Mohon tunggu...
Nunung Dwi Nugroho
Nunung Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Editor - Est 1992

Est 1992

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Sosial Sebagai Sarana Perubahan -------- Geliat Aktivisme Generasi Muda Dalam Media Baru: Mengubah Indonesia Melalui Petisi Online change.org

24 Oktober 2014   09:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:55 3010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Patologi Generasi Muda Kontemporer: Apatis dan Apolitis

Begitu banyak stigma yang melekat jika kita menyebut istilah pemuda. Karakter yang terkesan urakan, tidak memiliki masa depan, sering tawuran, pengguna minuman keras dan narkoba sering dilekatkan pada kaum muda bangsa ini. Degradasi moral sering diperlihatkan dengan tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh pemuda, angka hamil di luar nikah, tawuran, dan lain sebagainya. Ketergantungan pada gadget dan internet, maraknya gejala “anti sosialjuga menjadi penyakit yang enggan lepas pada generasi muda saat ini. Banyak sisi negatif yang otomatis terlontar jika kita berbicara tentang generasi muda saat ini.

Kata apatis juga pantas disematkan pada sebagian besar pemuda bangsa ini. Melihat kondisi perpolitikan bangsa yang memburuk dan tidak kunjung berbenah, generasi muda menjadi kian apatis dan semakin enggan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan politik. Angka golput dalam pemilu juga menunjukkan nada yang serupa. Minimnya kader partai yang berkualitas dan berhasil membuat para pemuda “jatuh hati”, membuat angka golput di kalangan pemilih muda masih cukup tinggi. Selain itu, merosotnya citra partai politik yang seharusnya bisa menjadi wadah aspirasi juga kurang mendapat kepercayaan dari kaum muda sebagai akibat sejumlah kasus yang yang terjadi, membuat pemilih muda seolah apatis terhadap pelaksanaan pemilu.

Generasi muda Indonesia saat ini pun terjebak pada kegelisahan terhadap situasi sosial politik bangsa. Ada yang terus maju, ada yang mengikuti arus, namun ada pula yang ikut tercebur dalam drama politik partai-partai yang mengutamakan arogansi dan pragmatisme kekuasaan dan tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap bangsa ini.

Namun di tengah situasi yang terjadi, generasi muda seharusnya dihadapkan dalam realita dimana dirinya tidak ditempatkan dalam ruang hampa yang terkesan apatis terhadap kondisi yang tengah melanda bangsa ini. Generasi muda Indonesia perlu bergerak di dalam arena dan ruang-ruang yang dimiliki dan disukai. Pergerakan pemuda melalui media yang sedang digandrunginya, penulis kira bisa membawa angin segar dalam percaturan sisi politik dan sosial bangsa guna mewujudkan cita-cita Indonesia yang lebih baik lagi. Lalu bagaimana cara agar pemuda bisa bergerak di dalam arena dan ruang-ruang yang dimiliki dan disukai dankembali ke dalam track-nya sebagai agen perubahan bagi bangsa?

***

Generasi Muda Sebagai Agen Perubahan Bangsa

Momentum dideklarasikannya Sumpah Pemuda puluhan tahun lalu membuktikan bahwa pemuda Indonesia pada dasarnya sempat berperan signifikan dalam upaya perjuangan merebut kemerdekaan. Dahulu, pemuda Indonesia pernah bersatu dalam memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan, setelah negeri ini merdeka pun, pemuda terus berjuang untuk memberantas ketidakadilan dalam rangka memperjuangkan hak rakyat Indonesia. Salah satunya adalah gerakan reformasi 1998 yang dipelopori oleh kaum mahasiswa.

Pemuda Indonesia saat ini tentu tidak bisa lepas begitu saja dalam setiap pergerakan melawan ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat Indonesia.  Pemuda, sebagai agen dari suatu perubahan (agent of change) dituntut untuk mengubah keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, seperti upaya mengubah ketidakberpihakan keputusan pemerintah terhadap masyarakat dan mereka menjadi jembatan penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Generasi muda, seharusnya mampu membantu perjuangan dalam membangun Indonesia untuk menjadi lebih baik, karena generasi muda merupakan harapan suatu bangsa karena mereka nantinya yang akan meneruskan perjuangan bangsa.

Para pemuda pada masa yang lalu rela turun ke jalan demi memperjuangkan hak rakyat akan kebebasan. Gerakan reformasi 1998 menjadi catatan perjuangan generasi muda dalam memberantas ketidakadilan dan kejahatan sosial. Akan tetapi, generasi muda sekarang ini banyak yang sudah apatis. Mereka sudah tidak peka lagi terhadap permasalahan sosial yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan untuk berorganisasi pun mereka sudah tidak mau dengan alasan akan menghambat aktivitas pokok mereka seperti sekolah dan kuliah. Padahal, zaman dulu mahasiswa berjuang dengan keringat dan darahnya demi memberantas ketidakadilan. Generasi muda yang tidak respon terhadap permasalahan masyarakat bisa dikatakan bukan pemuda seutuhnya. Mereka belum sepatutnya dipanggil dengan gelar pemuda, karena pemuda sendiri seharusnya adalah generasi penyambung lidah masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.

Media Sosial Sebagai Sarana Perubahan

Bicara tentang pemuda, maka pembicaraan kita tentu tidak bisa dilepaskan dengan apa yang sedang digandrungi oleh sebagian besar pemuda bangsa saat ini. Pemuda yang menenteng laptop, memakai gadget terbarunya untuk terkoneksi ke dunia maya dimana saja dan kapan saja untuk mengakses media sosial khususnya, menjadipemandangan yang lazim kita lihat.

“Media sosial adalah media yang didesain untuk memudahkan interaksi sosial, yang bersifat interaktif. Media sosial berbasis pada teknologi internet yang mengubah pola penyebaran informasi dari yang sebelumnya bersifat broadcast media monologue (satu ke banyak audiens) ke social media dialogue (banyak audiens ke banyak audiens). Media sosial juga mendukung terciptanya demokratisasi informasi dan ilmu pengetahuan, yang mengubah perilaku audiens dari yang sebelumnya pengonsumsi konten beralih ke pemroduksi konten.”

Keberadaan media sosial sendiri adalah salah satu fenomena yang sedang melanda sebagian besar kalangan pemuda Indonesia. Jejaring sosial layaknya Facebook, Twitter, dan berbagai aplikasi untuk chatting seperti LINE, BlackBerry Messenger, WhatsApp, dan lain sebagainya menjadi fenomena dan bagian tak terpisahkan bagi kalangan muda kita.

“Indonesia is crazy about online social networking..., but all the Tweeting, texting, and typing is not just for fun. It is also being used as a tool for change.” (Sara Sidner, 2010)

Kemudahan mengakses internet sebagai bagian tak terpisahkan dari dampak globalisasi tentu juga menyerang negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Indonesia sendiri menurut data yang ada adalah sebuah negara yang menurut data memperlihatkan bahwa 90% pengguna internetnya mengakses situs sosial media. Indonesia sendiri menjadi negara terbesar ketiga yang mengakses Facebook dengan 43 juta pengguna, dan disusul pengguna Twitter yang mencapai 29,4 juta pengguna.

Media sosial pada dasarnya memiliki peran penting dalam upaya menyebarkan pesan politik, memfasilitasi interaksi dan transaksi politik dan mampu membangun pengetahuan tentang berbagai isu politik yang kian berkembang. Terkait hal tersebut, media sosial juga bisa menjadi medium baru terkait pembentukan identitas kolektif yang bisa diakumulasikan guna mencapai suatu gerakan yang diharapkan bisa mencapai perubahan dalam masyarakat. Melalui internet, kita bisa membagikan sesuatu di media sosial layaknya berada di dalam arena yang bebas intervensi. Kita bisa saja menuangkan gagasan tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan media sosial, kita bisa saja menuliskan semua hal yang ada dalam pikiran kita ke arena publik; bebas, dari mana dan kapan saja. Tak hanya dilihat sebagai sarana berkomunikasi dan ajang bertatap muka via dunia maya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir penggunaan media sosial juga meluas hingga ke dalam ranah mobilisasi massa dan pengumpulan opini masyarakat.

Dalam ranah mobilisasi massa misalnya, pikiran kita segera kembali pada kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang menimpa Prita bisa segera meluap dan memobilisasi massa dengan cepat berkat adanya kekuatan internet dan media sosial. Media sosial dipercaya bisa menjadi media yang murah untuk mengumpulkan massa, atau dalam tahap ini adalah tahapan menggalang dukungan, sebelum akhirnya kampanye itu diwujudkan dalam aksi nyata. Sebut saja beberapa kegiatan yang berawal dari media sosial, seperti banyaknya gerakan-gerakan sosial yang merupakan inisiatif anak-anak muda seperti IDBerkebun, Akademi Berbagi maupun Coin A Chance!. Adapun gerakan-gerakan sosial yang ada di dalam sosial media bisa digolongkan dalam bentuk gerakan sosial baru yang kian bisa memobilisasi massa guna mencapai tujuan sosial. Dalam jurnalnya, salah seorang mahasiswa di Arizona State University, Merlyna Lim yang mencoba menganalisis terkait sosial media di Indonesia dan mengemukakan bahwa “…social media activism can be successful in mobilising mass support by embracing simplified narratives, popular symbols, and low risk activities.”

Perubahan Melalui Gerakan Sosial Baru

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapai suatu perubahan adalah dengan melakukan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial pada umumnya bisa disebut sebagai suatu gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah karena kebijakan yang diberikan oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat ini atau bisa saja kebijakan yang ada bertentangan dengan kehendak sebagian besar masyarakat. Untuk mewujudkan suatu tindakan kolektif yang bisa membawa ke arah tercapainya tujuan, tentu dibutuhkan sebuah strategi khusus salah satunya adalah dengan melakukan adalah proses framing.

Gerakan yang dilakukan melalui social media termasuk sebagai new social movement. New social movement atau gerakan sosial baru dipahami sebagai suatu tipe gerakan sosial yang memiliki tampilan karakter yang baru bahkan unik. Gerakan ini lebih berpusat pada tujuan-tujuan non material dengan menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi (Nash, 2005).Dengan penekanan pada isu-isu spesifik yang non-materialistik, gerakan sosial baru tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Gerakan sosial baru juga umumnya lebih memilih saluran diluar politik normal, menerapkan taktik yang mengganggu (disruptive), dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik. Aktivis gerakan ini juga mempergunakan bentuk-bentuk demonstrasi yang sangat dramatis dan direncanakan matang sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi simboliknya (Suharko, 2006).

Dari segi struktur, gerakan sosial baru mengorganisasikan dirinya dalam gaya yang mengalir dan tidak kaku untuk menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka menyerukan dan menciptakan struktur yang lebih responsif kepada kebutuhan individu, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan non-hierarkis. Partisipan gerakan sosial baru ini berasal dari basis sosial yang melintasi kategori-kategori sosial seperti gender, pendidikan, okupasi dan kelas; berbeda dengan gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marginal dan teralienasi (Suharko, 2006). Secara umum, gerakan sosial baru menampakkan wajah gerakan sosial yang plural; yang terpantul jelas melalui bentuk-bentuk aksi gerakan sosial baru yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan menyuarakan aneka kepentingan. Area aksi-nya juga melintasi batas-batas region, dari aras lokal hingga internasional, sehingga strategi dan cara mobilisasinyapun bersifat global. (Singh, 2001).

Dalam upaya mewujudkan perubahan melalui gerakan sosial via media sosial, pembentukan identitas kolektif menduduki posisi yang amat penting dalam upaya memobilisasi dukungan. Hal tersebut karena:

a. Identitas kolektif dapat digunakan untuk melegitimasi ide-ide sosial politik tertentu yang ditawarkan (legitimazing identity)

b. Identitas kolektif digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan dan program kekuatan politik yang diusung oleh rival politik (resistance identity)

c. Identitas kolektif digunakan sebagai alat untuk merumuskan kembali ide-ide yang diharapkan bisa diderivasi menjadi kebijakan dan program-program yang lebih efektif dan efisien yang bisa memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat (project identity).

Bila dalam teori tradisional tentang pengerahan sumber daya dinyatakan bahwa untuk membuat dan mengerahkan massa dalam suatu pergerakan sosial membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini, internet telah membalikkan perahu teori tersebut. Dengan bantuan internet (dan media-media sosial), mengorganisir dan mengerahkan massa tidak lagi membutuhkan biaya yang besar (meskipun mungkin tidak bisa dikatakan tanpa biaya samasekali). Oleh sebab itulah saat ini dapat kita jumpai dengan mudah berbagai bentuk penggalangan solidaritas dan massa melalui media sosial, seperti melalui Facebook, Twitter, dan lain sebagainya.

Aktivisme Generasi Muda dalam Petisi Online (change.org)

Peran internet dan sosial media dalam proses perubahan kini makin menunjukkan batang hidungnya. Keberadaan Petisi Online melalui situs http://www.change.orgmisalnya. Melalui situs yang digagas oleh Ben Rattray, pria berkebangsaan Amerika Serikat ini, semua orang, baik secara individu maupun komunitas, bisa ikut serta dalam membuat suatu perubahan melalui kampanye sosial di petisi online. Change.org sendiri adalah platform petisi terbesar di dunia, dimana terdapat lebih dari 40 juta pengguna Change.org di 196 negara, dan setiap hari orang menggunakan petisi dalam situs ini untuk mentransformasi komunitas mereka baik secara lokal, nasional dan global. Akhir tahun 2013 saja, pengguna change.org di Indonesia sudah mencapai 71.000 pengguna aktif. Change.org adalah platform sosial untuk perubahan. Change.org bisa digunakan oleh siapa saja, mempersilakan siapa saja yang ingin membuat petisi, apapun topiknya. Namun, jika ada isi petisi yang menyangkut kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), biasanya akan dimoderasi terlebih dahulu oleh administrator yang bersangkutan.

Adanya petisi online ini menunjukkan bahwa aktivisme juga bergerak dari tradisional ke medium baru (online). Semua orang yang terhubung dengan internet kini dapat saja ikut serta dan terlibat secara aktif dalam mengawasi dan mengkritik jalannya kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Keberadaan petisi online membuat pengguna sosial media berusia muda lebih kerap menggunakan alat ini untuk berpartisipasi menjadi suatu bagian dari warga negara.

Petisi sendiri adalah sebuah jalan untuk mencapai suatu perubahan. Petisi adalah jalan tengah berupa semacam tuntutanyang ditujukan untuk para pengambil kebijakan yang “ditandatangani” oleh para pendukung gagasan tersebut. Melalui situs change.org, setiap orang memiliki kekuatan untuk terkoneksi dengan lebih banyak orang, dan memiliki kekuatan pula untuk membuat banyak perubahan daripada sebelumnya. Change.org tidak melakukan advokasi atas sebuah kampanye yang menuntut perubahan. Change.org hanya menyediakan wadah kepada para penggunanya. Jika tuntutan si pembuat petisi dan para pendukungnya berhasil dicapai, ini adalah kemenangan mereka.Dalam menyampaikan petisi, seseorang harus cermat menentukan tuntutan dan target orang yang ingin dipetisi. Kasus yang menyangkut kepentingan nasional dan hak asasi paling mendapat banyak dukungan.

Bagaimana petisi online bekerja? Dalam situs resminya, change.org menganalogikan bahwa seorang pemangku kebijakan adalah seorang pemilik perusahaan, yang dalam kesibukannya tiba-tiba mendapatkan ribuan email dari koleganya yang meminta sang pemilik perusahaan untuk menggunakan supplier yang berbeda dalam pembuatan produknya, demi terciptanya produk baru yang lebih berkualitas dan diminati pasar. Seberapa cepat sang pemilik perusahaan bertindak jika dituntut sedemikian masif oleh koleganya? Hal itulah yang coba diadaptasi oleh change.org untuk mensukseskan apa yang diinginkan sang pembuat petisi.

Menekan melalui ribuan tuntutan yang masuk melalui email. Itulah keunikan saat membuat suatu petisi online melalui change.org. Saat kita menentukan sebuah alamat email sebagai target kita, setiap saat seorang pendukung “menandatangani” petisi yang kita buat, maka sebuah email akan secara otomatis terkirim kepada target yang memuat dukungan terhadap petisi guna menekan sang target. Lembaga pemerintahan, perusahaan maupun individu akan sangat menjaga reputasinya dan akan merasa bertanggungjawab kepada lingkungan sekitar, konstituen maupun pelanggan mereka. Ketika ratusan bahkan ribuan email berdatangan ke dalam kotak masuk email mereka, maka pesan-pesan ini akan sangat sulit untuk diabaikan.

Tim yang bekerja pada change.org pada dasarnya telah melakukan studi terkait keberhasilan petisi online. Adapun menurut situs ini, keberhasilan sebuah petisi memiliki beberapa elemen penting yang melingkupinya, antara lain adalah:


  • Tujuan yang menarik dan realistis untuk dicapai
  • Petisi tersebut disampaikan langsung pada pengambil keputusan
  • Mempelajari cara bicara kepada pengambil keputusan
  • Mempelajari cara mempromosikan petisi yang dibuat.

Media sosial sendiri memiliki peran yang begitu besar dalam upaya menggalang dukungan atas petisi yang telah dibuat. Facebook, Twitter dan komunitas online lainnya makin mempermudah penggalangan dukungan atas petisi yang dibuat tanpa harus melalui cara door to door. Pencipta petisi yang sukses tentu mampu memanfaatkan kekuatan internet untuk mempromosikan kampanyenya.

Perubahan Kebijakan Melalui Petisi Online change.org

Kampanye lewat media sosial terbukti dapat menghasilkan perubahan. Media sosial digunakan untuk tempat berkumpul virtual dan secara tak langsung dapat memobilisasi massa yang memiliki tujuan sama. Tentu hal ini tidak semata karena rakyat melakukan petisi secara online, namun ada kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak pemerintah atau pembuat keputusan agar memenuhi apa yang diinginkan rakyat.

Di Indonesia, change.org banyak membantu beberapa perubahan dalam masyarakat. Cukup banyak petisi online yang berhasil menciptakan perubahan, baik itu dalam ranah lokal maupun nasional. Misalnya saja sosok Hasna Pradityas, pemudi asal Tangerang Selatan yang mengajukan petisi kepada Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten) dan Airin Rachmi (Walikota Tangerang Selatan). Hasna menuntut diperbaikinya Jalan Raya Muncul, yang berlokasi di daerah Serpong yang kondisinya sudah memprihatinkan dan rusak parah akibat dari banyaknya kendaraan-kendaraan bermuatan berat yang melewati jalan ini. Jalan ini rusak dan semakin parah tiap harinya. Keadaan ini sudah lama di biarkan oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan yang seharusnya memberikan perhatian pada jalan utama ini karena hampir semua kendaraan bermuatan berat antar provinsi ini beralih ke jalan ini. Hingga pada akhirnya Hasna membuat petisi di change.org dan sekitar tiga bulan setelah petisi dimulai, jalan Muncul akhirnya diperbaiki dan sudah kembali layak untuk dilewati. Sebanyak 221 tandatangan terkumpul dan sebanyak 221 email pula diterima oleh Ibu Walikota dan hingga akhirnya beliau membahas masalah kelanjutan akan petisi ini di kantornya.

Hal serupa juga terjadi dengan petisi yang dipelopori oleh jaringan KuaLa. Jaringan KuaLa sendiri adalah sebuah jaringan yang beranggotakan sejumlah LSM yang memiliki fokus kerja terkait pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Aceh. Jaringan ini mencoba menghentikan jual-beli online asesoris yang terbuat dari bagian tubuh penyu dengan memberikan petisi pada manajemen toko online, Tokobagus.com.

“..namun saya prihatin jika ternyata Tokobagus.com juga memberi ruang dan kesempatan adanya jual beli bagian dari tubuh penyu, yang diketahui bahwa semua jenis penyu adalah dilindungi berdasar undang-undang dan populasi dan eksistensinya menurun drastis akibat banyak ancaman, terutama kegiatan perdagangan satwa dilindungi dengan segala bentuk dan tujuan yang kurang bijak. Ini mengindikasikan bahwa Tokobagus.com it’s not truly good!..

Setelah petisi tersebar luas dan ditandatangani oleh banyak pihak, maka dapat diduga, keberhasilan berada di pihak mereka. Akhirnya pihak Tokobagus.com berkenan mereview dan menghilangkan sejumlah tautan iklan yang terindikasi menjual bagian tubuh satwa yang dilindungi. Dan adapun beberapa gerakan menarik lain yang sukses pasca dilecutkannya petisi online antara lain:

1. www.change.org/Daming

Petisi yang digagas oleh Melanie Subono atas keresahannya terhadap candaan yang dilontar oleh calon hakim agung, M. Daming yang tidak pada tempatnya. Daming sempat melontarkan candaan, “…yang memperkosa dan diperkosa sama-sama menikmati kok.” Melani segera membuat petisi dan meminta dukungan dari banyak pihak. Petisi ini tercatat sukses menggalang 11.018 suara dukungan. Termasuk pula dari media sosial dan juga media massa seperti Tempo, Kompas, Jakarta Post hingga LA Times Amerika dan Spiegel Jerman. Akhirnya tidak satu pun anggota Komisi III DPR RI mendukung Daming.

2. www.change.org/SupportSaidah

Adalah seorang Cucu Saidah, ia pelanggan setia maskapai penerbangan Garuda. Sayang keterbatasan fisik yang ia miliki membuat dirinya mesti menandatangani surat pernyataan setiap naik pesawat. Merasa mendapatkan diskriminasi, Cucu mmembuat sebuah petisi yang sukses didukung oleh 1761 suara. Tak lama Garuda segera menyampaikan permintaan maaf dan langsung menggubah pelayanan bagi penyandang disabilitas.

3. www.change.org/DukungTrian

Trian, seorang pria tuna netra terpaksa urung membuat rekening di bank BCA alasannya karena ada kebijakan di bank tersebut yang cukup mempersulit nasabah tuna netra untuk menjadi nasabah BCA. Sebanyak 4187 suara terkumpul untuk mendukung petisi. Hal tersbeut tidak sia-sia karena BCA telah mengubah kebijakan untuk pelayanan nasabah tuna netra.

4. www.change.org/SaveBaksil

Ekosistem hutan kota Babakan Siliwangi yang terletak di kota Bandung terancam saat walikota Dada Rosada mengizinkan PT Esa Gemilang Indah untuk mendirikan bangunan komersial. Hal tersebut mengusik Iyo dan Abah dari Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi untuk menggalang penolakan. Lebih dari sekadar petisi. Petisi yang berhasil mengumpulkan 8000 suara dilengkapi dengan arak-arakan warga. Berbuah manis, Dada Rosada pun selanjutnya menarik kembali izin yang sudah ia berikan kepada PT EGI.

5. www.change.org/SaveMaster

Sekolah MASTER atau Masjid Terminal di Depok bertahun-tahun membina sekitar 3000 anak jalanan dan semuanya tanpa dipungut biaya. Sayangnya masterplan Pemkot Depok terindikasi memiliki program mengubah sekolah menjadi terminal terpadu, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Lagi-lagi lewat pengajuan petisi, sekolah Master mendapat jaminan bahwa Pemkot Depok membatalkan penggusuran terhadap sekolah tersebut.

6. www.change.org/SaveMangrove

Sebanyak 4309 suara berhasil terkumpul untuk menolak adanya program bertujuan komersil yang dilakukan oleh Gubernur Bali dengan pihak PT Tirta Rahmat yang melibatkan kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang merupakan benteng terakhir pesisirdari abrasi di selatan Bali. Gerakan ini digagas oleh sekumpulan orang di bawa ‘Kekal Bali’.

Potensi petisi online dalam menciptakan perubahan seperti dicontohkan dalam berbagai kasus diatas membuktikan bahwa petisi online juga bisa menjadi wadah aspirasi dan penggalangan dukungan yang efektif dan efisien. Dari situ juga terlihat bahwa kaum muda baik secara individu maupun komunitas mampu membuat perubahan melalui kampanye sosial di change.org. Terlihat bahwa pemuda juga bisa terlibat bahkan mempelopori adanya perubahan di lingkungannya maupun scope yang lebih luas. Tak harus melakukan kegiatan yang kaku dan bersifat formal, namun sosial media memudahkan mereka untuk menggalang dukungan terkait apa yang menjadi keinginan dirinya maupun publik secara luas. Keberadaan media sosial seperti facebook dan twitter semakin mempermudah untuk menarik perhatian publik. Tak hanya menjadi ajang pamer dan menggosip, ini membuktikan bahwa media sosial juga bisa dipakai untuk mewujudkan suatu perubahan.

