Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk intelektualitas dan karakter masyarakat. Namun, dalam praktiknya, masih terjadi relasi kuasa antara pimpinan dan dosen tidak selalu berlangsung secara egaliter. Agama, yang idealnya menjadi landasan moral dan spiritual, kerap digunakan sebagai alat legitimasi dalam relasi kuasa. Hal ini pada akhirnya ini menciptakan bentuk kekerasan simbolik, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu, di mana dominasi dilakukan secara halus melalui simbol, nilai, atau norma tertentu yang diterima tanpa disadari oleh pihak yang didominasi.
Kekerasan simbolik terjadi ketika nilai atau norma tertentu digunakan untuk mengukuhkan otoritas tanpa perlawanan terbuka. Di lingkungan perguruan tinggi, agama sering dijadikan instrumen untuk mengontrol perilaku dan keputusan dosen. Pimpinan yang memiliki otoritas sering kali menggunakan interpretasi agama sebagai alat legitimasi untuk memaksakan kebijakan atau mendisiplinkan dosen. Misalnya, ungkapan seperti "ini sesuai dengan nilai-nilai agama" atau "kita harus patuh karena ini karena pimpinan merupakan "Kiai" " digunakan untuk membungkam kritik atau perbedaan pendapat.
Dalam konteks ini, agama tidak lagi berfungsi sebagai pemandu spiritual yang membebaskan, tetapi menjadi perangkat kontrol ideologis yang mendistorsi relasi kekuasaan. Dosen yang mencoba memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan pimpinan berisiko dicap tidak patuh, tidak religius, atau bahkan melawan norma-norma tertentu.
Kekerasan simbolik berbasis agama di perguruan tinggi terjadi melalui mekanisme tertentu. Pertama, penggunaan bahasa keagamaan yang sarat otoritas untuk menciptakan kepatuhan tanpa ruang negosiasi. Kedua, konstruksi hierarki moral antara pimpinan dan dosen, di mana pimpinan ditempatkan sebagai figur otoritas spiritual yang tidak boleh dikritik. Ketiga, manipulasi konsep tanggung jawab keagamaan untuk membebankan tugas atau kewajiban yang tidak proporsional kepada dosen.
Misalnya, seorang dosen yang menolak tugas tambahan yang tidak relevan dengan bidangnya dapat dianggap tidak memiliki semangat pengabdian yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya, dosen yang patuh dianggap lebih mulia, tanpa memperhatikan beban kerja atau kondisi personalnya.
Dampak Kekerasan Simbolik terhadap Akademisi
Kekerasan simbolik berbasis agama ini memiliki dampak serius terhadap para dosen. Pertama, terjadinya stagnasi dalam perkembangan intelektual, karena ruang diskusi kritis dibungkam oleh otoritas agama yang digunakan pimpinan. Kedua, tekanan psikologis akibat pemaksaan norma agama yang tidak selalu relevan dengan konteks pekerjaan akademik. Ketiga, munculnya budaya kepatuhan tanpa refleksi, di mana dosen cenderung mengikuti perintah tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap profesionalisme dan kualitas pendidikan.
Sebagai penutup, agama sebagai simbol seharusnya menjadi kekuatan membebaskan, bukan alat dominasi yang membatasi. Perguruan tinggi harus menyadari potensi penyalahgunaan agama dalam relasi kuasa dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya. Dengan membangun budaya akademik yang egaliter dan kritis, perguruan tinggi dapat berfungsi sebagai ruang intelektual yang benar-benar inklusif dan membebaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H