Mohon tunggu...
Nur Ahsan
Nur Ahsan Mohon Tunggu... -

Alumni PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Aqidah Filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Awal Diponegoro

14 April 2012   13:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:37 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Judul: Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil Penulis: Remy Sylado Penerbit: Tiga Serangkai Cetakan: I/2007 Tebal: 339 halaman Ia abadi di antero Indonesia. Di Semarang, salah satu universitas negeri mengidentifikasi diri dengan namanya. Di alun-alun Kota Magelang patungnya berdiri. Dan, meski lahir di Yogyakarta, ia justru dimakamkan di Makassar. Tetapi, itu saja tidak cukup. Di negeri ini, tak banyak yang tahu bahwa Ontowiryo, yang kita kenal lewat gelar Pangeran Diponegoro, meninggalkan banyak keturunan di Tondano, Sulawesi Utara. Keturunan Diponegoro ini telah berbaur budaya dengan masyarakat lokal lantas karib disebut Jaton, yakni akronim Jawa-Tondano. Sebagai tanda pembauran budaya itu, masyarakat Jaton kini menembang macapat justru bukan dalam bahasa Jawa, namun dalam bahasa Toulour. Dari Jaton inilah Remy Sylado menghadirkan kembali kisah Diponegoro lewat fiksi-sejarah. Dalam kisah Remy disebutlah nama Ratnaningsih, wartawan surat kabar Republik, yang rela datang ke Manado untuk merangkai kisah tentang keturunan di Diponegoro di Tondano. Di sana, di makam Kiai Mojo, Ratnaningsih bertemu dengan seorang kakek yang mengaku masih keturunan Diponegoro. Dari lisan kakek inilah kisah Diponegoro kecil dimulai. Oleh Sultan Hamengku Buwono I, pengasuhan Diponegoro diserahkan kepada istrinya, Ratu Ageng, yang memilih menyingkir dari wilayah Keraton Yogyakarta dan tinggal jauh di Tegalrojo, karena tak sepaham dengan anaknya, Hamengku Buwono II. Dari Ratu Ageng, Diponegoro kecil dibekali dengan beragam kebijaksanaan yang berasal dari ajaran Islam dan kebudayaan Jawa. Agar lebih fasih, Diponegoro didaftarkan sebagai santri di Perdikan Mlangi, di bawah asuhan Kiai Taptajani. Kala itu, Diponegoro berusia enam tahun. Baru dua tahun setelah itu ia menamatkan bacaannya pada al-Quran. Meski di kemudian hari dikenal sebagai seorang saleh, yang paham ihwal syariat dan mistisisme dari buku-buku babon kesarjanaan muslim, seperti Tuhfah al-Muhtaj li Syarh al-Minhaj karya Ibnu Hajar dan Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Gazali, Diponegoro juga khatam akan bacaan dari leluri Jawa, di sekitar suluk, primbon, dan babad. Tidak hanya itu, ia bahkan paham betul perihal beda antara suluk Jawa bagian pesisir, seperti Cirebon dan Tuban, dengan suluk Keraton. Dalam suluk Keraton, syariat dibajui nilai-nilai luhur kejawen. Sampai di sini, Remy Sylado memang pandai memilih tokoh kunci dalam novelnya. Lewat Diponegoro, Remy menjadi sangat leluasa memasukkan kesukaannya di sekitar isu silang budaya dan sejarah ke dalam karya-karyanya. Ihwal sejarah, misalnya, dengan menghadirkan tokoh Diponegoro, maka gambaran kondisi sosial-politik-ekonomi Jawa di masa penjajahan Belanda turut hadir di sini. Dengan membaca kisah Diponegoro, kita tidak saja tahu soal kesepakatan-kesepakatan Raja Jawa dengan pihak kolonial tetapi juga mafhum bahwa masa penjajahan Belanda yang mencapai tiga setengah abad di negeri ini bukan kerja Belanda semata. Ada kekuasaan Prancis dan Inggris yang juga bermain di sana. Demikian juga, kita pun tahu bahwa lema prek dalam bahasa Jawa, untuk arti yang sepadan dengan tidak peduli, diambil dari kata dalam bahasa Belanda, verrekt. Haruslah diingat, meski berlatar sejarah, kisah Diponegoro versi Remy Sylado ini, lagi-lagi, hanya fiksi semata. Mereka yang mengikuti karya Remy pasti terbiasa menemukan kalimat penekanan tentang arti penting membaca karya sastra. Kali ini, Remy menyampaikan penekanan itu lewat lisan Sultan Hamengku Buwono I. Begini Remy menulis: “Ingatlah ini, Cucuku, bahwa menjadi manusia yang utuh, sebagai citra teladan kerahmanan dan kerahiman ilahi, bukan hanya ditandai dengan sekedar cukup punya sandang, punya pangan, punya papan. Sandang, pangan, papan hanya merupakan kebutuhan lahir semata-mata. Sementara, manusia tidak terdiri dari daging, tapi juga roh. Olehnya, setelah sandang, pangan, papan, yang utama adalah punya sastra. Sastra merupakan kebutuhan batin… Yang tidak dipunyai hewan adalah sastra.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun