Sebenarnya saya tidak ingin mengulas masalah ini, takut sensitif. Tapi mungkin demi kebaikan kita semua, saya sedikit share cerita tentang anak saya (Amri) yang sekarang tinggal di New York, Amerika.Â
Saya sendiri tidak keberatan sama sekali anak saya pindah kewarganegaraan, bahkan mendukungnyanya 1000%. Alasannya, karena 10 tahun lebih tinggal di Indonesia, dia tidak mengalami perkembangan yang berarti.Â
Layaknya anak-anak yang bisa dengan bangga sekolah dan bercita-cita tinggi. Amri justru sebaliknya, pulang sekolah kelihatan capek dan terasa penuh beban di otaknya.Â
Saya sendiri malah yang sedih dan prihatin, karena dia sewaktu kecilnya kelihatan lincah dan cerdas. Eh tiba-tiba sekolah di Indonesia seperti tidak berdaya.Â
Saya tidak tahu apakah sistem pendidikan di Indonesia yang terlalu berat buat dia ditambah dengan kemampuan bahasa anak saya yang lemah. Yang kedua saya akui, memang iya.
Jadi setiap dia belajar malam hari terasa tertekan sekali, walaupun dia tetap belajar. Tapi rasanya cuma lewat saja tidak tahu apa yang dibaca.Â
Setiap menemukan kata yang sulit dan aneh menurutnya, pasti dia tanyakan, "What is that, mommy?" Itu terus yang dia tanyakan. Ada banyak kata-kata yang dia tanyakan setiap harinya. Maklum dia memang belum menguasai banyak kosa kata Indonesia. Jadi setiap ada ulangan atau test, saya tanya sepulang sekolah, "How's your test?", jawabnya selalu  "I don't know mommy,". Saya pun akhirnya menimpali, "It's okay. Don't worry".
Begitu juga nilai sekolah di tingkat SMP, sedikit B, banyak C dan hanya satu yang nilainya A, yaitu bahasa Inggris.  Untuk tingkat SMA, nilai tidak ada bedanya dengan tingkat SMP. Beberapa nilai B, sisanya C dan hanya 1 yang nilainya A, yaitu bahasa Inggris. Beruntung saya tidak pernah memasang target untuk hasil belajarnya. Jadi saya mensyukuri  hasil apapun  yang dia capai  dan itu sudah sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
Alhamdulillah, di dunia kerja dia justru bisa berkembang dengan baik, walaupun statusnya kontrak.  Dia sering berpindah kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya karena kontraknya habis. Tentunya bukan untuk posisi  yang tinggi ya, karena cuma lulusan setingkat SMA. Akhirnya waktu untuk  menganggur pun tidak ada.
Saya ikut bersyukur, bathin saya belajar tidak harus di bangku kuliah perguruan tinggi. Tapi belajar bisa dari mana saja, termasuk dari dunia kerja dan berinteraksi dengan banyak orang. Anggap saja waktu yang hilang buat kuliah di perguruan tinggi, dia pakai untuk bekerja. Saya tahu pendidikan formal masih sangat diperlukan, tapi biarlah dia belajar melalui jalur lain dengan melihat dunia nyata.Â