 saat ia di kelas X6 kemarin yaitu 83,37 . Namun, Wulan lebih menyukai untuk masuk jurusan IPS daripada IPA .
Jika dilihat dari latar belakang ekonomi keluarga, bisa dibilang kondisi ekonomi keluarganya tergolong menengah ke bawah. Oleh karena itulah saya memutuskan untuk mengadakan kunjungan ke rumah Wulan pada hari Jumat, 13 Agustus 2010 pukul 14.00 WIB. Kedatangan saya disambut dengan baik dan ramah oleh ibu Wulan, Bu Jumiyati. Beliau bersedia meluangkan waktu dengan senang hati untuk diwawancarai mengenai kondisi ekonomi keluarga Wulan dan juga aktivitas keseharian mereka. Rumah Wulan jaraknya sekitar tujuh kilometer dari sekolah.Sehari-harinya Wulan naik kendaraan bermotorke sekolah. Menurut ibunya, motor itu dibeli dari hasil uang pemberian kakek Wulan yang dicicil sedikit demi sedikit. Membeli motor dengan berbagai pertimbangan, misalnya supaya praktis apalagi Wulan termasuk anak yang aktif organisasi sehingga kemungkinan akan repot jika naik kendaraan umum. Apalagi di rumah Wulan hanya ada kendaraan berupa satu motor dan dua sepeda ontel.
Ayah Wulan bernama Pak Sri Hardiyanto bekerja jadi buruh serabutan. Artinya , belum tentu selalu ada pekerjaan setiap hari dan tergantung kondisi. Misalnya, ada rumah orang yang ingin direnovasi atau rumah yang sedang dibangun, maka Pak Sri bekerja di situ menjadi tukang. Karena penghasilan yang tergolong jarang dan belum mencukupi, maka Pak Sri juga menyambi pekerjaan lain yaitu memelihara ikan kecil-kecilan . Kadang beliau menangkap belut di sawah depan rumah mereka dengan cara disetrum pada malam hari. Itupun sifatnya musiman.
Ibu Wulan ( Bu Jumiyati) bekerja sebagai pedang tahu keliling. Tahu ini tidak dibuat sendiri, melainkan mengambil dari bakul (titipan). Bu Jumiyati menjajakan tahu itu berkeliling naik sepeda ontel mulai jam 06.30 pagi setelah anak-anaknya berangkat ke sekolah. Sedangkan sore harinya, Bu Jumiyati mengambil daun-daun pisang di tempat orang untuk kemudian disalurkan ke penjual-penjual bubur sebagai bungkus. Pendapatan yang diperoleh dengan sistem bagi hasil dengan si pemilik pohon pisang. Biasanya Wulan ikut membantu mengantarkan daun-daun pisang itu sesudah maghrib. Dari sinilah Wulan mendapatkan uang saku.Bu Jumiyati juga mengajarkan Wulan untuk mandiri dengan cara seperti ini. Namun, selama bulan puasa ini Bu Jumiyati tidak menjual daun-daun pisang karena pedagang bubur tutup/libur.
Sedangkan adik Wulan saat itu masih kelas 4 SD dan tergolong pintar di sekolahnya, terbukti ia memperoleh peringkat lima besar .
Dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, orang tua Wulan tetap mementingkan pendidikan bagi kedua anaknya. Mereka berharap Wulan dan adiknya bisa menjadi orang yang berhasil.Apalagi Wulan memiliki motivasi belajar dan kepercayaan diri yang tinggi.
Ketika kondisi ekonomi benar-benar menurun, tidak jarang orang tua Wulan meminjam uang kepada orang lain dan selalu dikembalikan sesuai batas waktu yang telah ditetapkan. Mereka melakukan segala cara agar anaknya tetap sekolah, termasuk menyemangati anaknya. Dulu rumah Wulan juga pernah kena gempa tetapi Wulan dan adiknya tetap diutamakan untuk sekolah meskipun dengan kondisi ekonomi yang terbatas pada saat itu .
Sedangkan untuk interaksi keluarga Wulandengan tetangga sekitar tergolong baik, terbukti jika ada acara hajatan atau kerja bakti merekaturut berpartisipasi.Meskipun mereka masih tergolong kurang jika dibandingkan dengan tetangga sekitar. Pendapatan kedua orang tua Wulan tidak bisa dihitung pasti untuk setiap bulannya. Rata-rata Rp.500.000 (pada saat itu) jika pendapatan keduanya digabungkan per bulan.
Dengan memperhatikan kondisi ekonomi keluarga Wulan dan prestasi yang dicapai Wulan ( karena Wulan pintar dan aktif), diharapkan nantinya pihak sekolah akan tetap memberi bantuan berupa beasiswa. Karena motivasi Wulan tinggi. Ia bahkan ingin sekali melanjutkan kuliah. Kalau bisa, ia akan memcoba beasiswa kuliah di Inggris. Atau masuk UNY. Menanggapi keinginan anaknya, orang tua Wulan hanya mengamini dan berharap semoga ada jalan untuk meluluskan keinginan anaknya itu.
Berkat usaha kerasnya, Wulan berhasil menembus UI lewat jalur umum dan memperoleh beasiswa. Filosofi “Man Jadda Wajada” tepat untuk menggambarkan kegigihan Wulan. Ia tidak hanya menjadi motivator bagi teman-teman sebaya, panutan bagi adiknya, kebanggaan guru dan orang tua. Namun, ia juga memberikan inspirasi bagi saya. Bahwa akan selalu ada jalan yang diberikan Allah bagi umatNya yang mau berusaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H