Lahirnya media-media baru membawa angin segar terhadap kemudahan yang diperoleh manusia dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Terutama setelah hadirnya sebuah teknologi dan media baru yang saat ini kita kenal sebagai internet.Masivitas perkembangan internet khususnya sosial media pada era digital ini ternyata berdampak luas pada aktivitas kita sehari-hari. Dalam dimensi mikro, perkembangan sosial media mulai menunjukkan bentuk kekuasaannya terhadap sisi psikologis manusia. Kita menjadi bergantung dan tidak bisa lepas sesaat saja dari sosial media. Kemudahan akses melalui komputer, laptop maupun telepon genggam menjadi salah satu penyebabnya.
Namun berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh jejaring sosial tak semata lepas dari relasi kuasa antara sosial media dengan kehidupan manusia itu sendiri. Konsep panoptikon yang ditawarkan oleh Foucault penulis rasa mampu memberikan gambaran betapa mengerikannya kuasa yang dihasilkan oleh sosial media dalam hidup kita sehari hari tanpa kita sadari. Konstruksi akan apa yang hendak kita unggah di media sosial menjadi kajian menarik yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Seperti layaknya tahanan dalam panoptik yang selalu berpikir bila mereka selalu diawasi dan menyesuaikan perilaku mereka sesuai dengan keinginan para penjaga, pengguna sosial media juga pada dasarnya mengasumsikan bahwa dirinya selalu diawasi dan “dihakimi” berdasar atas konten yang dia bagikan, dan memilih atau memframing konten tersebut dengan maksud untuk menyenangkan dan atau memberi kesan bagi kerumunan maya tersebut. Efek panoptikon seperti inilah yang membentuk identitas seperti yang kita bentuk di sosial media. Secara ekstremnya, hal ini dapat kita untuk memerankan atau melakukan suatu pencitraan dengan identitas tertentu yang bisa membuat orang lain merasa terkesan dan melontarkan hal tersebut sebagai ekspresi dadakan atas diri sejati kita.
Perkembangan Sosial Media Kontemporer: Infiltrasi Dalam Scope Mikro Manusia
Dewasa ini, berbagai inovasi teknologi makin memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Terutama setelah hadirnya sebuah teknologi dan media baru yang saat ini kita kenal sebagai internet. Internet sendirisejatinya adalah saluran komunikasi interaktif, dimana manusia dapat berinteraksi langsung dengan orang lain dari berbagai belahan dunia. Internet adalah media konvergensi atau media yang menggabungkan unsur-unsur dari perkembangan media cetak dan elektronik ke dalam satu media.
Lahirnya internet hampir mengubah pola hidup masyarakat dan memberikan kontribusi yang besar dalam melakukan komunikasi, serta menjadi sarana untuk mendapatkan berbagai informasi. Dewasa ini, keberadaan sosial media menjadi salah satu hal yang makin tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tak hanya menjadi media untuk sekedar curhat, namun melalui media sosial banyak pula terjadi perubahan dalam dinamika sosial politik pada suatu negara maupun masyarakat. Berbagai gerakan sosial yang tumbuh dalam masyarakat juga marak ditumbuhkan melalui gerakan sosial media. Kasus Koin Untuk Prita maupun aksi yang dilakukan guna mengusung berbagai petisi online misalnya, mampu memberikan bermacam perubahan dan pandangan baru terkait realita sosial dan politik di bangsa ini.
Acapkali terlihat hampir semua media sosial digunakan oleh individu atau sekelompok orang untuk membagi kisah atau pengalaman sehari-hari, hingga untuk kepentingan pragmatis tertentu. Pagi-siang malam, linimasa Facebook, Twitter, Path, Kaskus maupun laman sosial media lainnya selalu dipenuhi dengan berbagai komentar dan informasi; begitu pula dengan sebagian orang yang rela untuk terjaga hingga dini hari hanya untuk memperbarui laman blog mereka; serta merekam video terbaiknya untuk diunggah di Youtube. Situs jejaring sosial telah menjadi bagian dari kehidupan hampir semua orang, baik tua maupun muda dan tanpa mengenal gender serta status sosial mereka. Dapat dikatakan, kini kita telah memasuki era hyperconnected dimana orang selalu terhubung dengan semua orang di setiap detik, setiap waktu, setiap hari.
Publikasi Alexa.com terkini mengungkap bahwa Indonesia yang sesungguhnya terbilang masih cukup buruk kondisi konektivitas maupun amat rendah tingkat prosentase pengguna akses Internet online —0.5% dari 235 juta penduduk yang memiliki koneksi Internet aktif— nyatanya menjadi salah satu negeri yang tertinggi di kawasan ASEAN dalam pertumbuhan pengguna salah satu sosial media Facebook yakni sebesar 645% selama tahun 2008 lalu. Diperkirakan sekarang ada sekitar 3 juta pengguna Facebook dari Indonesia. Akses pengguna Facebook asal Indonesia mencatatkan angka 4% hingga dalam lingkup global dapat duduk pada peringkat ke-5 dibawah pengguna asal AS, Inggris, Perancis, dan Italia (Rizal Aachtung, 23 Mei 2009). Namun, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi akhir-akhir ini telah menghasilkan fenomena yang tak terbayangkan, yaitu makin menipisnya ruang privat. Bahkan muncul ancaman berupa hilangnya ruang privat sehingga anggota masyarakat tidak lagi memiliki privasi. Sebelum terjadinya fenomena kontemporer ini, manusia sebagai anggota masyarakat memiliki ruang privat dan ruang publik. Tetapi ruang privat itu kini terancam benar-benar hilang dengan adanya keterbukaan di media sosial.
Penggunaan sosial media pun bukannya tanpa resiko. Setiap catatan, pesan, gagasan atau ucapan yang kita masukkan di dalam situs jejaring sosial ini akan langsung terbaca dan dapat diakses oleh ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan anggota jejaring sosial lainnya. Tulisan kita seakan memiliki nyawa tersendiri. Tulisan atau apapun yang kita unggah ke sosial media seakan lepas dari kontrol kita dan kita tak bisa menariknya lagi. Orang lain bisa mem-forward opini itu ke berbagai tempat di seluruh muka bumi ini tanpa bisa kita halangi. Bahkan orang itu bisa mengubah isi opini kita, mendramatisasi, menambahkan sesuatu, menghapus bagian tertentu, dan sebagainya.
Di lainsisi, hingga saat ini selain dilihat dalam dimensi makro maupun messo, perkembangan sosial media tentuk juga dapat dilihat dari scope yang lebih kecil, yaitu dimensi mikro. Penulis melihat bahwa pasti ada alasan, kepentingan dan pertimbangan yang ada dibalik pemikiran seseorang saat hendak mengungkapkan pesan-pesannya melalui media sosial. Pesan-pesan yang mereka hendak sampaikan terlebih dulu harus dikonstruksi sedemikian rupa karena mereka merasa bahwa pesan yang akan mereka unggah hendak mendapat perhatian dari komunitas virtual yang ada di dunia maya tersebut. Hal tersebutlah yang coba penulis amati lebih dalam terkait dengan sosial media dengan kedigdayaannya dalam menyusup masuk ke dalam sisi psikologis manusia yang ternyata bisa dianalisis dengan menggunakan konsep panoptikon ala Foucault.
Kuasa Sosial Media Terhadap Sisi Psikologis Manusia
Untuk sebagian besar kalangan masyarakat, berbagi sesuatu melalui sosial media adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya sehari-hari. Dari hanya sekedar sharing kisah sehari-hari (daily life), maupun saat seseorang mulai menggunakan media sosial sebagai bahan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, memenuhi timeline Facebook maupun Twitter atau berbagai media sosial lainnya. Media sosial Path misalnya, memberikan ruang bagi kita untuk membagi kapan waktu kita tidur maupun bangun tidur, sehingga dapat disimpulkan juga bahwa keberadaan media sosial mulai menginfiltrasi kehidupan manusia bahkan dalam scope yang paling kecil, yaitu kehidupan pribadi manusia.
Mengakses media sosial saat ini mulai bergeser menjadi candu. Hari menjadi tidaklah lengkap jika tanpa membagi kisahnya ke dunia maya. Sebagian orang yang merasa ada yang kurang jikalau sehari saja tidak mengakses sosial media favoritnya. Ada pula yang merasa bahwa ada sesuatu yang kurang jikalau tidak mengamati linimasa atau merasa ada yang kurang jikalau tidak mengecek pesan di Facebook. Pasti ada rasa kehilangan saat kita tidak mengakses sosial media sehari saja, apalagi saat sosial media menjadi teman baik saat dilanda kesepian. Bentuk-bentuk sedemikian rupalah yang mencitrakan adanya efek psikologis yang mendera manusia sebagai imbas dari keberadaan sosial media tersebut.
Adapun Michel Foucault memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat mengklarifikasi bagaimana sosial media bisa mempengaruhi manusia pada level psikologis. “Eyang” Foucault memang sejatinya telah meninggal dunia jauh sebelum penemuan internet maupun sosial media, namun kajiannya terkait dengan pengaruh kondisi sosial dan formasi identitas dalam relasi kuasa bisa diterapkan dalam kehidupan online saat ini. Dari kacamata Foucault, sosial media pada dasarnya lebih dari sebuah alat untuk pertukaran informasi, melainkan juga merupakan alat untuk membentuk identitas, dimana sosial media terlibat dalam subjektivasi.
Perspektif Foucault dalam melihat sosial media lebih pada sisi mekanisme sharing yang dilakukan. Berbagi atau sharing sendiri merupakan inti dasar dari sosial media. Sharing content bukanlah hanya sebagai bentuk pertukaran informasi yang bersifat netral. Tatkala kita berbagi sesuatu di sosial media, kita melakukannya secara transparan dan dibagikan ke dunia maya secara massal, yang memungkinkan semua khalayak bisa melihat postingan kita tersebut. Apa yang kita share di sosial media menunjukkan performa kita yang bisa mempengaruhi dan setidaknya menyita perhatian orang lain.
Ada struktur layaknya “refleksi” atas diri sendiri acap kali kita memposting sesuatu di laman sosial media. Seperti layaknya sang bintang pentas yang paham betul bahwa mereka dilihat dan ditonton oleh banyak khalayak ramai dan sang artis tersebut berusaha mengompilasi sedemikian rupa tingkah laku mereka untuk menemukan efek terbaik, begitupun juga dalam penggunaan sosial media yang menyiratkan pemilihan dan framing isi dari pesan yang kita hendak sampaikan dengan perspektif kita untuk memuaskan atau mengesankan khalayak ramai tentang apa yang hendak kita bagi melalui sosial media.
Konsep Panoptikon ala Foucault : Invisible Power Untuk Mendisiplinkan
Penguasaan sosial media dalam segi psikologis manusia kembali mengingatkan kita akan konsep panoptikon yang diusung oleh Foucault. Model panoptikon yang bisa diaplikasikan dalam desain penjara modern ini juga bisa dipakai untuk melihat fenomena sosial media. Model panoptikon pada dasarnya memperlihatkan gambaran penjara ideal yang juga dapat dilihat dalam sisi arsitektur sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya. Desain panoptikon memperlihatkan adanya ruang tidak tembus pandang atau gelap di tengah penjara yang dikelilingi oleh sel-sel penjaradi sekitarnya. Karena letaknya yang berada di tengah dan bisa melihat keseluruhan sel-sel yang mengelilinginya, maka mengakibatkan para penghuni sel-sel penjara akan merasa terus menerus diamati dan diawasi oleh petugas penjara yang seolah-olah tengah memantaunya melalui ruangan yang ada di tengah penjara tersebut. Walaupun tidak secara terus menerus para penjaga mengamati gerak-gerik mereka, namun para penghuni sel menjadi disiplin karena sedang merasa selalu diamati oleh sang petugas.
