“Ledakan ketel mesin, tangan kakai sering terjepit mesin, terkena lemparan besi bekas potongan, kulit melepuh kena besi panah, pinggang terkena jatuhan besi sampai lumpuh sudah terbiasa di sini mb, lihat bekasnya nih” fenomena bekerja di pabrik peleburan besi
Bagaimana rasanya jika kita bekerja minimal 12 jam sehari, tanpa istirahat dan tanpa mempunyai waktu libur satu minggu sekali? mungkin saya akan stress, tidak sanggup bekerja lalu berhenti bekerja. Itulah kondisi pekeja PT Shun Fang Langgeng Jaya Stell (PTSFT). Sejak perusahaan mulai berproduksi, para pekerja di sana setiap hari bekerja dari jam 7 pagi sampai 7 malam terkadang bahkan sampai jam 9 malam, tiada disediakan waktu istirahat walaupun di UU ketenagakerjaan di negeri ini mengatur “Pekerja yang bekerja berturut-turut selama 4 jam berhak mendapatkan istirahat minimal 30 menit” namun pada kenyataannya istirahat adalah kemewahan untuk mereka, lalu bagaimana dengan libur kerja?, seharusnya kita punya hak libur setelah bekerja 6 hari, namun lagi-lagi sebuah kemewahan bagi pekerja PTSFT untuk mendapatkan hak libur mereka satu minggu sekali. Bagi mereka bekerja 7 hari kerja dengan minimal 12 jam kerja sebuah kewajiban bagi mereka dan pasti upah mereka akan besar, UMK Kabupaten Serang tahun 2012 Rp 1,410,000- dengan perhitungan lembur tiap hari minimal 5 jam ditambah lebur wajib di hari libur, maka upah yang mereka bawa untuk anak istri, orangtua mereka minimal Rp 4,500,000,- dan untuk pekerja pabrik gaji sebesar itu sangat besar dan pasti banyak yang iri, namun sayangnya nilai tersebut hanya sebuah angka bahkan tidak tertulis di atas kertas dan tidak terbaca oleh para pekerja tersebut. Sehari bekerja lebih dari 12 jam, tanpa libur resmi yang sudah menjadi haknya upah yang mereka dapatkan masih di bawah 1,2 juta. Apakah mereka pekerja harian? tentunya bukan, sebab pertamakalinya mereka menandatangani kontrak kerja bukan sebagai pekerja harian tapi sebagai pekerja kontrak. “Teman saya malah berangkat dari rumah jam 5 pagi agar tidak terlambat bekerja dan pulang kerja paling cepat jam 8 malam baru sampai rumah dan tidak pernah lihat anaknya bermain ataupun lihat matahai ri rumah”
*contoh slip gaji salah satu pekerja PT SFT
Bekerja 12 jam sehari tanpa istirahat, tanpa waktu libur, jika ingin mengambil libur maka mereka tidak dibayar. Setelah kondisi kerja tersebut harus mereka lakukan selama lebih dari 1 tahun, namun mulai Mei 2013 terjadi perubahan di jam kerja dan upah yang mereka terima. Perubahan tersebut bukan tiba-tiba diberikan oleh pihak pengusaha sendiri sebagai sebuah itikad baik dari pihak mereka untuk memperbaiki kondisi kerja, melainkan tuntutan pekerjanya setelah para pekerja mendirikan Serikatdan menuntut hak-hak normatif yang selama di langgar pengusaha PT SFT dengan melakukan aksi. Perubahan memang sudah ada, namun para pekerja di sana masih mendapatkan upah di bawah UMK dan upah lembur belum sesuai dengan aturan dengan alasan perusahaan tidak mampu melakukannya, maka dari serangkain peristiwa tuntutan untuk memerberlakukan upah sesuai dengan UMK, upah lembur dan wajib jam kerja 40 jam, maka perusahaan melakukan PHK sepihak kesemua pekerjanya. PT SFT yang berlokasi di Kawasan Industry Modern, Cikande, Serang berstatus PMA China dan perusahaan peleburan besi sejak Desember 2011 dengan total jumlah pekerja sekitar 160 orang. Pertama kalinya aku bertemu dengan teman-teman pekerja PT. SFT karena saat ini mereka sedang menghadapi masalah PHK sepihak tanpa pemberian hak-hak normative dan dipekerjakan kembali sebagai pekerja kontrak, namun bukan masalah PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan yang membuatku makin asyik berbicara dengan mereka dan saat ini jadi tren dilakukan oleh para pemilik modal, karena saat ini para pemilik modal di negeri ini sedang mengkampanyekan akan melakukan PHK besar-besaran karena tidak sanggup membayar kenaikan Upah minimum yang bagi mereka kenaikannya meroket dan sulit di jangkau, namun pada akhirnya pemilik modal yang memPHK pekerja nya akan mempekerjakan kembali namun dengan status pekerja yang berbeda dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, pekerja alih daya bahkan pekerja harian.
Di antara obrolan dengan pekerja PT SFT yang saat ini bertahan mendirikan tenda di depan pabrik PT SFT, kami yang bukan pekerja di sana tersentak, terdiam mendengar penjelasan dari mereka, bukan hanya tentang jam kerja yang sangat panjang berpotensi para pekerja disana kehilangan hak bersosialisasi dengan masyarakat, dan menganggu kesehatan mereka (teringat kasus meninggalnya copy writer muda Mita Diran yang overload bekerja 3 hari tanpa istirahat) resiko kecelakaan kerja tinggi yang harus di hadapi mereka di setiap waktu.
“Pertama kali masuk kerja di sini kaget mb, sering dengar suara ledakan, tapi kita nga tau itu ledakan apaan, sebab masuk kita di suruh langsung pegang kerjaan, nga di kasih tau mana yang berbahaya, jadi kita ikutin teman yang sudah duluan kerja di sini aja” cerita Hendra salah satu pekerja PT SFT. Tiada pelatihan yang harus mereka dapatkan ketika pertama menginjak pabrik peleburan besi, tiada informasi apa yang harus di hindari, tiada teori bagaimana menjalankan mesin produksi, semuanya dilakukan dengan melihat langsung cara kerja pekerja yang sudah bergabung di pabrik tersebut dan anak baru mengikuti pola kerja mereka. “tangan kaki terjepit mesin, kulit kami terkena cipratan peleburan besi sudah biasa terjadi di sini” ujar hendra sambil menunjukkan bekas luka bakar yang dia dapatkan, bukan hanya satu titik saja yang dia tunjukkan, jika aku hitung ada 5 titik di bagian kaki, tangan yang terkena luka bakar, dan temannya yang lain dengan senang hati juga menunjukkan kepadaku, “ini masih beruntung lukanya sedikit, teman saya yang sudah keluar kerja paha atas kakinya terkena siraman besi panas sampai celana jeans yang digunakan menempel dengan kulitnya, kan panas besi sampai lebih 700Ocelcius”. Bagi mereka luka-luka bakar tersebut adalah resiko kerja yang harus mereka hadapi dan tidak bisa dihindari, tapi cerita kecelakaan kerja yang harus di hadapi bukan itu saja, contoh-contoh kecelakan kerja yang pernah terjadi di PT SFT sebagai berikut
- Pekerja tertimpa besi seberat 500 Kg, ketika bongkahan besi mau dimasukkan ke tungku peleburan, namun lepas dari kait penyangga dan menimpa pekerja di bawahnya, dari pinggang sampi ke kaki kiri lumpuh tidak bisa digerakkan lagi
- Terkena siraman leburan api, dari tangan sampai kaki
- Jatuh dari lantai dua
- Terkena lemparan potongan besi yang mengenai tubuh mereka bahkan bisa ke wajah pekerja
- Potongan besi yang terlempar di atap pabrik, sampai sekarang masih menempel di atap pabrik dan sudah lama tidak di ambil, resiko yang dihadapi potongan besi yang beratnya puluhan Kg bisa jatuh sewaktu-waktu menimpa pekerja yang ada di bawahnya.
hanya sebagian sedikit contoh kecelakaan kerja, masih banyak lagi kecelakaan kerja yang terjadi, dan itu hanya membuat mata, telinga, hati yang mendengar tidak terpercaya. Jangan Tanya kapan terjadinya kecelakaan tersebut, mereka sudah tidak bisa mengingat berapa banyak kasus kecelakaan kerja yang terjadi di sana.
Lalu bagaimana mereka menghadapinya, untuk contoh kasus pertama pekerja hanya diberikan kompensasi 50 juta lalu diberhentikan bekerja karena sudah tidak bisa bekerja kembali, dan uang tersebut habis untuk biaya pengobatan, lalu bagaimana dengan kasus jatuh dari lantai dua, cukup dibawa korban di bawa ke kantin di suruh istirahat menunggu pihak HRD dating untuk memberikan persetujuan harus di bawa ke dokter atau tidak, namun akhirnya cukup di bawa ke tukang pijat dan persoalan selesai. Biaya pengobatan menjadi tanggung jawab pekerja, perusahaan tidak mau menanggung biaya pengobatan, bagi perusahaan kecelakaan kerja yang terjadi adalah kesalahan pekerja karena tidak mau berhati-hati. Baru di bulan Agustus 2013, pekerja di sana di daftarkan sebagai anggota Jamsostek namun tidak di ikutkan di Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JKP) dan para pekerja harus menanggung biaya pengobatan baik karena sakit ataupun disebabkan kecelakaan kerja.
Panas, berdebu, asap, bising adalah kondisi real yang harus di hadapi pekerja disana, jangankan mendapatkan Asuransi kesehatan, Alat Pelindung Diri (APD) sulit untuk mendapatkannya, Helm/pelindung kepala tanpa penutup wajah memang diberikan, namun bagaimana dengan masker, pelindung telinga, sepatu, baju keselamatan kerja?, adalah sebuah kemewahan yang sulit di capai pekerja PT SFT, baju kerja cukup menggunakan kaos sehari hari yang dibeli dari gaji mereka dapatkan, meminta sepatu kerja standar keselamatan kerja perusahaan cukup memberikan uang Rp 20.000,- ke pekerja agar membeli sendiri.
Keselamatan, Kesehatan, upah yang layak adalah sebuah kemewahan bagi mereka, yang mereka harus lakukan melindungi sendiri, berusaha tidak sakit, tidak terjadi kecelakaan kerja yang menimpa mereka, karena mereka adalah tumpuan keluarga, ada yang menunggu mereka di rumah untuk bisa menyambung kehidupan ekonomi dan bisa bertahan dengan makin mahalnya kebutuhan rumah tangga.
Mereka butuhkan di sela-sela bekerja adalah istirahat walaupun itu hanya 30 menit, namun resiko yang harus mereka hadapi mendapatkan teguran dari tenaga kerja asing/pengawas dilarang meninggalkan pos-pos kerjanya, bagi mereka meninggalkan pos-pos kerja selama 10-15 menit beresiko gagalnya proses produksi, maka yang bisa mereka lakukan untuk makan mengisi perut kosong adalah makan berdiri di dekat pos-pos kerja yang panas, kotor berdebu dan berasap, tanpa bisa membersihkan tangan mereka untuk cuci tangan, bukan saja hanya sulit meninggalkan tempat untuk makan, para pekerja di sana yang mayoritas muslim kesulitan melakukan ibadah sholatnya “bukan aja makan di tempat kerja tanpa bisa membersihkan badan, kita tidak bisa sholat, mungkin kita sudah di anggap kafir karena sejak kerja di sini tidak pernah sholat Jum’at, dan kalau kita sholat TKA pasti melarang dan marah-marah ke kita, dan bahkan ada yang pecat langsung karena TKA nya melihatnya sholat” jika beribadah mereka di larang, maka tempat ibadah juga tidak ada.
*Kondisi di dalam pabrik
Sebuah potret kehidupan tenaga kerja di salah ujung barat Ibu Kota negeri ini, dan di kawasan industry Serang timur ada sekitar 5 pabrik yang beroperasi di peleburan besi, dan kondisinya hampir sama, upah di bawah UMK yang sudah di tentukan, kesehatan dan keselamatan yang terancam namun walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan ke pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga kerja, tidak ada tindakan sanksi yang diberikan ke pengusahan tersebut. Berdirinya pabrik-pabrik peleburan baja sebuah keuntungan bagi pemerintah karena mengurangi jumlah pengangguran dan meberikan devisa ke negara ini, namun yang dikorbankan apakah sesuai dengan yang didapatkan negeri ini kedepannya.
Jika kondisi ini terus berlangsung, penerus negeri ini khususnya daerah Serang Banten apakah akan di isi oleh orang-orang cacat yang disebabkab kecelakaan kerja, orang-orang sakit yang disebakan dampak negatif kondisi kerja yang berimbas kesehatan pekerja ini? para pekerja ada merupakan fondasi pembangunan negeri ini. ‘Orang miskin memang di larang sakit’ namun sakitnya para pekerja ini disebabkan para Pemilik modal, para Stake Holder yang sengaja membiarkan kondisi ini terus terjadi untuk kepentingan segelintir orang saja
“Buruh bekerja bukan untuk menjual salah satu bagian tubuhnya ataupun nyawa, tapi buruh bekerja untuk membangun negeri ini”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H