Cahaya mentari malu-malu masuk dari sela ventilasi rumah yang diselimuti tebalnya jaring laba-laba, walaupun di luar sana kudengar burung-burung bernyanyi riang menyambut mentari. Tidak ayal para wartawan itu menyebutnya sebagai penjara rumah dan aku adalah tahanan rumah. Setidaknya aku bersyukur tempat ini lebih baik ketimbang penjara sumpek dengan ukuran 10x10 meter yang diisi hingga belasan orang.
      Sebenarnya aku sudah biasa ditahan di tempat seperti ini sejak era Hindia-Belanda dahulu. Rumah penjara ini mengingatkanku saat diasingkan di Bengkulu, Berastagi, Bangka dan Ende. Ironinya bukan Belanda yang memenjarakanku melainkan saudara sebangsa, setanah air yang menahanku disini.
      Semua ini terjadi sebab keblingeran para petinggi PKI, yang menewaskan Jenderal Yani dan enam kawan-kawannya. Yah, kurasa tidak apa-apa mengingat kembali peristiwa menyakitkan itu dengan duduk di teras rumah tua ini seraya menunggu rekan-rekan wartawan yang datang.
*
      Pagi hari di Stadion Gelora Bung Karno, simpatisan PKI riuh menyabut kedatanganku disusul dengan pelukan hangat Aidit yang menambah meriahkan suasana. Aidit lalu mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Sejauh mata memandang kulihat seluruh tribun penonton dipenuhi oleh warna merah dan simbol palu arit khas Partai Komunis Indonesia. Nampak lukisan besar diriku terpampang bersanding dengan dua pemimpin besar komunisme dunia, Mao Zedong dan Joseph Stallin.
Tepat pada hari ini 23 Mei 1965 adalah perayaan HUT Partai Komunis Indonesia yang ke-45 tahun, aku diundang secara langsung oleh Aidit untuk memberikan pidato sekaligus gagasan NASAKOM sebagai penguat persatuan bagi bangsa. Acara dimulai dengan barisan tani dan buruh yang membawa poster besar para tokoh-tokoh komunis. Diawali Karl Marx bapak komunisme, disusul dengan Vladimir Lennin, Joseph Stallin, Mao Zedong, Henk Sneevliet hingga tiga poster besar wajah yang tidak asing; Amir Sjarifuddin, Semaoen, dan Muso.
Terkhusus tiga wajah itu Amir, Semaoen, dan Muso mengingatkanku kembali akan kenangan bersama mereka semasa perjuangan. Apalagi dua orang itu Semaoen dan Muso adalah senior sekaligus teman indekosku ketika masih di Surabaya; sedangkan Amir aku dekat dengannya ketika ia hampir dieksekusi oleh pemerintah Jepang. Malangnya nama kalian, yang menjadi hitam karena tersesat dalam jalan revolusi bangsa ini. Aku berharap kelak semoga Partai Komunis Indonesia pimpinan Aidit tidak seperti Partai Komunis semasa kalian.
Perlahan poster besar wajah-wajah itu menghilang, berganti dengan hiburan dari seniman LEKRA dan tarian Ronggeng dari Gerwani. Setelah hiburan itu selesai, dikumandangkanlah lagu kebanggaan Indonesia Raya yang disusul lagu kebanggaan kaum komunis dunia Internazionale. Selesai berkumandang, Aidit tersenyum seakan meminta restu padaku untuk naik ke mimbar, isyarat itu kurestui dengan anggukan kepalaku.
Aidit berpidato dengan menggebu-gebu memancarkan semangat revolusioner yang ditutup dengan tangan kiri mengepal sebagai simbol revolusi. Ia lalu berteriak "Hidup Buruh Tani...! Hidup PKI...! Hidup Bung Karno...!", tepuk tangan para simpatisan bergaung hebat, sambil melambaikan tangan Aidit turun, seraya mempersilahkan giliranku untuk menyampaikan ide NASAKOM. Aku bangkit menaiki mimbar dan suara tepuk tangan kembali riuh menggaung di langit Jakarta. Entah berapa ratus ribu yang hadir di perayaan ini, namun gemuruh simpatisan PKI berhasil membuat bulu kudukku merinding.
Meskipun dibuat merinding, aku tetap menyampaikan pidato dan gagasan ideku itu. Para simpatisan mendengar dengan antusias, sebagai penutup pidato ringkasku, kulantangkan, "Subur, subur, suburlah PKI...! Hidup NASAKOM...!". Aidit lalu beranjak dari kursi dan kami saling merangkul sebagai simbol persahabatan. Balon-balon merah dilepas sebagai penanda perayaan HUT Partai Komunis Indonesia yang ke-45 tahun telah selesai. Selepas itu aku menyalami para petinggi PKI dan kembali menuju Istana Merdeka untuk beristirahat.
*
      Mengingat rangkulan diriku bersama Aidit, aku tidak percaya bahwa ia adalah dalang pembunuhan malam jahanam itu. Salah satu foto yang terdapat diriku sedang berpelukan dengan Aidit dijadikan sebagai bukti, bahwa aku ini adalah seorang komunis tulen yang berselimut nasionalis. Aku pun bingung entah darimana dan siapa yang menyebarkan isu tersebut, namun faktanya aku bukanlah seorang komunis.
      Tatkala berpikir, istriku Ratna Dewi Sari keluar dari dalam dengan membawa secangkir kopi tubruk dan koran yang terlipat di nampan. "Terima kasih", ucapku sambil tersenyum yang dibalas senyum manisnya. Ketika sedang menikmati kopi, kulihat ramai di depan gerbang para wartawan yang sedang diperiksa oleh penjaga rumah.