Model yang pada awalnya didesain oleh Bentham tersebut menurut Foucault berfungsi untuk membuat para tahanan dalam penjara menjadi disiplin dan merasa bertanggungjawab untuk mematuhi aturan dan kelakuannya bisa didisiplinkan sedemikian rupa. Asumsi bahwa dia akan mendapat hukuman jikalau tingkah lakunya selama dalam penjara begitu buruk, maka para tahanan akan bertingkah laku sesuai peraturan yang telah ditetapkan karena mereka merasa selalu diperhatikan.Diharapkan pola perilaku yang disiplin tersebut akan selalu dibawa hingga pada akhirnya mereka keluar dari penjara dan hidup bebas di masyarakat.
Foucault melihat bahwa dampak terbesar dari panoptikon adalah untuk menstimulasi kesadaran dan pandangan masyarakat yang meyakini adanya fungsi kekuasaan yang berlangsung secara otomatis tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari (Foucault, 1995).
Dengan panoptikon, aparatus (penjaga) bisa mengamati secara konstan dan mengenal dengan cepat (Ritzer, 1995: 60). Sehingga, konsep panoptikon dicirikan adanya kuasa atas informasi oleh satu pihak. Di dalam penjara Panoptikon, penguasa seluruh informasi adalah sang penjaga sedangkan tawanan tidak pernah mengetahui informasi. Oleh karena itu, tawanan tidak pernah menjadi subyek komunikasi. Tawanan tidak pernah bisa merasa pasti, apakah ia sedang diawasi atau tidak.
Dalam sosial media, semua yang bersifat privat telah menjadi publik, menjadi konsumsi umum. Selalu ada pihak lain yang bisa memantau, mengintai, menyadap, memata-matai, dan menelanjangi diri kita, tanpa memandang waktu dan tempat. Karena sadar sepenuhnya bahwa dirinya selalu menjadi obyek pantauan itulah, manusia sebagai anggota masyarakat pun praktis akhirnya seperti kehilangan kebebasan. Manusia selalu merasa terpenjara, dipantau, diawasi, diintai, dan dimata-matai oleh pihak lain, baik pengawasan itu benar-benar aktual terjadi atau sekadar dalam imajinasinya saja. Ini yang kemudian oleh Foucault dikenal dengan Panoptikon, yaitu ruang-ruang tempat relasi kuasa beroperasi secara langsung.
Melihat Sosial Media Sebagai Bentuk Panoptikon Virtual: Sarana Pembentuk Identitas
Salah satu bentuk sosial media fenomenal yang bisa diambil sebagai contoh adalah Facebook. Hal pertama yang harus dilakukan untuk dapat mengakses Facebook adalah melakukan pendaftaran dengan menggunakan alamat e-mail sekaligus password calon pengguna. Dari proses awal ini saja kita dapat mengetahui bahwa Facebook memiliki kecenderungan menguasai pengawasan atas segala informasi para penggunanya. Dengan memegang semua alamat email dan password para penggunanya, Facebook dapat mengontrol seluruh informasi yang berkaitan dengan penggunanya. Facebook tidak hanya dapat memblokir tapi juga dapat mengetahui pesan-pesan yang bersifat rahasia antar anggotanya. Artinya, Facebook telah membawa kita ke dalam suatu bentuk teknologi kekuasaan yang disebut sebagai panoptikon.
