Mohon tunggu...
Nur Seta Bramadi
Nur Seta Bramadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Book writer and former English teacher in LPIA Jakarta and Bekasi (2008-2018)

I'm just a simple man who likes writing, blogging, playing PC game, watching movie, and listening to music. I had an experience in teaching English in Jakarta and Bekasi (2008-2018). My books: Filateli Sebagai Hobi dan Investasi (Balai Pustaka, 2001), Kursus Singkat Bahasa Inggris (BIP, 2011), Kursus Singkat Percakapan Bahasa Inggris (BIP, 2013), Kursus Singkat Bahasa Inggris Bisnis (BIP, 2016), and Percakapan Inggris-Indonesia Bidang Perawat dan Rumah Sakit (BIP, 2021). I had a diploma in graphic design from a School of Design in Jakarta (1993), but later changed my interest into English and literacy. Sometimes I write my blog in English or Indonesian. I was born and live in Jakarta. No one is perfect. Stay humble.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Esai Pendek) Buddha, Waisak, dan Festival

24 Mei 2024   15:59 Diperbarui: 31 Mei 2024   10:31 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kaskus.id

Tentu sudah banyak yang pernah mendengar bahwa sebelum menjadi Buddha, Siddharta adalah seorang pangeran pewaris tahta kerajaan. Setelah melihat 4 peristiwa ketika berjalan-jalan di sekitar istana (yakni orang tua renta, orang sakit, orang meninggal, dan pertapa), beliau lantas meninggalkan istana dan pergi ke hutan guna mencari jawaban tentang "eksistensi". Setelah bertahun-tahun melakukan "trial and error" berbagai metode pertapaan, akhirnya beliau mencapai Buddha, yang artinya kurang lebih 'orang yang telah bangun/tercerahkan'. 

Waisak adalah hari untuk mengenang hari kelahiran Pangeran Siddharta, beliau mencapai Buddha, dan wafatnya beliau. Semuanya memang terjadi pada hari yang sama (beda tahun tentunya). Mungkin banyak yang salah paham, seolah Buddha itu adalah Tuhan atau nabi. Ternyata bukan. Beliau adalah manusia biasa yang mencapai pencerahan lewat cara-cara manusiawi. Artinya, diyakini bahwa setiap manusia sebetulnya punya bibit kebuddhaan dalam diri kita dan bisa mencapai Buddha dengan melakukan berbagai sila dan ketentuan moral-spiritual. Umat Buddha pun tidak menyembah patung Buddha. Itu hanya simbol penghormatan saja. 

Di Indonesia, perayaan Waisak mulai ditetapkan sejak 19 Januari 1983. Meskipun Buddhisme adalah minoritas di Indonesia, kita patut bangga bahwa candi Buddha terbesar di dunia (Borobudur) justru berada di sini, tepatnya di sekitar Magelang (Yogyakarta). Setiap perayaan Waisak, banyak diadakan berbagai kegiatan keagamaan guna menyambutnya. Bahkan, konon beberapa tahun belakangan ini, kegiatan Waisak di Borobudur sudah menjadi agenda wisata spiritual berbentuk festival yang banyak menarik perhatian turis mancanegara dari berbagai negara dan agama. Keren. 

Mungkin banyak yang tahu bahwa Buddhisme sangatlah bersifat asketis. Lantas, apakah perayaan Waisak yang sudah menjadi festival wisata itu tak mengurangi esensi Buddhisme? Sepertinya tidak. Festival lampion, atau apapun namanya pada perayaan Waisak di Borobudur, juga dihadiri banyak biksu/biksuni dari berbagai aliran dan berbagai negara. Sebelum acara puncak berupa pelepasan lampion di udara pada malam hari, ada banyak rentetan kegiatan ritual lainnya, termasuk meditasi bersama dan pembacaan paritta. 

Bagaimana dengan Umat Buddha yang tidak hadir pada perayaan puncak Waisak di Borobudur? Kurang Buddhis-kah mereka? Jelas tidak. Perayaan atau festival tentu boleh-boleh saja. Namun, esensi Buddhsime sebenarnya terletak pada unsur pelepasan dari keduniawian (kemelekatan). Ini sebetulnya juga diajarkan banyak agama lain. Namun, dalam Buddhisme lepas dari kemelakatan sangat ditekankan guna mencapai tujuan akhir, yakni Nibbana (bebas dari kondisi hukum sebab-akibat). Terdengar kurang manusiawi? Tidak juga. Faktanya, memang tidak mudah bagi semua orang bisa mencapai Nibbana. Setiap orang harus berusaha sendiri. Para biksu dan Buddha hanyalah penuntun. Kitalah penentu takdir dan masa depan kita sendiri, menurut Buddhisme.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun