Semua berakhir pada peta catatan takdir yang sudah tertulis sekian lama bersembunyi diantara ruang dan waktu manusia berada. Bermula dari kiriman pesat lewat chat WhatsApp malam hari kala itu, diriku saat itu masih sendiri belum ada tali istimewa kepada siapapun bahkan teman terdekat saat kuliah. Usia memberitahuku tentang adanya siang-malam, hitam-putih, kaya dan miskin. Semua saling berpasang-pasangan begitu pula diriku yang ditakdirkan sebagai seorang laki-laki, wajar jika mulai tertarik dan membutuhkan teman untuk komunikasi secara privasi maupun teman dekat. Mulai sepatah kata terlontar hanya sekedar basa-basi tapi mengandung motif untuk saling mengenalkan diri, percakapan itu dimulai dari ungkapan;
Aku: Hai, apa kabar?
Dia: Baik, siapa ya?
Aku: Aku mas (nama), temennya si (nama)
Dia: Ohhh, iya mas ada apa ya?
Aku: Salam kenal ya, sekarang lagi ngapain?
Dia: Ini masih di tempat kerja mas
Aku: Semangat ya, semoga lancar rizkinya berkah usianya; emoji.
Pelan tapi pasti prinsip yang saya gunakan untuk selalu bersabar dan berjalan secara perlahan melalui komunikasi secara istiqomah. Mungkin dengan cara seperti itu akan membuahkan hasil yang maksimal ketimbang mengedepankan ambisi dan egois lewat jalur instan bisa dekat dengan seseorang.
Seiring berjalan waktu hubungan kita semakin dekat dengan saling membagi kisah pribadi, cerita keluarga masing-masing membuat ikatan kepercanyaan satu sama lain samakin terjaga.
Hampir satu bulan kita jalani akhirnya kita putuskan untuk saling mengikatkan hubungan ini sebagai status pacaran istilah anak layangan zaman now. Semakin kesini hal-hal romantis tercipta begitu saja mengalir seperti angina yang menyusup di sela-sela rongga hidung. Usiaku pada saat itu masih 25 di tahun 2017 dan dia usia 22 sama di tahun 2017 rentang 3 tahun usia yang lumayan senja untuk berpacaran.
Saya masih berstatus sebagai mahasiswa aktif semester 8 akhir dan dia menjadi seorang karyawan di pabrik plastik di daerah Jawa Timur sama dengan lokasi tempat saya menempuh pendidikan perkuliahan. Mungkin dengan latar belakang yang berbeda, pendidikan berbeda, usia berbeda, orang tua berbeda, lingkungan berbeda membuat cara pandang dan perilaku kita berbeda 90 derajad. Cras, cekcok, berantem persepsi dan egoisitas bertebaran dimana-mana membuat hubungan kita semakin tidak karuan dan menjadikan sebuah persoalan sepele menjadi masalah yang besar untuk kita beralasan saling menjauh. Akhirnya tidak lama kemudian kita putuskan untuk memilih mencari jalan hidup masing-masing. Putus komunikasi dengan alasan untuk menjaga jangan sampai ada kebencian yang terus tercipta bila saling mengetahui keadaan diri masing-masing. Seminggu terasa semua baik-baik saja tanpa ada rasa kecewa dan penyesalan tertuang di benakku, berjalan seperti biasa, hidup seperti biasa, aktivitas seperti biasa semua serba biasa-biasa saja. Pada suatu titik waktu yang tak diinginkan perasaan rindu, menyesali terlintas di fikiran menenggelamkan air mata yang lama kering karena terik egoisitas yang sudah aku lakukan. Mungkin waktu tak bisa terulang dan jalan pulang untuk kembali sudah hilang di telan masa lalu, sudahlah semua sudah terlewati dengan canda tawa dan air mata luka yang akan selalu bersemanyam pada seseorang pecinta yang amatiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H