Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengukur Keberhasilan Seseorang Secara Materi (Tangible) vs Immaterial (Intangible)

5 Januari 2014   14:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13889066401983020294

[caption id="attachment_304062" align="aligncenter" width="528" caption="Health is Wealth (doc: humantargetonline.com) "][/caption]

Tulisan ini sekedar opiniku saja, yang tentunya bisa berbeda dengan yang lain. Namun semua itu wajar khan?, karena masing-masing dari kita adalah unik. Jadi silakan mempunyai pandangan yang berbeda. Yang penting kita tetap rukun-rukun saja. Setuju???.

Inilah hasil perbincanganku di hari libur tahun baru kemarin dengan salah satu dari saudaraku yang melihat kekayaan dari sisi yang berbeda. Aku lebih menyukai kekayaan yang tidak terlihat, sementara dia melihat kekayaan dari segi materi atau yang kasat mata. Bagaimana dengan Anda?

*******

Banyak orang terkesima dengan penampilan dan juga jabatan yang diembannya. Atau juga rumah (mewah) yang ditempatinya sebagai wujud dari suatu keberhasilan dalam bidang usaha/karier. Bisa juga dengan title nama dan gelar yang disandang, baik dibelakang maupun di depannya. Semua itu bisa membuat orang iri, apalagi kalau dilihat dulunya orang tersebut biasa-biasa saja. Namun setelah dewasa semua itu sudah melekat dalam tubuhnya.

Bagaimana menurut Anda, apakah ini sebagai suatu prestasi?, atau Anda melihat sebagai suatu hal yang biasa saja? Karena kita sering silau dengan gemerlapnya penampilan seseorang dari luar? Atau kita hanya sekedar sawang sinawang, yang selalu melihat rumput tetangga lebih subur dari milik kita sendiri?

Disisi lain katakanlah aku yang sudah pergi kemana-mana atau kasarnya melanglang buana, tapi sampai sekarang tidak mempunyai apa-apa secara materi. Terus apa yang kupunya dan apa yang bisa kubanggakan dari jerih payahku selama ini? Dimanakah kekayaanku itu berada? Embel-embel nama pun tidak kupunya. Karena nama yang tertera disana (dalam profileku) hanya sebagai ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis. Disisi lain orang mungkin akan melihatku justru sebagai orang miskin, yang tidak punya apa-apa. Karena rumah pun masih menyewayang isinya cuma sekedar barang/computer bekas. Namun anehnya aku masih ingin jalan-jalan dan kembali ke US lagi.

Terus dimanakah keberhasilan atau prestasi yang kumiliki? Harta atau kekayaan saja tidak punya. Pangkat atau jabatan apalagi. Boro-boro kendaraan pribadi, kemana-mana aku pergi pakai transportasi umum.

Itulah berbagai pertanyaan yang terselebung dari pikiran keluarga besarku dan saudara-saudaraku selama ini. Apa yang telah kudapat dari perjalananku selama ini? atau keberhasilan apakah yang sebenarnya sudah kuperoleh??? Apakah aku termasuk orang/produk yang gagal karena tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat secara nyata/kasat mata? Benarkah hatiku lebih bahagia dari mereka? atau justru mereka yang sudah bergelimangan materi, nama, gelar itu lebih bahagia?. Tentu karena mereka bisa membeli apa yang diinginkannya, kecuali untuk jalan-jalan di luar negara Asean. Keinginan yang terakhir ini masih belum menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.

Aku memang mempunyai pendidikan dan dulu juga pernah bersekolah di tempat yang bagus. Aku juga termasuk salah satu anak yang berprestasi di sekolah (dulu). Tapi mana buah dari semua hasil jerih payah yang kumiliki selama ini? Bagi mereka tentu tidak akan melihat kegembiraanku keliling Amerika, Mesir, China, Saudi dan jalan-jalan di Belanda. Yang mereka lihat adalah sekarang ini secara kasat mata, bahwa aku tidak mempunyai apa-apa, alias miskin secara materi.

Tapi dibalik semua itu, mereka tidak bisa melihat kekayaan yang tidak terlihat (kekayaan intangible) yang berupa pengalaman dan wawasan yang luas. Temanku yang banyak dan menyebar dimana-mana. Dua hal lagi kegembiraanku yang mereka tidak punyai adalah ketrampilanku berbahasa Inggris yang sampai sekarang masih digunakan untuk komunikasi dengan anakku dan sedikit ketrampilanku dalam dunia tulis menulis. Paling tidak untuk saat ini, ketrampilan menulis masih merupakan barang yang langka dalam keluarga besarku, baik dari keluarga besar Bapak atau Ibuku. Kalau mengenai bahasa, mungkin ada beberapa keluarga yang bisa multilingual, terutama bahasa Inggris dan Jepang, tapi mereka tidak  memraktekkannya di rumah.

Jadi siapa sebenarnya yang dikatakan kaya?. Maunya aku bisa memilih kaya dua-duanya, tapi paling tidak aku akan memilih kekayaan yang tidak terlihat. Kenapa? karena aku tidak takut kekayaanku dicuri atau dirampok oleh orang lain ketika aku sedang tertidur lelap. Disamping itu aku bisa dengan mudah membawanya kemana-mana ketika aku pergi. Jadi aku tidak perlu susah payah menjaganya dengan mengunci dan menyimpannya rapat-rapat. Walaupun aku tetap harus merawatnya. Karena semua kekayaanku sudah tersimpan di otak dan hatiku. Orang pun tidak akan bisa mencuri dan merampok kekayaanku kapan saja, kecuali maut yang menjemputku tentunya.

Bagaimana mau dicuri? Lha tidak ada yang bisa dicuri di rumah secara fisik kok. Karena kekayaanku sudah banyak yang tersimpan di otak, hati, pengalaman dan wawasanku. Semua itu telah mengantarkanku begitu percaya diri dan kuat dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan hidup yang kuhadapi. Itulah yang membuatku bisa tahan banting dalam berbagai seasons of life.

Mungkinkah aku termasuk manusia yang aneh?, karena tidak memikirkan kekayaan materi atau secara kasat mata. Bagaimana menurut Anda? Silakan dishare pengalaman dan saran-sarannya juga, siapa tahu kita mempunyai beda sudut pandang. Terima kasih,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun