Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dicari: Perempuan Legislatif yang Berkualitas dan Mempunyai Ide-ide Cemerlang

6 April 2014   05:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_318730" align="aligncenter" width="536" caption="Deklarasi Caleg Perempuan (doc: antaranews.com)"][/caption]

Sebagai orang yang berhak memilih, tentu penasaran siapakah calon yang pantas didukung. Tentunya sebelum memilih, saya ingin tahu siapa calon legislatifnya yang akan menyuarakan segala kepentingan rakyat untuk kemajuan bangsa, bukan untuk kepentingan sesaat. Makanya saya tidak ingin memilih legislatif seperti  memilih kucing dalam karung. Tahu-tahu yang didalamnya macan atau singa yang lebih ganas dan berbahaya.

Kini bukan saatnya lagi kita memilih calon legislatif hanya berdasarkan gelar, kecantikan, dan kekayaan semata. Tapi saya akan memilih caleg yang berkualitas, mempunyai track record yang bagus, mempunyai ide-ide yang cemerlang serta mampu menyuarakan hak-hak dan mengerti aspirasi warganya. Apalagi kalau kualitas itu ada pada seorang Caleg perempuan, maka ia pantaslah menjadi perempuan legislatif yang akan duduk di Senayan atau DPRD setempat. Diharapkan mereka mau mendengarkan suara rakyat, berjuang dan memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Tidak hanya mau tujuannya saja yang tercapai untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD.

Oleh karena itu masa kampanye sebenarnya sebuah proses dialog yang terbuka. Yaitu suatu dialog yang jujur antara warga dengan para caleg untuk menemukan siapa caleg yang sebenarnya. Bukan untuk memanipulasi dan memoles demi kepentingan diri sendiri. Menurut Robert Bala, ciri dari kampanye yang jujur ditandai oleh beberapa hal. Pertama, sumber dialog berasal dari lawan bicara, yaitu untuk menyerap aspirasi, bukan menyampaikan apa yang akan ‘dikerjakan’. Dengan caleg memiliki empati dan memerhatikan apa yang dikehendaki rakyat, maka rakyat/warga akan mudah menerima dan akan dengan senang hati untuk memberikan suaranya.

Kedua, kampanye itu harus memberikan rasa optimisme untuk melanjutkan kehidupan dan memahami tanggungjawab yang ada. Kalau caleg itu perempuan, maka diharapkan mereka bisa memberikan peran positif karena bisa menyuarakan lebih banyak permasalahan yang dihadapi ketika mereka duduk di DPR/DPRD.

Ketiga, dialog atau kampanye perlu berjiwa. Sebuah dialog akan dirasakan manfaatnya ketika yang ‘bermain’ adalah jiwa, yaitu ada usaha untuk saling memahami jiwa partner karena ingin menyuarakan nuraninya dan berharap agar suaranya didengarkan dan ingin menyuarakan nuraninya.

Apabila semua sudah dijalankan, tidak berarti semua perempuan yang masuk dalam daftar caleg berhati mulia. Hal ini terbukti dengan terjebaknya beberapa politisi wanita dalam kisaran korupsi menunjukkan bahwa hal itu tidak menjamin bahwa mereka lebih baik dari lelaki.

Tetapi yang pasti, kehadiran mereka yang seimbang, melalui dialog yang luwes dan terbuka, akan memungkinkan sebuah kontrol yang lebih kuat. Maka kehadiran perempuan memang sangat dibutuhkan di Senayan atau DPRD setempat. Hal itu tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan kesetaraan jender, kuota caleg perempuan dan memberikan wajah lebih sejuk. Tetapi apabila wanita ikut berkiprah, maka kemajuan akan bisa diraih. Hal ini karena secara alamiah, perempuan tidak akan berjuang untuk dirinya sendiri tetapi mereka ada untuk orang lain.

Memang tidak dapat dipungkiri keterlibatan legislatif perempuan dalam kasus korupsi, menjadi sebuah duri dalam daging. Itu menunjukkan bahwa kuota ternyata tidak memberi kontribusi positif. Walaupun keterlibatan beberapa perempuan dalam korupsi tidak menjadi alasan untuk menggeneralisir. Hal itu akan memberi kesimpulan yang sama karena perkara korupsi juga melibatkan banyak laki-laki.

Lalu mengapa pemberian kuota 30% mesti dipertahankan? Hal ini karena adanya kesadaran masa lalu yang penuh dengan diskriminasi menjadi salah satu pengalaman pahit. Dengan pemberian kuota menunjukkan sebuah ekspresi untuk menghilangkan kendala masa lalu. Kenyataan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga di Negara-negara lain, karena ada beban sejarah yang tidak bisa disangkal. Dengan cara pandang ini maka pemberian kuota sama sekali tidak mencederai prinsip kebebasan memilih. Justru menyadarkan bahwa pengalaman minimnya partisipasi itu disebabkan oleh pengalaman sejarah. Karena itu, perlu dibantu.

Sebaliknya dalam iklim demokrasi, pemberian kuota justru dianggap bertentangan dengan prinsip ‘equal opportunity’, artinya semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan karenanya tidak perlu ada yang ‘diprioritaskan’. Dalam perspektif ini, pemberian kuota dianggap tidak demokratis karena pemilih bebas menetapkan siapa yang akan menjadi wakilnya. Bukan karena ‘gender’ tetapi karena kualitas. Jadi menurut iklim demokrasi kehadiran caleg perempuan bukan sekedar formalitas untuk memenuhi kuota 30%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun