Membaca tulisan mbak Uli dalam Transportasi "Online", Solusi untuk Siapa? tanggal 25 Maret 2017 yang lalu membuat saya jadi membayangkan jauhnya perjalanan yang harus ditempuh setiap hari, baik pulang maupun pergi. Belum lagi dia ada keluarga yang harus diurus dan on top of that dia juga seorang blogger yang lumayan aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan offline maupun online (media sosial). Salut dengan kemampuannya membagi waktu  untuk dirinya sendiri, keluarga dan pekerjaan dan semangatnya dalam berjibaku di jalanan.
Wajarlah kalau keberadaan transportasi online sangat membantu mbak Uli dan memudahkan dalam mencapai tujuan, kemana saja dan  apa pun yang diinginkan. Bahkan boleh dibilang, apa sih yang tidak bisa diraih sekarang ini? Jarak sudah bukan masalah lagi. Sekarang macetnya jalan sudah sedikit bisa teratasi. Tentnya asal mau ngunduh aplikasi di smartphone, semuanya beres. Hasilnya, tidak cuma efisien, praktis, dan cepet. Harganya pun jauh lebih murah. Siapa yang tidak memilihnya? Begitulah kira-kira.Â
Ditengah kebahagiaan kita, ternyata ada sekelompok masyarakat yang dirugikan atau merasa tersakiti dengan keberadaan transportasi online ini. Alih-alih semuanya beruntung dan senang, tapi tidak bagi ojek pangkalan, angkot, bus Omprengan (Kopaja dan Metromini) serta taxi konvensional, mereka terluka, karena jatah penumpang yang biasanya naik atau menggunakan jasanya , sekarang turun drastis. Otomatis, penghasilan yang mereka peroleh juga turun.Â
Bagaimana mereka bisa menghidupi keluarganya? dan kenapa mereka tidak bergabung dengan transportasi online? Bagi Opang (Ojek Pangkalan) mungkin bisa, dengan mengunduh aplikasi di hand phone nya, jadilah mereka bergabung dengan . Tapi bagi pemilik angkot dan bus Omprengan, mereka merasa kesulitan untuk bergabung ke transportasi online. Satu-satunya cara yaa tetap bertahan dengan apa yang ada/miliki. Akhirnya resikonya sepi penumpang dan minim penghasilan, karena semua beralih ke transportasi online yang efisien, murah dan cepet responnya.
Belum lagi resiko angkot, dan bus omprengan adalah mereka suka ngetem seenaknya, banyaknya pengamen yang naik-turun dan seringnya tarif lebih mahal. Bahkan saya pernah melihat pengamen yang berbagi pil (narkoba) di bus omprengan. Saya sendiri sempat ketakutan melihat gelagat mereka, tapi apa yang bisa saya buat. Untung saya sudah hampir tujuan, saya buru-buru turun dan pergi menjauh. Sedangkan taxi konvensional, seringnya tarif jauh lebih mahal.
Alasan-alasan inilah yang membuat kita sering menggunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk beralih ke transportasi online. Sayangnya menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Syarkawi Rauf mendapat laporan adanya dugaan pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan oleh pengusaha taxi online. Berita selengkapnya bisa dibaca disini.
Dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah adanya dugaan tindakan predatory pricing yang dilakukan oleh sejumlah pengsaha taksi online. Yaitu dengan cara  memasang tarif yang sangat rendah yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha saingannya ataupun untuk mencegah masuknya pengusaha lain ke dalam pasar yang sama. Hal ini terlihat dari rendahnya tarif angkutan online yang dibanderol dengan harga murah, bahkan juga menawarkan berbagai promosi hingga perjalanan gratis.Â
Â
Berapa bulan belakangan, tarif angkutan online dibanderol dengan harga murah, bahkan juga menawarkan berbagai promosi hingga perjalanan gratis.Â
Menurut Syarkawi, KPPU tentunya siap menindak pelaku usaha apabila terbukti melakukan predatory pricing untuk menyingkirkan pesaingnya.Â
"Kami akan melihat bagaimana structure cost yang berlaku pada angkutan online, bagaimana para pengusaha ini bisa menetapkan harga yang begitu rendah," kata Syarkawi.Â
Terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2016, Syarkawi mengatakan, terdapat dua poin penting yang menjadi perhatian KPPU. Masing-masingnya yaitu, mengatur standar minimum untuk pelayanan terhadap konsumen atau penumpang dan pengaturan tarif batas atas.Â
Dia menjelaskan, adanya aturan standar pelayanan minimum dapat menjadi jaminan dalam memberikan keamanan dan kenyamanan kepada konsumen.Â
"Kalau untuk tarif, kami lebih setuju pengaturan batas atas dan tidak merekomendasikan ketentuan batas bawah. Sebab, kalau pengaturan batas bawah justru menjadi disinsentif bagi pengusaha serta dapat melemahkan kemampuan berinovasi," kata Syarkawi.
Ketentuan batas bawah tarif angkutan taksi konvensional dan online justru akan berdampak pada biaya transportasi mahal dan membuat kita sulit menurunkan ongkos transpor.Â
"Batas bawah tarif akan memaksa konsumen membayar biaya angkutan mahal. Hal ini sama saja membiarkan konsumen menanggung inefisiensi operator jasa transportasi," sesal Syarkawi.(rou/rou)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H