[caption id="attachment_197826" align="aligncenter" width="401" caption="Petani sedang panen singkong (Doc: ANTARA/Iggoy el Fitra)"][/caption] Mungkin bukan suatu rahasia lagi kalau masyarakat kita masih banyak yang menyukai singkong rebus, singkong goreng, combro, tempe goreng, mendoan dan berbagai jenis makanan lokal lain hasil derivasi dari bahan kedele dan singkong. Tapi ternyata bahan baku dari makanan lokal tersebut adalah hasil dari impor. Saya pikir cuma pizza, burger, muffin dan aneka chips yang merupakan hasil dari impor. Wah saya salah menduga selama ini!!!. Haruskah kita juga mengurangi konsumsi semua makanan kampung untuk mengurangi biaya impor dan menstabilkan harga? hehehhe. Tulisan ini terinspirasi dari tulisan mas Budi Hermana yang berjudul Cerita Anak Singkong Bermental Tempe. Sungguh selama ini saya sengaja mengurangi makanan jenis burger, pizza, KFC dan berbagai jenis makanan impor lainnya karena disamping harganya relatif mahal, juga ingin mengenalkan makanan lokal Indonesia kepada anak saya, Amri. Biar lidah dia menjadi terbiasa, siapa tahu hal ini bisa menjadi kenangan di masa yang akan datang. Teringat oleh ucapan Obama sewaktu beliau berkunjung ke Indonesia, "Saya suka emping, bakso, dan nasi goreng." Maka anak saya bisa menyebut yang lebih banyak lagi, hahahhaha. Lha sekarang dia bisa menyebut, "Saya suka tempe goreng, tahu goreng, singkong goreng, bakso, soto, gule, sayur kangkung dan lain sebagainya." karena dia bukan lagi anak keju bermental pizza. Begitulah komen Mas Icuk Suprayogi dalam lapaknya Mas Budi. Jadi selama ini istilah bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dan makmur itu hanya ada dalam lagu atau sekedar mimpi saja? Begitu juga istilah gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo, hanya sebuah kiasan dimana tanahnya yang subur dan daunnya lebat dengan warna kehijau-hijauan (ijo royo royo), tapi rakyatnya tidak atau belum makmur?. Akankah idealisme ini akan terwujud? Saya sendiri tidak tahu kapan tercapainya, tapi masih berharap memang. Namun melihat kenyataan dengan adanya data yang terbaru untuk bulan Juni 2012, ternyata impor kita mengalami defisit yang terburuk dalam 5 tahun terakhir ini, yakni sebesar US$ 1,32 miliar. Wow! that's scary. Makanya, neraca perdagangan kita sekarang ini berada di ambang bahaya, karena dalam 3 bulan terakhir ini, yakni April, Mei dan Juni 2012 ekspor kita terus mengalami penurunan, sedangkan impor sebaliknya kian meroket. Akibatnya dalam tiga bulan berturut-turut neraca perdagangan kita deficit. Menurut BPS, deficit perdagangan kita untuk bulan April mencapai US$ 64,7 juta, sedangkan untuk bulan Mei deficit perdagangan kita mencapai nilai US$ 485,9 juta. Namun, untuk bulan Juni 2012 inilah yang terburuk dalam 5 tahun terakhir ini. Konon penyebabnya adalah akibat turunnya permintaan di negara-negara mitra dagang utama Indonesia bersamaan dengan turunnya harga komoditas. Total expor kita untuk bulan Juni mencapai US$ 15,36 miliar, turun menjadi 16,44%, sementara impornya naik 10,71% menjadi US$ 17,04 miliar. Memang, berdasarkan data tersebut, neraca perdagangan sampai pertengahan tahun 2012 masih membukukan nilai surplus, tapi semakin tipis, kira-kira hanya US$476,2 juta, dengan total ekspor pada semester I 2012 mencapai US$96,88 miliar, sedangkan impornya mecapai US$96,41 miliar. Begitulah kira-kira kondisi kita sekarang, yang kemungkinan sampai akhir tahun bisa mengalami deficit dalam jumlah yang besar mengingat telah dibukanya lebar-lebar kran impor kedelai dengan bea masuk 0%. Saya yakin cepat atau lambat kedelai akan membanjiri pasar sampai akhir tahun 2012. Celakanya biarpun bebas bea impor harga kedelai hanya turun sekitar Rp 400, yang dalam hal ini sungguh tidak berarti. Pada saat yang sama petani kedelai mengalami persaingan yang sangat berat. Suatu solusi jalan pintas memang, tapi setelah itu apa?? Padahal masalah sebenarnya adalah rendahnya produksi lokal. Seharusnya dari sekarang pemerintah menyiapkan strategi jangka panjang, agar menjelang tahun 2014 kita bisa benar-benar bisa swasembada. Tapi kita memang sering terlambat dalam belajar. Dan kita baru beraksi dan semua merasa sibuk setelah ada kejadian, bukan malah mengantisipasinya lebih dahulu apa yang bakal terjadi. Hal ini dibenarkan oleh guru besar fakultas ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Ahmad Erani Yustika. Dia mengungkapkan bahwa problem perdagangan kita sebenarnya bersumber dari keterlambatan melakukan industrialisasi. Bahkan sejak 30 tahun yang lalu hingga hari ini komoditas yang kita perdagangkan praktis sama, hanya jualan bahan mentah dengan harga yang fluktuatif danserta minim keragaman. Sehingga harga barang produk yang kita jual atau ekspor sangat murah karena masih berupa bahan mentah. Sebaliknya saatnya kita membeli kembali barang yang kita butuhkan, tapi dengan bahan baku yang sama harga sudah berlipat atau sangat mahal, karena adanya nilai tambah (value added) dalam proses produksi. Bagaimana menurut Anda? Sekedar berbagi informasi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H