…Database, menurut saya, beroperasi sebagai sebuahpanoptikon. Seperti penjara, database bekerja secara terus-menerus, sistematis dan tersembunyi, mengumpulkan informasi tentang individu-individu dan menyusunnya menjadi profile-profile. Tidak seperti panoptikon, para “tahanan” tidak perlu dikurung dalam arsitektur apa pun; mereka hanya perlu menjalankan kehidupan rutin sehari-harinya. Komputer dengan mudah mempertukarkan berbagai database, informasi dalam satu komputer bisa diakses oleh yang lain. Dengan sangat cepat, informasi dari database-database tersebut melintasi dunia dalam cyberspace. Database-database “mengawasi” kita tanpa mata dari penjaga penjara mana pun, dan mereka melakukannya jauh lebih akurat dan menyeluruh dari manusia mana pun.” (Poster, 1995: 69)
Ada dua pihak dalam Facebook, yaitu pihak pemilik Facebook sebagai penjaga dan pihak pengguna Facebook sebagai tawanan. Sebagai penjaga, pemilik Facebook memiliki kekuasaan yang tak terkontrol untuk mengawasi para pengguna. Facebook sebagai penjaga mengendalikan seluruh informasi dengan menguasai email dan password. Sedangkan pengguna sebagai tawanan tidak mengetahui atau tidak dapat mengontrol apa yang dilakukan Facebook terhadap mereka. Facebook menyebabkan seseorang seseorang menjadi terlihat atau bahkan ditelanjangi di depan khalayak maya. Inilah kunci penting dari panoptikon, membuat yang tidak terlihat menjadi terlihat (visibility). Kekuasaan dalam bentuk kontrol tersebut dipegang secara bulat oleh Facebook, sedangkan pengguna sama sekali tidak punya kekuasaan apapun untuk mengontrol gerak-gerik Facebook terhadap dirinya, misalnya jika ada pemblokiran.
Kesadaran dan pandangan seseorang yang menjadi titik penting pendapat Foucault tentang panoptikon ternyata juga bisa diambil karakteristiknya dari media sosial. Dengan melakukan berbagai aktivitas sharing di berbagai media sosial, hal itu akan menyingkap sisi lain terkait dengan istilah panoptikon virtual dalam sosial media kontemporer. Hal ini tidak hanya karena aktivitas kita dimonitor dan direkam oleh penyedia jasa media sosial guna kepentingan ekonomi dan lain sebagainya, namun juga membawa dampak langsung terhadap pola perilaku kita terkait dengan siapa-siapa saja orang atau khalayak yang menjadi tujuan kita melakukan sharing tersebut.
Memang tidak ada penjaga dan tidak ada tahanan dalam panoptikon di media sosial. Kita semua adalah penjaga dan tahanan yang melihat dan secara tidak langsung menghakimi satu sama lain saat kita melakukan sharing content dalam sosial media. Dalam berbagi di sosial media, kita berperan sebagai kerumunan. Sekumpulan masyarakat mengonsumsi konten yang kita bagi dan bisa mendukung, atau melewatkan konten itu begitu saja.
Perumpamaan tentang penjara dan tahanan dalam konsep panoptikon mengakibatan para tahanan tidak bisa melihat dalam menara penjaga, jadi mereka tidak tahu jikalau mereka diawasi setiap saat. Berasumsi bahwa para tahanan yang bersangkutan berusaha memenuhi harapan para penjaga, mereka akan cenderung untuk memenuhi harapan tersebut pada asumsi bahwa mereka sedang diawasi sehingga bertanggungjawab untuk mengatur perilaku mereka hingga menjadi sedemikian rupa. Faktor serupa membentuk perilaku kita di sosial media. Seperti layaknya tahanan dalam panoptik berpikir bila mereka selalu diawasi dan menyesuaikan perilaku mereka sesuai dengan keinginan para penjaga, pengguna sosial media mengasumsikan bahwa dirinya selalu diawasi dan akan dihakimi oleh khalayak sosial media berdasar atas konten yang dia bagikan, dan memframing konten yang dibagikan tersebut dengan maksud untuk memuaskan dan memberi kesan bagi kerumunan maya yang juga merupakan “penjaga” tersebut.
Efek panoptikon seperti inilah yang membentuk identitas seperti yang kita bentuk di sosial media. Secara ekstremnya, hal ini dapat kita untuk memerankan atau melakukan suatu pencitraan dengan identitas tertentu yang bisa membuat orang lain merasa terkesan dan melontarkan hal tersebut sebagai ekspresi dadakan atas diri sejati kita.
'On Twitter or Facebook you’re trying to express something real about who you are. … But because you’re also creating something for others’ consumption, you find yourself imagining and playing to your audience more and more. So those moments in which you’re supposed to be showing your true self become a performance. Your psychology becomes a performance.' (cited in Orenstein, ‘I Tweet, Therefore I Am’).
Berbagi secara online dalam sosial media tidak hanya semata-mata persoalan afirmasi pribadi saja. Kita bisa saja benar-benar berkomitmen untuk menlontarkan suatu gagasan dalam media sosial, bisa saja kita hanya melewatkan gagasan-gagasan orang lain begitu saja, berpartisipasi dalam suatu pembicaraan tertentu, atau menyetujui gagasan orang lain dalam sosial media. Inti dari semua ini adalah tindakan apapun yang kita lakukan dalam media sosial, kita pada dasarnya melakukan pernyataan secara personal bahwa “saya mengafirmasi hal ini, saya membaginya, atau saya menyukainya, dan lain sebagainya”. Melalui sosial media, kita coba mengungkapkan kepada khalayak tentang preferensi personal kita, dan kita tidak lebih dari membiarkan kerumunan dalam media sosial untuk mengafirmasi preferensi pribadi kita. Dari sini, kita tidak ragu lagi bahwa ini cerminan bahwa kita ingin mendapat pengakuan dari khalayak, kemanapun hal ini dibawa, ini akan kembali menarik kita untuk terus berbagi dan berbagi melalui sosial media.
Namun sosial media pada intinya telah menjebak kita ke masuk kedalam kuasa sang pemilik sosial media tersebut. Kekuasaan tersebut terlihat dari masuknya data-data kita kedalam jaringan database di internet, sehingga tidak ada lagi tempat berlindung untuk bisa bebas dari pengawasan atau untuk melakukan resistensi. Kita bisa bebas bepergian ke mana saja dalam belantara informasi melalui sosial media, tapi tidak pernah bisa keluar dari jaring-jaring database yang mengurungnya. Digitalisasi informasi melalui sosial media bukan hanya memudahkan pengelolaan data, tetapi itu juga berarti memudahkan kontrol dan manipulasi atas subjek-subjek (individu). Sehingga baik pemilik sosial mediamaupun kita sebagai pengonsumsi konten dalam sosial media sebagai penjaga dan pengguna (user) sebagai tawanan sama-sama tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri alias kehilangan kuasa atas dirinya sendiri; hal tersebutlah yang kita sebut sebagai panoptikon.
Sumber :
Foucault, Michel. 1995. Discipline And Punish, The Birth of The Prison. Random
House, Inc : New York
Poster, Mark. 1995. The Second Media Age. Cambridge : Polity Press
Ritzer, George. 1997. PostModern Social Theory. The McGraw-Hill Companies
Inc : New York
Internet :
Why Facebook and Twitter are the Virtual Panopticons of Our Time? , via http://www.abc.net.au/radionational/programs/philosopherszone/why-Facebook-and-twitter-are-the-virtual-panoptikons-of-our-time/5089494
http://www.nytimes.com/2010/08/01/magazine/01wwln-lede-t.html?_r=3&
When Panopticon is in the Web, via http://www.social-europe.eu/2013/06/liquid-surveillance-when-panoptikon-is-in-the-web/
Foucault and Social Media Life in a Virtual Panopticon, via http://philosophyforchange.wordpress.com/2012/06/21/foucault-and-social-media-life-in-a-virtual-panoptikon/
Aachtung, Rizal. 2009. Sikap Berhati-hati Berjejaring Sosial “The Facebook
Area”. http://fortamaslipi.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=224&Itemid=23
Menarasikan Facebook Sebagai Superpanoptikon, via http://media.kompasiana.com/new-media/2013/01/07/menarasikan-Facebook-sebagai-super-panoptikon-522179.html
http://media.kompasiana.com/new-media/2013/01/07/menarasikan-Facebook-sebagai-super-panoptikon-522179.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H