Penggandengan media massa lainnya sangat berhasil untuk membuka peluang keberhasilan gerakan. Kasus Prita berhasil menumbuhkan gerakan offline berupa pengumpulan “Koin Untuk Prita”. Gerakan tidak melulu terbatas di social media. Namun juga di dunia nyata. Hampir semua media massa arus utama (mainstream) memberikan ‘dukungan’. Hal itu disebabkan karena dalam kasus Prita Mulyasari relatif tidak bersentuhan dengan kepentinganmedia mainstream.
Mayoritas pengguna internet di Indonesia didominasi dari kelas sosial menengah ke atas. Namun hal ini tidak bisa memastikan berhasil atau tidaknya mengingat minimnya peran media massa. Jika hanya mengandalkan sharing melalui media social, perlu adanya penggelontoran isu dan upaya penyadaran yang signifikan guna menimbulkan rasa ketertarikan dan pemikiran kritis untuk ikut serta mendukung dan menandatangani petisi secara online.
Kendala
Pasal karet pencemaran nama baik di Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang digunakan untuk memenjarakan Prita Mulyasari masih tegak berdiri. Begitu pula persoalan komersialisasi kesehatan yang terselip dalam kasus Prita Mulyasari. Seharusnya jika gerakan sosial digital dalam kasus Prita Mulyasari ini dikatakan berhasil, upaya komersialisasi kesehatan yang dipayungi oleh liberalisasi sektor jasa juga dihentikan di Indonesia
Dalam hal penyebaran informasi, si penggagas harus berjuang sendiri untuk mempromosikan petisinya dengan menshare di media sosial, tentu ini akan menyulitkan penyebaran informasi dan penggalangan dukungan.
Kontinuitas
Prita Mulyasari dinyatakan kalah di mata hukum. Tidak ada perubahan kebijakan terkait isu yang diangkat. Gerakan mengalami proses menuju berakhirnya aktivitas.
Saat satu petisi mengalami keberhasilan, tidak ada lagi kontinuitas dalam gerakan. Gerakan seakan terhenti tanpa ada kelanjutan. Jika ada kasus yang hampir serupa, maka akan muncul juga petisi lain yang mencoba mengusung. Tidak ada kelanjutan. Hanya kebijakan spesifik yang berhasil dicapai. Belum mencapai perubahan sosial di masyarakat secara umum.
Berdasar paparan diatas, tentu kita dapat menilai seberapa efektifkah petisi online dalam membuat suatu perubahan. Sejatinya, memang petisi ini bisa menjadi alat untuk mencapai perubahan, namun perubahan yang dihasilkan belum bisa dikatakan sebagai perubahan sosial yang menyeluruh, yang secara utuh menyentuh khalayak umum, namun kebijakan yang berubah hanya berpengaruh pada sebagian orang saja. Masalah penyebarluasan petisi juga menjadi masalah saat petisi yang diajukan tidak bisa booming dan didengar khalayak. Tentu ini akan begitu berpengaruh terhadap respon, dukungan atau tandatangan masyarakat yang setuju akan isi petisi. Perlu ada upaya menggandeng media massa yang lebih bisa dijangkau publik untuk menshare isi petisi. Karena tidak semua orang bisa mengakses internet. Gerakan massa “nyata” juga sebenarnya masih sangat diperlukan untuk menggalang dukungan. Kolaborasi antara “maya” dan “nyata” pastinya akan membuahkan hasil yang positif bagi penggalangan dukungan petisi.
Apa yang bisa kita pelajari dari gerakan sosial digital dalam kasus Prita Mulyasari dan petisi online? Pertama, bahwa gerakan sosial digital harus memiliki pesan yang selain menarik juga mudah dipahami serta memudahkan publik untuk melakukan aksi nyata. Kedua, dalam merancang gerakan sosial digital di Indonesia sebisa mungkin dikaitkan dengan persoalan kelas menengah-atas dan juga persoalan kaum urban di perkotaan. Ketiga, garakan sosial digital juga tetap harus berkolaborasi dengan media massa mainstream. Dukungan dari media mainstream baik dalam hal pemberitaan maupun di luar pemberitaan sangat diperlukan dalam sebuah gerakan sosial digital. Keempat, dalam perencanaan gerakan sosial digital harus memasukan rencana jangka pendek dan jangka panjang. Rencana jangka panjang dalam sebuah gerakan sosial digital adalah adanya sebuah perubahan kebijakan terkait isu yang diangkat. Misalnya, dalam kasus Prita Mulyasari, gerakan sosial digital sebaiknya bermuara pada menguatnya desakan publik kepada pemerintah untuk merubah kebijakan dalam UU ITE dan komersialisasi kesehatan.
Media Sosial vs Gerakan Massa Konvensional dalam Pembentukan Identitas Kolektif
Memang menjadi hal yang patut untuk diperbincangkan tatkala melihat fenomena gerakan sosial yang dilecutkan oleh sosial media. Namun kedatangan change.org misalnya, membuat kita sadar akan adanya model baru dalam sejarah gerakan sosial di Indonesia. Banyak kritik yang muncul tatkala menyandingkan efektivitas gerakan “maya” ini dengan gerakan sosial lain yang bersifat “nyata” dan konvensional lainnya. Menurut sebagian pandangan pasti melihat gerakan sosial “maya” melalui sosial media ini tidak akan menghasilkan gerakan sekokoh yang dihasilkan oleh para intelektual di kampus, atau para buruh yang turun ke untuk mencoba memperjuangkan kenaikan upah.
Namun kecurigaan tersebut dapat terbantahkan saat melihat keberhasilan change.org dalam menciptakan perubahan. Seturut dengan argumen sosiolog asal Amerika, Fransesca Poleta, justru kekuatan gerakan berbasis sosial media adalah karena sifatnya yang “maya”. Sebuah gerakan yang dibentuk untuk menciptakan suatu perubahan selalu memiliki identitas kolektif yang kuat. Identitas kolektif inilah yang membuat orang merasa memiliki rasa senasib sepenanggungan sehingga mau mengambil resiko untuk melakukan gerakan perubahan.
“Identitas kolektif tidak bisa dibangun hanya melalui iklan di media massa, tetapi dibentuk melalui interaksi sosial yang terus menerus yang biasanya terjadi di tempat-tempat di mana orang-orang berkumpul. Disinilah peran media sosial yang memberikan ruang baru untuk berkumpul, berinteraksi, dan akhirnya membentuk identitas tersendiri.”
Peran sosial media dalam memberikan ruang baru untuk berinteraksi dan membentuk identitas sendiri inilah yang menjadi kekuatan tersendiri media sosial dalam mencapai perubahan dibandingkan dengan pola gerakan konvensional lainnya.
Pada tahun 2007, sebuah riset yang dilakukan para peneliti psikologi sosial di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa orang akan merasakan hubungan yang lebih dekat ketika melakukan kerja sama dengan orang-orang yang identitasnya tidak jelas. Sepintas hasil ini tidak masuk akal, tetapi sebenarnya wajar jika kita ingat bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki identitas yang berbeda-beda sekaligus dalam dirinya. Misalnya, orang dapat memiliki pandangan liberal secara politik, tetapi konservatif secara ekonomi.Ketika identitas individu tersamar, seperti saat berinteraksi dalam dunia maya, maka identitas yang nampak hanyalah identitas yang relevan pada saat itu. Identitas-identitas lain yang bisa jadi berseberangan dengan identitas kolektif yang ingin dibangun jadi tidak terlihat; karena keragaman identitas yang dimiliki individu tereduksi dalam dunia maya dan hanya identitas yang relevan dengan gerakan yang muncul maka identitas kolektif lebih mudah terbentuk.
Jadi tampaknya media sosial dapat lebih efektif dalam pembentukan sebuah gerakan sosial melalui sifatnya yang maya. Yaitu, justru sifat maya dan parsial ini mempermudah terbentuknya identitas kolektif karena dapat meredam perbedaan-perbedaan dan hanya fokus pada kesamaan identitas yang sejalan dengan tujuan gerakan. Tentunya pembentukan identitas kolektif ini tidak terjadi secara otomatis; artinya perlu perencanaan dan usaha sistematis. Pembentukan identitas kolektif tentu saja hanya salah satu aspek dalam pembentukan gerakan sosial; tetapi tanpa identitas kolektif yang kokoh maka tidak akan mungkin muncul gerakan yang solid.
Dekonstruksi Wacana Patologi Pemuda Kontemporer Melalui Aktivisme Pemuda di Petisi Online
Paparan diatas mengemukakan salah satu cara agar pemuda bisa mendekonstruksi wacana atas diri mereka yang terlanjur buruk di sebagian besar pemikiran masyarakat. Melalui kegiatan diatas, generasi muda diharapkan bisa menumpas segala “penyakit”nya dan kembali ke dalam track-nya sebagai agen perubahan bangsa. Stigmatisasi bahwa pemuda hanya menjadi sampah masyarakat dengan berbagai aktivitas negatifnya seakan perlu dikonstruksikan ulang mengingat perannya yang cukup besar jika terlibat dengan berbagai kegiatan positif. Keikutsertaan dalam pembuatan dan penandatanganan petisi online melalui situs change.org yang begitu simple misalnya, bisa saja mengubah pemuda yang dulu dianggap hanya bisa berperangai buruk menjadi sosok yang bisa diandalkan untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Sosial media yang sempat juga mendapat cap buruk sebagai biang kebobrokan moral melalui kemampuannya dalam membuat para generasi muda menjadi malas dan terkesan anti sosial ternyata juga memiliki sisi positif dalam menyuarakan kepentingan publik, khususnya dalam penggalangan dukungan yang digalakkan melalui petisi online. Petisi online sendiri bisa menjadi jawaban atas patologi yang melekat pada kaum muda. Ternyata dengan hanya bermodalkan koneksi internet dan aktivitas clicking on the keyboard, petisi online bisa menjadi alat yang efektif dalam melengkapi berbagai kampanye sosial yang sudah ada sebelumnya, atau menjadi senjata baru dalam melawan kebijakan yang tidak menguntungkan publik.
Gerakan digital yang didominasi oleh anak muda ini berpotensi untuk bisa menjadi masa depan bagi aktivisme sosial dan politik pemuda yang kian hari kian bertumbuh pesat. Petisi online ini menjadi kian populer mengingat berbagai kemudahan yang ditawarkan. Petisi online bisa memberikan tekanan pada target, dan dengan bantuan sosial media yang memang sedang digandrungi para kawula muda mampu menyebarluaskan dan menggalang dukungan dari berbagai individu dan komunitas yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Peran inilah yang begitu krusial bagi sebuah gerakan sosial untuk mewujudkan perubahan. Dan para pemuda harapan bangsa, mampu kembali menuju kodratnya sebagai agent of change, penggerak utama perubahan dan transformasi sosial negeri ini melalui aktivitas-aktivitas simple yang sedang digandrunginya.
Dari uraian di atas tampak bahwa media sosial memiliki kelebihan tersendiri dalam pembentukan identitas kolektif yang justru muncul dari sifat maya-nya. Mengingat Indonesia adalah negara yang keragamannya sangat tinggi, media sosial membuka kesempatan baru dalam usaha membentuk identitas kolektif bangsa untuk mempermudah tercapainya perubahan yang diharapkan. Generasi muda baik secara individu maupun komunitas mampu membuat perubahan, misalnya melalui kampanye sosial di change.org. Terlihat bahwa pemuda juga bisa terlibat bahkan mempelopori adanya perubahan di lingkungannya maupun scope yang lebih luas. Tak harus melakukan kegiatan yang kaku dan bersifat formal, namun sosial media memudahkan mereka untuk menggalang dukungan terkait apa yang menjadi keinginan dirinya maupun publik secara luas. Keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter semakin mempermudah untuk menarik perhatian publik. Tak hanya menjadi ajang pamer dan menggosip, ini membuktikan bahwa media sosial juga bisa dipakai untuk mewujudkan suatu perubahan!
Daftar Pustaka