Menilik Efektivitas Gerakan : Perbandingan Pola Gerakan Petisi Online dengan Gerakan Sosial Lama dan Gerakan Media Sosial Lainnya

Dari paparan diatas tentu terlihat jelas perbedaan antara gerakan sosial konvensional dengan gerakan sosial baru yang dilakukan melalui petisi online. Secara lengkap, perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini:

No

Old Social Movement

Gerakan Petisi Online

1

Gerakan muncul dari kalangan well-educated people yang merasa ada penindasan dari sisi ekonomi

Muncul dari siapa saja yang concern dengan isu yang diangkat

2

Untuk mencapai perubahan terkait dengan ketimpangan dari sisi ekonomi

Tujuan tak hanya untuk mencapai perubahan, tapi juga bisa untuk melakukan pembelaan terhadap individu atau kelompok tertentu yg mengalami penindasan

3

Terkait isu ketimpangan ekonomi

Isu-isu kontemporer: HAM, lingkungan, SARA, gender, dan lain sebagainya

4

Lokus: terpusat pada satu titik lokus tertentu

Lokus: bermacam lokus, tidak terpusat pada satu titik

5

Taktik konvensional : menggunakan kekerasan, demo anarkis, aksi fisik

Taktik non konvensional : penggunaan social media, internet, menghindari kekerasan

6

Partisipan adalah orang-orang yang tersubordinasi secara ekonomi

Partisipan melintasi batas-batas kategori sosial, lintas kelas sosial

Berbicara gerakan sosial “online” di Indonesia, seringkali dikaitkan dengan gerakan sosial dalam kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional yang begitu fenomenal yang terjadi pada pertengahan tahun 2008. Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga. Pada tanggal 7 Agustus 2008, ia menjadi pasien dari Rumah Sakit OMNI Internasional. Seperti ditulis di portal TVOne, Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui pesan terbatas di email kepada teman-temannya, namun kemudian email tersebut tersebar. Pihak rumah sakit, tidak menerima sikap Prita dan kemudian mengajukan gugatan pencemaran nama baik ke kepolisian.

Kepolisian mengenakan Pasal 310 dan Pasal 311 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik kepada Prita namun saat kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, dakwaannya ditambahkan dengan Pasal 27 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Dengan dasar itulah, Prita yang memiliki dua anak berusia di bawah lima tahun kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Tangerang.

Namun justru dari situlah sebuah perlawanan dimulai. Para pengguna internet menggalang solidaritas di dunia maya. Dukungan terhadap Prita Mulyasari di sebuah cause di Facebook meningkat tajam. Hingga kini tidak kurang 389.000 Facebookers menjadi pendukung Prita Mulyasari. Dukungan tidak berhenti di situ. Saat Prita Mulyasari diancam denda dalam kasus melawan RS OMNI Internasional itu, para blogger kembali membangun solidaritas masyarakat untuk mengumpulkan koin keadilan untuk Prita. Gerakan mendukung Prita Mulyasari pun diperbesar dengan pemberitaan berbagai media mainsteram.

Seperti ditulis oleh kompas.com, Bank Indonesia dan Bank Mandiri kini mengumumkan hasil jumlah koin sebesar Rp 615.562.043 pada Rabu (30/12/2009), di Bank Indonesia, Jakarta. Hasil ini merupakan gabungan dari koin yang bernilai Rp 589.073.143 dan uang kertas sejumlah Rp 26.488.900, yang dimuat dalam 21 kontainer. Gerakan sosial digital dalam kasus Prita ini kemudian dinilai sebagai gerakan sosial digital yang mampu menggerakan partisipasi publik untuk mendukung Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit OMNI.

Gerakan yang dilakukan melalui petisi online ini juga dapat dibedakan polanya dengan gerakan yang dilakukan di media sosial lainnya. Kasus Prita Mulyasari, misalnya, bisa dianalisis lebih dalam untuk lebih memperlihatkan pola dan relasi yang terjadi.

Kasus Prita Mulyasari

Gerakan Petisi Online

Penyebarluasan informasi

Menggunakan media massa, baik online, cetak, maupun audio visual. Didukung penuh oleh salah satu TV nasional

Hanya beberapa petisi yg disebarluaskan melalui media massa. Beberapa yang diinisiasi oleh para artis disebarkan melalui TV, namun mayoritas hanya di-share melalui sosial media lainnya, seperti Facebook, Twitter, Path, dan lain sebagainya. Selebihnya hanya diunggah di website change.org saja.

Respon Masyarakat

Respon masyarakat sangat antusias, khususnya pasca pemberitaan gencar di media massa. Ini merupakan salah satu isu kelas menengah atas yang sudah disebarkan oleh media mainstream sebelumnya.

Respon terlihat dari jumlah “Koin Untuk Prita” yang terkumpul sebesar Rp. 615.562.043,-

Cukup antusias, walaupun tidak semua kasus dipublikasikan melalui media massa, namun respon masyarakat cukup antusias untuk mendukung petisi. Gerakan #SaveBAKSIL misalnya, lebih dari sekadar petisi. Petisi yang berhasil mengumpulkan 8000 suara ini juga dilengkapi dengan arak-arakan warga. Berbuah manis, Dada Rosada pun selanjutnya menarik kembali izin yang sudah ia berikan kepada PT EGI.

Terlihat bahwa kesuksesan juga sering didapat di masing-masing petisi sebagai bukti mendapat dukungan.

Peluang Keberhasilan

Penggandengan media massa lainnya sangat berhasil untuk membuka peluang keberhasilan gerakan. Kasus Prita berhasil menumbuhkan gerakan offline berupa pengumpulan “Koin Untuk Prita”. Gerakan tidak melulu terbatas di social media. Namun juga di dunia nyata. Hampir semua media massa arus utama (mainstream) memberikan ‘dukungan’. Hal itu disebabkan karena dalam kasus Prita Mulyasari relatif tidak bersentuhan dengan kepentinganmedia mainstream.

Mayoritas pengguna internet di Indonesia didominasi dari kelas sosial menengah ke atas. Namun hal ini tidak bisa memastikan berhasil atau tidaknya mengingat minimnya peran media massa. Jika hanya mengandalkan sharing melalui media social, perlu adanya penggelontoran isu dan upaya penyadaran yang signifikan guna menimbulkan rasa ketertarikan dan pemikiran kritis untuk ikut serta mendukung dan menandatangani petisi secara online.

Kendala

Pasal karet pencemaran nama baik di Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang digunakan untuk memenjarakan Prita Mulyasari masih tegak berdiri. Begitu pula persoalan komersialisasi kesehatan yang terselip dalam kasus Prita Mulyasari. Seharusnya jika gerakan sosial digital dalam kasus Prita Mulyasari ini dikatakan berhasil, upaya komersialisasi kesehatan yang dipayungi oleh liberalisasi sektor jasa juga dihentikan di Indonesia

Dalam hal penyebaran informasi, si penggagas harus berjuang sendiri untuk mempromosikan petisinya dengan menshare di media sosial, tentu ini akan menyulitkan penyebaran informasi dan penggalangan dukungan.

Kontinuitas

Prita Mulyasari dinyatakan kalah di mata hukum. Tidak ada perubahan kebijakan terkait isu yang diangkat. Gerakan mengalami proses menuju berakhirnya aktivitas.

Saat satu petisi mengalami keberhasilan, tidak ada lagi kontinuitas dalam gerakan. Gerakan seakan terhenti tanpa ada kelanjutan. Jika ada kasus yang hampir serupa, maka akan muncul juga petisi lain yang mencoba mengusung. Tidak ada kelanjutan. Hanya kebijakan spesifik yang berhasil dicapai. Belum mencapai perubahan sosial di masyarakat secara umum.

Berdasar paparan diatas, tentu kita dapat menilai seberapa efektifkah petisi online dalam membuat suatu perubahan. Sejatinya, memang petisi ini bisa menjadi alat untuk mencapai perubahan, namun perubahan yang dihasilkan belum bisa dikatakan sebagai perubahan sosial yang menyeluruh, yang secara utuh menyentuh khalayak umum, namun kebijakan yang berubah hanya berpengaruh pada sebagian orang saja. Masalah penyebarluasan petisi juga menjadi masalah saat petisi yang diajukan tidak bisa booming dan didengar khalayak. Tentu ini akan begitu berpengaruh terhadap respon, dukungan atau tandatangan masyarakat yang setuju akan isi petisi. Perlu ada upaya menggandeng media massa yang lebih bisa dijangkau publik untuk menshare isi petisi. Karena tidak semua orang bisa mengakses internet. Gerakan massa “nyata” juga sebenarnya masih sangat diperlukan untuk menggalang dukungan. Kolaborasi antara “maya” dan “nyata” pastinya akan membuahkan hasil yang positif bagi penggalangan dukungan petisi.

Apa yang bisa kita pelajari dari gerakan sosial digital dalam kasus Prita Mulyasari dan petisi online? Pertama, bahwa gerakan sosial digital harus memiliki pesan yang selain menarik juga mudah dipahami serta memudahkan publik untuk melakukan aksi nyata. Kedua, dalam merancang gerakan sosial digital di Indonesia sebisa mungkin dikaitkan dengan persoalan kelas menengah-atas dan juga persoalan kaum urban di perkotaan. Ketiga, garakan sosial digital juga tetap harus berkolaborasi dengan media massa mainstream. Dukungan dari media mainstream baik dalam hal pemberitaan maupun di luar pemberitaan sangat diperlukan dalam sebuah gerakan sosial digital. Keempat, dalam perencanaan gerakan sosial digital harus memasukan rencana jangka pendek dan jangka panjang. Rencana jangka panjang dalam sebuah gerakan sosial digital adalah adanya sebuah perubahan kebijakan terkait isu yang diangkat. Misalnya, dalam kasus Prita Mulyasari, gerakan sosial digital sebaiknya bermuara pada menguatnya desakan publik kepada pemerintah untuk merubah kebijakan dalam UU ITE dan komersialisasi kesehatan.

Media Sosial vs Gerakan Massa Konvensional dalam Pembentukan Identitas Kolektif

Memang menjadi hal yang patut untuk diperbincangkan tatkala melihat fenomena gerakan sosial yang dilecutkan oleh sosial media. Namun kedatangan change.org misalnya, membuat kita sadar akan adanya model baru dalam sejarah gerakan sosial di Indonesia. Banyak kritik yang muncul tatkala menyandingkan efektivitas gerakan “maya” ini dengan gerakan sosial lain yang bersifat “nyata” dan konvensional lainnya. Menurut sebagian pandangan pasti melihat gerakan sosial “maya” melalui sosial media ini tidak akan menghasilkan gerakan sekokoh yang dihasilkan oleh para intelektual di kampus, atau para buruh yang turun ke untuk mencoba memperjuangkan kenaikan upah.

Namun kecurigaan tersebut dapat terbantahkan saat melihat keberhasilan change.org dalam menciptakan perubahan. Seturut dengan argumen sosiolog asal Amerika, Fransesca Poleta, justru kekuatan gerakan berbasis sosial media adalah karena sifatnya yang “maya”. Sebuah gerakan yang dibentuk untuk menciptakan suatu perubahan selalu memiliki identitas kolektif yang kuat. Identitas kolektif inilah yang membuat orang merasa memiliki rasa senasib sepenanggungan sehingga mau mengambil resiko untuk melakukan gerakan perubahan.

Identitas kolektif tidak bisa dibangun hanya melalui iklan di media massa, tetapi dibentuk melalui interaksi sosial yang terus menerus yang biasanya terjadi di tempat-tempat di mana  orang-orang berkumpul. Disinilah peran media sosial yang memberikan ruang baru untuk berkumpul, berinteraksi, dan akhirnya membentuk identitas tersendiri.

Peran sosial media dalam memberikan ruang baru untuk berinteraksi dan membentuk identitas sendiri inilah yang menjadi kekuatan tersendiri media sosial dalam mencapai perubahan dibandingkan dengan pola gerakan konvensional lainnya.

Pada tahun 2007, sebuah riset yang dilakukan para peneliti psikologi sosial di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa orang akan merasakan hubungan yang lebih dekat ketika melakukan kerja sama dengan orang-orang yang identitasnya tidak jelas. Sepintas hasil ini tidak masuk akal, tetapi sebenarnya wajar jika kita ingat bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki identitas yang berbeda-beda sekaligus dalam dirinya. Misalnya, orang dapat memiliki pandangan liberal secara politik, tetapi konservatif secara ekonomi.Ketika identitas individu tersamar, seperti saat berinteraksi dalam dunia maya, maka identitas yang nampak hanyalah identitas yang relevan pada saat itu. Identitas-identitas lain yang bisa jadi berseberangan dengan identitas kolektif yang ingin dibangun jadi tidak terlihat; karena keragaman identitas yang dimiliki individu tereduksi dalam dunia maya dan hanya identitas yang relevan dengan gerakan yang muncul maka identitas kolektif lebih mudah terbentuk.

Jadi tampaknya media sosial dapat lebih efektif dalam pembentukan sebuah gerakan sosial melalui sifatnya yang maya. Yaitu, justru sifat maya dan parsial ini mempermudah terbentuknya identitas kolektif karena dapat meredam perbedaan-perbedaan dan hanya fokus pada kesamaan identitas yang sejalan dengan tujuan gerakan. Tentunya pembentukan identitas kolektif ini tidak terjadi secara otomatis; artinya perlu perencanaan dan usaha sistematis. Pembentukan identitas kolektif tentu saja hanya salah satu aspek dalam pembentukan gerakan sosial; tetapi tanpa identitas kolektif yang kokoh maka tidak akan mungkin muncul gerakan yang solid.

Dekonstruksi Wacana Patologi Pemuda Kontemporer Melalui Aktivisme Pemuda di Petisi Online

Paparan diatas mengemukakan salah satu cara agar pemuda bisa mendekonstruksi wacana atas diri mereka yang terlanjur buruk di sebagian besar pemikiran masyarakat. Melalui kegiatan diatas, generasi muda diharapkan bisa menumpas segala “penyakit”nya dan kembali ke dalam track-nya sebagai agen perubahan bangsa. Stigmatisasi bahwa pemuda hanya menjadi sampah masyarakat dengan berbagai aktivitas negatifnya seakan perlu dikonstruksikan ulang mengingat perannya yang cukup besar jika terlibat dengan berbagai kegiatan positif. Keikutsertaan dalam pembuatan dan penandatanganan petisi online melalui situs change.org yang begitu simple misalnya, bisa saja mengubah pemuda yang dulu dianggap hanya bisa berperangai buruk menjadi sosok yang bisa diandalkan untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

Sosial media yang sempat juga mendapat cap buruk sebagai biang kebobrokan moral melalui kemampuannya dalam membuat para generasi muda menjadi malas dan terkesan anti sosial ternyata juga memiliki sisi positif dalam menyuarakan kepentingan publik, khususnya dalam penggalangan dukungan yang digalakkan melalui petisi online. Petisi online sendiri bisa menjadi jawaban atas patologi yang melekat pada kaum muda. Ternyata dengan hanya bermodalkan koneksi internet dan aktivitas clicking on the keyboard, petisi online bisa menjadi alat yang efektif dalam melengkapi berbagai kampanye sosial yang sudah ada sebelumnya, atau menjadi senjata baru dalam melawan kebijakan yang tidak menguntungkan publik.

Gerakan digital yang didominasi oleh anak muda ini berpotensi untuk bisa menjadi masa depan bagi aktivisme sosial dan politik pemuda yang kian hari kian bertumbuh pesat. Petisi online ini menjadi kian populer mengingat berbagai kemudahan yang ditawarkan. Petisi online bisa memberikan tekanan pada target, dan dengan bantuan sosial media yang memang sedang digandrungi para kawula muda mampu menyebarluaskan dan menggalang dukungan dari berbagai individu dan komunitas yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Peran inilah yang begitu krusial bagi sebuah gerakan sosial untuk mewujudkan perubahan. Dan para pemuda harapan bangsa, mampu kembali menuju kodratnya sebagai agent of change, penggerak utama perubahan dan transformasi sosial negeri ini melalui aktivitas-aktivitas simple yang sedang digandrunginya.

Dari uraian di atas tampak bahwa media sosial memiliki kelebihan tersendiri dalam pembentukan identitas kolektif yang justru muncul dari sifat maya-nya. Mengingat Indonesia adalah negara yang keragamannya sangat tinggi, media sosial membuka kesempatan baru dalam usaha membentuk identitas kolektif bangsa untuk mempermudah tercapainya perubahan yang diharapkan. Generasi muda baik secara individu maupun komunitas mampu membuat perubahan, misalnya melalui kampanye sosial di change.org. Terlihat bahwa pemuda juga bisa terlibat bahkan mempelopori adanya perubahan di lingkungannya maupun scope yang lebih luas. Tak harus melakukan kegiatan yang kaku dan bersifat formal, namun sosial media memudahkan mereka untuk menggalang dukungan terkait apa yang menjadi keinginan dirinya maupun publik secara luas. Keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter semakin mempermudah untuk menarik perhatian publik. Tak hanya menjadi ajang pamer dan menggosip, ini membuktikan bahwa media sosial juga bisa dipakai untuk mewujudkan suatu perubahan!



Daftar Pustaka

Pikiran Rakyat, 13 Desember 2007,Pemuda, Antara Apatisme dan Idealisme

Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia. Arizona State University, USA

Singh, Rajendra. 2001. Social Movements, Old and New, A Post-modernist Critique. New Delhi: Sage Publication

Suharko, 2006. Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Buku Seri Demokrasi II, Program Penguatan Simpul Demokrasi. Jakarta: Averroes Press

Akun Twitter JaringKuala, via https://Twitter.com/jaringkuala, didownload pada 01/11/13 pukul 13.51 WIB

Ibu Ratu Atus Chosiyah dan Ibu Airin Rachmi Tolong Perbaiki Jalan Raya Muncul, via http://www.change.org/id/petisi/ibu-ratu-atut-chosiyah-dan-ibu-airin-rachmi-tolong-perbaiki-jl-raya-muncul-serpong-pemimpintulusjalanmulus, didownload pada 01/11/13 pukul 12.12 WIB

Kompas, 2013, 30 Persen Pemuda Apatis, Bukti Figur Partai Lemah; http://nasional.kompas.com/read/2013/04/28/12160320/30.Persen.Pemuda.Apatis.Bukti.Figur.Partai.Lemah, didownload pada 31/10/13 pukul 09.19 WIB

Muhamad, Robi, 2013, dalam http://jakartabeat.net/kolom/konten/perubahan-sosial-dengan-media-sosial

Nash, June (Ed.). (2005). Social Movements, An Anthropological Reader. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Peringatan Sumpah Pemuda, Mahasiswa Jangan Apatis, via http://atjehpost.com/read/2013/10/28/69740/0/1/Peringatan-Sumpah-Pemuda-Mahasiswa-jangan-apatis, didownload pada 29/10/13 pukul 18.55 WIB

Sidner, Sara. 2010. Indonesia, Twitter Nation, via http://cnn.com/2010-11-23/tech/indonesia.Twitter_1_Twitter-nation-social-media-social-networking?_s=PM:TECH., didownload pada 01/11/13 pukul 19.06 WIB

Sidner, Sara.2010. “Indonesia: Twitter Nation.” CNNTech, November 23. Accessed Nov 1st 2013. http://articles., didownload pada 31/10/13 pukul 10.50 WIB

Singh, Rajendra. 2001. Social Movements, Old and New, A Post-modernist Critique. New Delhi: Sage Publication

Suharko, 2006. Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Buku Seri Demokrasi II, Program Penguatan Simpul Demokrasi. Jakarta: Averroes Press

TEMPO, 2013. “Beragam Gerakan Lewat Petisi Online” http://www.tempo.co/read/news/2014/01/01/078541377/Beragam-Gerakan-Lewat-Petisi-Online/1/1

SocialBakers. 2012. Indonesia Facebook statistics. http://www.socialbakers.com/Facebook-statistics/indonesia. didownload pada 01/11/13 pukul 16.01 WIB

Sutadi, H. 2011. “Sosial media dan demokrasi di Indonesia.” Kompasiana, February 12. http://politik.kompasiana.com/2011/02/12/social-media-dan-demokrasi-20-di-indonesia., didownload pada 01/11/13 pukul 13.51 WIB

Tentang Change.org, via http://www.change.org/id/tentang, didownload pada 02/11/13 pukul 13.21 WIB

Tokobagus.com Tolong Hentikan!, via http://www.change.org/id/petisi/tokobagus-com-hentikan-jual-beli-online-asesoris-terbuat-dari-bagian-tubuh-penyu, didownload pada 02/11/13 pukul 18.18 WIB

Usman, Sunyoto. 2013. Media Sosial dan Komunikasi Politik. Bahan Ajar Perkuliahan Teori Sosiologi. Yogyakarta: Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM

Kompas, 2013, 30 Persen Pemuda Apatis, Bukti Figur Partai Lemah; http://nasional.kompas.com/read/2013/04/28/12160320/30.Persen.Pemuda.Apatis.Bukti.Figur.Partai.Lemah

Pikiran Rakyat, 13 Desember 2007,Pemuda, Antara Apatisme dan Idealisme

Dalam rumusan Havelock (1973), agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi berencana.(Nasution, 1990:37) Pengenalan dan kemudian penerapan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru tersebut yang dikenal dengan sebagai inovasi, dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan tadi. Segala sesuatu tidak akan dengan mudahnya dirubah tanpa adanya sikap optimis dan kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa dapat melakukan perubahan tersebut.

http://atjehpost.com/read/2013/10/28/69740/0/1/Peringatan-Sumpah-Pemuda-Mahasiswa-jangan-apatis

http://idrus.net/2010/04/15/social-media-dan-social-movement.shtml

Sidner, Sara.2010. “Indonesia: Twitter Nation.” CNNTech, November 23. Accessed Nov 1st 2013. http://articles.

cnn.com/2010-11-23/tech/indonesia.Twitter_1_Twitter-nation-social-media-social-networking?_s=PM:TECH.

SocialBakers. 2012. Indonesia Facebook statistics. http://www.socialbakers.com/

Facebook-statistics/indonesia.

Kasus Prita adalah sebuah kasus yang mengarah pada gerakan sosial media Facebook untuk mendukung sosok Prita Mulyasari, seorang wanita berumur 32 tahun yang berusaha mencari keadilan setelah dituntut karena pencemaran nama baik saat dia complain tentang pelayanan dari sebuah rumah sakit swasta dalam sebuah email kepada teman dan kerabatnya. Puluhan ribu dukungan datang dari sebuah fanpage yang membela Prita di Facebook, membagi cerita akan kebiadaban sang rumah sakit di Twitter, dan mendonasikan sebagian uangnya untuk membayardenda pengadilan (Lim, 2013)

Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia. Arizona State University, USA

Proses framing sendiri merupakan upaya-upaya strategis secara sadar oleh kelompok-kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama tentang dunia dan diri mereka sendiri yang mengabsahkan dan mendorong aksi kolektif. Dalam banyak kasus gerakan sosial, isu ketidakadilan merupakan bingkai yang paling sering dipergunakan untuk mendefinisikan kondisi yang dialami dan dihadapi oleh para partisipan gerakan.

Usman, Sunyoto. 2013. Media Sosial dan Komunikasi Politik. Bahan Ajar Perkuliahan Teori Sosiologi. Yogyakarta: Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM

Aktivisme atau kepegiatan terdiri dari upaya yang dimaksudkan untuk mengemukakan masalah perubahan yang terkait dengan masyarakat, kuasa pemerintahan, tatanan masyarakat, atau lingkungan. Kepegiatan dapat berupa penulisan surat kepada persuratkabaran atau politikus, kampanye kuasa pemerintahan. Lagipula, kepegiatan tentang tatanan masyarakat dapat berupa pemulauan (boikot) atau semena-mena menggurui usaha dagang, unjuk rasa, pawai jalanan (street marches), mogok kerja dan mogok makan (hunger strikes).

http://www.change.org/id/tentang

http://www.change.org/id/petisi/ibu-ratu-atut-chosiyah-dan-ibu-airin-rachmi-tolong-perbaiki-jl-raya-muncul-serpong-pemimpintulusjalanmulus

https://Twitter.com/jaringkuala

http://www.change.org/id/petisi/tokobagus-com-hentikan-jual-beli-online-asesoris-terbuat-dari-bagian-tubuh-penyu

http://www.tempo.co/read/news/2014/01/01/078541377/Beragam-Gerakan-Lewat-Petisi-Online/1/1

http://hukum.tvonenews.tv/berita/view/15586/2009/06/08/kronologi_kasus_prita_mulyasari.tvOne

http://megapolitan.kompas.com/read/2009/12/30/2338022/koin.prita.selesai.dihitung

Poleta, Francesca, dalam http://jakartabeat.net/kolom/konten/perubahan-sosial-dengan-media-sosial

Muhamad, Robi, 2013, dalam http://jakartabeat.net/kolom/konten/perubahan-sosial-dengan-media-sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun