Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Sosok Sang Designer Kondang, Anne Avantie

26 April 2014   02:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 6830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_321409" align="aligncenter" width="529" caption="Numpang foto bersama Anne, sekedar narsis yaa, heheheh (doc: pribadi)"][/caption]

Terus terang saya tidak mengenal secara dekat dengan Anne Avantie. Yang saya tahu dia adalah seorang designer kondang. Namun pada hari Selasa yang lalu, tepatnya tanggal 22 April 2014 saya bertemu pada acara Talkshow "Kartini Pembawa Perubahan" yang dibawakan oleh beberapa narasumber diantaranya adalah Hera Laksmi (Indosat), Anne Avantie (Fashion Designer), Petty S. Fatimah (Femina), Jenny Lee (Dirut IC3) dan Sylvia Sumarlin (Praktisi TIK) dengan moderator Arzetti Bilbina. Acara ini diadakan dalam rangka  Penganugerahan Kartini Next Generation Award 2014 yang diadakan di Hotel Bidakara. Kebetulan saya sempat  bertemu dengan beliau dan berfoto bersama. Biasalah sekedar narsis dan mumpung ada kesempatan, hehehhe.

Dia berasal dari Semarang, Jawa Tengah, dan kini telah melahirkan karya-karyanya yang luar biasa. Di kampung halamannya yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota DKI Jakarta, perancang busana yang bernama lengkap Sianne Avantie itu menghasilkan busana-busana yang dikenal di dalam dan luar negeri. Namun ketenarannya tidak membuat perancang yang terkenal dengan koleksi kebayanya itu terbang tinggi. Dia tetap memilih menjadi sederhana.

Hal ini terlihat dari penampilannya yang tidak glamor seperti busana-busana rancangannya. Demikian juga dalam berbagai kesempatan, Anne hanya mengenakan atasan polos tanpa banyak detil dipadu dengan celana hitam. Dia juga setia dengan rambut aslinya yang lebih sering disanggul dan diselipi bunga kamboja. Dia mengatakan “Dari dulu penampilan saya tidak pernah berubah. Saya selalu seperti ini.” Sampai akhirnya suaminya (yang kedua) berucap bahwa "Anne paling gampang dicari kalau hilang, karena penampilannya itu-itu saja dan tidak pernah berubah."

Dia juga menuturkan bagaimana dia memulai karier yang sudah dijalani hampir 25 tahun itu, berawal dari nol. Dia benar-benar merangkak dari bawah. Bakat menjahit yang dia peroleh dari ibunya, Amie Indriati, dia asah secara autodidak di rumah kontrakan dengan modal dua mesin jahit. Dia kemudian membuka bengkel jahit sederhana yang diberi nama “Griya Busana Permatasari” dan menyewakan pakaian tari.

Dia mengungkapkan dalam acara talkshow nya, bahwa dia lahir sebagai anak ke-22 dari 24 bersaudara. Dan dia hanya sempat mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah pertama. Makanya dia pernah merasa lahir dari keluarga yang salah. Dia juga pernah merasa memiliki banyak keterbatasan dan pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan. Tapi dia tidak mau larut dalam keterpurukan.

Justru yang membuat dia bangkit adalah dia merasa sebagai perempuan yang luar biasa. Karena keterpurukan itu tidak pernah dia nikmati, begitu juga dengan segala kekurangan yang ada. Kenapa dia harus menganggap ini semua sebagai keterbatasan? Dia merasa tidak pernah terbatas dengan pendidikan yang terbatas.

Oleh karena itu yang menjadi tekadnya adalah dia tidak ingin melahirkan anak-anak yang nantinya ikut bermasalah, walaupun dia berasal dari keluarga bermasalah. Dia pun berjuang ingin menjadi perempuan berarti, yang tidak hanya menjadi designer saja. Dan yang membuat dia yakin adalah keinginan untuk berubah dan dia berhasil mengubah hidupnya. Akhirnya Anne Avantie memang sebagai perempuan biasa dengan segala kekurangan, tetapi mampu berkompetisi.

Setelah menjadi orang di belakang layar yang banyak membuat kostum penari dan berbagai busana malam, Anne mencoba mengadu nasib ke Jakarta bersama rancangan busananya. Kemudian melalui proses yang berliku, dia dikenal sebagai designer kebaya terbaik. Kebaya rancangannya tak hanya memikat penyuka fesyen di Tanah Air, tapi juga masyarakat internasional.

Kini banyak orang meniru hasil karyanya. Namun Anne tidak mau ambil pusing. Anne memilih jalan damai dengan para plagiatnya. Justru dengan berdamai dia bisa menginspirasi orang lain. Tidak perlu klaim kalau ini karyanya. Dia merasa kalau dia mematenkan karyanya, bisa-bisa dia setiap hari di kantor polisi karena dari Sabang sampai Merauke ada saja yang menjiplak karyanya. Itulah sebabnya dia memilih tidak peduli meskipun karyanya sering dicontek oleh orang lain dengan menyebutnya sebagai titik keikhlasan.

Berdamai dengan keterbatasan

Anne sudah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan. Keterbatasan justru menjadi cambuk untuk maju. Bagi Anne, karier sebagai seorang perancang busana tidak bisa diukur dari sebuah ijazah dan ijazah seharusnya tidak menghalangi kemampuan seseorang.

Oleh karena itu, dia menerima tukang jahit, tukang payet tanpa harus menyertakan ijazah. Karena karier fesyen seseorang tidak bisa dihalangi dengan hanya sebuah kertas. Bahkan dia tanpa rasa sungkan, menyebut dirinya tidak jauh dari kekurangan. Dia juga mengaku tidak lancar berbahasa Inggris dan tidak mengikuti kemajuan teknologi sehingga untuk menggunakan telepon pintar pun dia harus meminta bantuan asistennya.

Sehingga dengan celotehannya dia berucap “Kadang gaptek saya justru menjadi rem bagi saya untuk membatasi ruang gerak agar lebih nyaman dalam bergerak.” Uniknya dengan segala keterbatasannya terhadap perkembangan teknologi, justru membuat hasil karya Anne menjadi ekslusif dengan mempertahankan sentuhan tangan (handmade). Makanya produksinya tidak pernah terlalu besar, karena tanpa ada sentuhan teknologi. Tidak heran kalau hasil rancangannya mempunyai nilai yang tinggi (ekslusif)

Pantaslah kalau Anne masuk dalam kategori seorang seniman. Karena, kalau mau produksinya banyak, tentu dia bukan seniman. Tetapi pebisnis.

Anehnya dia mengaku tidak pernah dan tidak bisa membuat pola rancangan busananya. Semua idenya mengalir saat ia bereksperimen langsung pada bahan. Awalnya dia merancang busana dengan memasang bahan pada patung. Di situlah kemudian imajinasinya mengalir, menuntun tangan terampilnya menggunting serta menambahkan manik-manik dan detil lain pada karya busananya.

Makanya dia menyebut dirinya sebagai fashion designer alami, autodidak. Dia memiliki energi, yang mengalir dan yang menjadi modal utama. Kemudian dia merespon energi dirinya untuk melakukan sesuatu.

Aktivitas sosial

Anne tidak hanya berkutat dengan dunia fesyen yang membesarkan namanya. Tahun 2002, ia mendirikan rumah singgah bernama Wisma Kasih Bunda yang berkolaborasi dengan Rumah Sakit St. Elizabeth Semarang. Wisma Kasih Bunda yang awalnya diperuntukkan bagi penderita hydrocephalus, kini juga memberi bantuan kepada penderita tumor, labiopalataschisis atau bibir sumbing, membantu bayi yang menderita atresia ani (tanpa anus), bayi yang mengalami cacat bawaan kaki dan tangan, leukimia, dan thalassemia untuk dioperasi.

Ia juga aktif memberikan pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan kepada berbagai kalangan, yang kemudian membuat dia mendapat penghargaan Kartini Award dan Indonesia Woman Able. Dia juga menghabiskan sebagian besar waktunya di Semarang, dan tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri, memasak di rumah dan berkumpul dengan keluarga.

Ia hanya pergi ke Jakarta setiap Sabtu dan Minggu. Menariknya, dia selalu bepergian dengan menggunakan kereta api, karena dia takut naik pesawat. Tapi dia tidak menganggap rasa takut itu sebagai keterbatasan. Dia justru bersyukur karena keterbatasan itu membuatnya selalu berada dekat dengan keluarga.

Anne juga bersyukur dua anaknya sukses menjalani profesi pilihan mereka, meski tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Anak pertamanya Intan Avantie meneruskan jejaknya menjadi desainer dan anak keduanya Ernest Christoga Susilo sudah menjadi koki ternama. Dia mohon doanya agar anak ketiganya Ian Tadio Christago Susilo yang atlet basket bisa mempersembahkan ijazah SMA untuknya karena sampai sekarang dia  belum pernah melihat ijazah SMA.

Dan sebagai penutup, Anne diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata oleh moderator, Arzetti Bilbina. Dia mengatakan bahwa “Lebih baik Gagal Menjadi Istri Daripada Gagal Menjadi Ibu”.

Jadi gagal dalam suatu pernikahan, berasal dari keluarga yang bermasalah, maupun pendidikan yang sangat minim, tidak membuat dia menjadi bermasalah. Justru semua itu membuat dia bangkit, karena dia merasa sebagai perempuan yang luar biasa.

Wow! benar-benar menginspirasi sepak terjangnya. Bagaimana kawan? Sekedar berbagi, semoga kita bisa belajar dari semangat dia untuk bangkit.

[caption id="attachment_321410" align="aligncenter" width="529" caption="Saat acara Kartini Next Generation 2014 belum dimulai (doc: mbak Novi)"]

13984297141462478866
13984297141462478866
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun